Menagih
Janji Jokowi
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
10 Februari 2015
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menagih semua
janji Presiden Joko Widodo sebagaimana tertuang dalam sembilan agenda
prioritas (Nawa Cita) ketika kampanye.
Di tengah buramnya masa depan pemberantasan korupsi,
tulisan ini juga tidak berniat untuk menagih janji guna mewujudkan sistem dan
penegakan hukum yang berkeadilan. Yang ditagih: pemenuhan janji Jokowi dalam
menentukan sikap soal Komjen Budi Gunawan. Sebagaimana diketahui, di tengah
badai kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara
RI, hampir semua unsur masyarakat yang peduli terhadap agenda pemberantasan
korupsi mengharapkan Presiden mengambil tindakan darurat. Upaya darurat yang
dimaksud: menyatakan agar kepolisian menghentikan segala macam tindakan yang
dapat dinilai sebagai bentuk kriminalisasi atas pimpinan lembaga anti rasuah
ini.
Dalam batas penalaran yang wajar, permintaan darurat itu
diperlukan karena ketidaktegasan sikap Presiden Jokowi dalam menghentikan
upaya penggerogotan KPK. Misalnya, dalam beberapa kesempatan Jokowi mengajak
KPK dan polisi memastikan proses hukum harus obyektif dan sesuai
undang-undang (UU). Namun, nyatanya, kepolisian tetap meneruskan segala
laporan masyarakat terhadap pimpinan KPK. Yang dirasakan, ajakan Jokowi
menjadi kehilangan makna dan KPK benar-benar mengalami disfungsi.
Karena itu, sekiranya memiliki komitmen atas agenda
pemberantasan korupsi dan KPK, Jokowi tidak perlu bersikap ambivalen dalam
memberi pernyataan. Melihat situasi yang terjadi, proses hukum harus berjalan
obyektif dan sesuai dengan UU mestinya dialamatkan langsung kepada polisi.
Bahkan, berkaca dari skandal cicak vs buaya jilid I, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) secara tegas menyatakan bahwa kasus Bibit S Riyanto dan
Chandra M Hamzah tidak perlu dilanjutkan sampai ke pengadilan.
Jangankan memilih langkah tegas, Tim Sembilan yang
diharapkan menjadi tim independen untuk menelisik proses hukum terhadap Wakil
KPK Bambang
Widjojanto tidak pernah hadir sebagai tim dalam pengertian
yang sesungguhnya. Selain tak memiliki landasan hukum yang kuat, Tim Sembilan
juga tidak memiliki tugas eksplisit yang dapat bermuara pada penyelesaian
sengkarut kriminalisasi atas KPK. Di tengah situasi yang tidak menentu
tersebut, Jokowi membiarkan penyelesaian berlarut-larut.
Episentrum masalah
Melacak situasi sejak perubahan status hukum Budi Gunawan
menjadi tersangka, tak bisa disangkal, silang sengkarut di sekitar
kriminalisasi terhadap pimpinan KPK akan bisa diselesaikan jika Jokowi
menarik kembali pengusulan bekas ajudan Megawati ini. Bahkan, sekalipun telah
mendapatkan persetujuan dari DPR, dengan status hukum sebagai tersangka,
Jokowi memiliki alasan moralitas hukum yang kuat tidak melantik yang
bersangkutan menjadi Kapolri.
Bahkan, secara hukum, pejabat yang jadi tersangka
diberhentikan sementara dari jabatannya. Paling tidak, berkaca dari
pemerintahan sebelumnya, SBY memberhentikan beberapa menteri karena
ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, UU Nomor 30 Tahun 2003 menyatakan bahwa
dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK
berwenang memerintahkan pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan
sementara tersangka dari jabatannya.
Tidak hanya itu, di lingkungan internal kepolisian, PP
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum
bagi Anggota Kepolisian Negara RI mengatur ihwal anggota Polri yang
digadaikan tersangka. Terkait hal ini, Pasal 10 Ayat (1) PP No 3/2003
menyatakan bahwa anggota Polri yang dijadikan tersangka atau terdakwa dapat
diberhentikan sementara dari jabatan kepolisian sejak dilakukan proses
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
tetap. Ditambahkan lagi, pemberhentian guna kepentingan penyidikan dapat
dilakukan secara langsung.
Pertanyaan elementer yang dapat dikemukakan: mengapa
aturan hukum yang memungkinkan pemberhentian sementara tersebut tidak
diberlakukan kepada Budi Gunawan? Pertanyaan ini menjadi maha-penting karena
jika diberlakukan, segala kesempatan yang mungkin memanfaatkan institusi
kepolisian untuk diperhadapkan dengan institusi KPK dapat diminimalkan.
