Memotret
Wajah Politik KPK
Ma’mun Murod Al-Barbasy ; Dosen
Program Studi Ilmu Politik UMJ,
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP)
FISIP UMJ
|
KORAN
SINDO, 12 Februari 2015
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan maksud untuk
menanggulangi dan memberantas korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana
pun. Pengertian ”kekuasaan mana pun” adalah kekuatan yang dapat memengaruhi
tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual terkait dengan
tindak korupsi.
Artinya, kerja KPK tak boleh keluar dari pakemnya sebagai
lembaga penegak hukum. KPK tidak boleh menjalankan tugas dan wewenangnya atas
dasar ”pesanan” pihak lain. KPK harus steril dari kepentingankepentingan
internal KPK di luar kepentingan penegakan hukum, akuntabel, proporsional,
dan demi kemaslahatan, sebagaimana menjadi asas KPK.
Namun, realitasnya kerja KPK justru kerap offside dengan memasuki ranah politik, ranah yang tak seharusnya
dilakukan KPK. Kenyataan ini terasa sekali di era Abraham Samad. Terlalu
sering KPK melakukan kerja penegakan hukum yang berwajah politis. Tentu
secara moral, ini hal yang tak patut dilakukan oleh pimpinan KPK.
Wajah Politik
Saat menjelang Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya,
publik dibikin kaget ketika muncul berita terkait kedatangan Jokowi ke KPK
untuk ”konsultasi” terkait calon-calon menterinya. KPK memberikan rekomendasi
atas nama-nama yang dinilai berapor merah dan kuning. Saat itu berbagai
spekulasi merebak. Ada yang menyebut konsultasi tersebut sebagai bentuk
kehati-hatian (ikhtiyat) Jokowi
dalam menyusun kabinet.
Jokowi tak mau ada ”cacat moral” dalam kabinetnya. Ada spekulasi
yang menyebut bahwa Jokowi sengaja ”nabok
nyilih tangan” untuk memotong beberapa orang Megawati (PDIP), PKB, dan
partai pendukung lain. Ada juga yang menyebut KPK telah offside. KPK dinilai terlalu politis. Apalagi kalau menyikapi
pernyataan Abraham yang bernada ”ancaman” kepada Jokowi, yang kalau tetap
mengangkat calon menteri berapor merah dan kuning, maka dalam waktu yang
tidak lama KPK akan menetapkan status hukumnya.
Rasanya