Bagaimanapun, dengan mengambil langkah pemberhentian sementara, Budi Gunawan
jelas-jelas tidak memenuhi persyaratan lagi sebagai calon Kapolri. Ketika
seorang calon tak memenuhi syarat, tidak tersedia lagi alasan hukum untuk
tetap melantiknya.
Banyak kalangan percaya dan sudah menjadi bahasan umum,
perlakuan ”tidak senonoh” yang menimpa Bambang Widjojanto tidak mungkin
melepaskan sama sekali dengan status tersangka Budi Gunawan. Dapat
dipastikan, sekiranya status tersangka tidak ditetapkan KPK, tidak akan
terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Dalam cara pandang ini,
episentrum kekisruhan hubungan KPK dan kepolisian berada pada posisi
penetapan status hukum Budi Gunawan. Dan, kekacauan yang mungkin terjadi
dapat dikelola dan diminimalkan sekiranya status tersangka diikuti dengan
tindakan pemberhentian sementara.
Menagih Jokowi
Dalam hitungan waktu, kekisruhan antara KPK dan polisi
sebagai akibat status hukum Budi Gunawan belum sampai 20 hari. Namun, secara
dampak, kejadian ini jauh lebih mengguncang dan berdampak maha-dahsyat
terhadap KPK dan pemberantasan korupsi. Kejadian ini jauh lebih dahsyat
mengguncang KPK daripada skandal cicak vs buaya jilid I atau kisruh akibat
pengungkapan kasus suap simulator beberapa waktu lalu.
Selain persoalan internal, suasana tak menentu yang
melanda KPK juga berdampak pada lumpuhnya agenda pemberantasan korupsi.
Sebagai institusi yang diberi tugas khusus memberantas korupsi, sejak
serangan mematikan berupa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, mereka yang
sedang dalam proses seenaknya mengabaikan panggilan KPK. Bahkan, Budi Gunawan
dan hampir semua saksi yang diperlukan keterangannya dalam kasus ini dengan
alasan yang sulit diterima tidak memenuhi panggilan KPK.
Melihat bentangan fakta tersebut, Presiden Jokowi memiliki
pilihan yang amat terbatas dalam menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi.
Pertama, sekembali dari luar negeri, Jokowi harus memenuhi janjinya dalam
tempo waktu yang sesingkat-singkatnya untuk menyelesaikan persoalan di
sekitar calon Kapolri. Untuk mengakhiri masalah ini, Jokowi tidak perlu lagi
menggunakan argumentasi akan menunggu proses praperadilan selesai untuk
menentukan nasib Budi Gunawan. Apalagi, secara hukum, status tersangka tidak
masuk alasan yang dapat dipersoalkan ke praperadilan.
Oleh karena itu, yang ditunggu masyarakat sekembali dari
kunjungan ke luar negeri, Jokowi segera mengumumkan tak akan melantik Budi
Gunawan sebagai Kapolri. Tak berhenti di situ, Presiden Jokowi segera
mengumumkan calon baru untuk disampaikan ke DPR guna mendapat persetujuan.
Secara politis, mayoritas kekuatan politik DPR akan menghormati segala
keputusan yang diambil Presiden Jokowi. Paling tidak, di tengah ketegangan
antara KPK dan polisi, dorongan bagi Jokowi mengajukan calon Kapolri baru
cukup banyak bermunculan. Namun, satu hal yang perlu diingat, ketika hendak
mengajukan nama pengganti calon yang akan diajukan, semestinya merupakan
figur yang dapat memenuhi janji Jokowi seperti tertuang dalam Nawa Cita.
Selain mengajukan calon Kapolri yang bersih, kompeten, dan anti korupsi,
Jokowi harus mampu menyodorkan nama calon yang tak memiliki sentimen negatif
terhadap KPK. Seandainya Jokowi mengajukan calon yang ramah terhadap KPK,
akan lebih mudah merealisasikan janji lain yang tertuang dalam Nawa Cita,
yaitu memastikan sinergi di antara KPK dan kepolisian.
Kini, setelah kembali dari kunjungan panjang ke beberapa
negara jiran, Jokowi harus memenuhi janji untuk menuntaskan kekisruhan di
sekitar calon Kapolri. Pilihan paling komprehensif, segera keluar dari
episentrum kisruh antara KPK dan kepolisian. Bagi masyarakat, pemenuhan janji
ini sekaligus titik penting untuk menilai komitmen Jokowi dalam memberantas
korupsi. Tuan Presiden, kami percaya Anda memiliki nyali untuk ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar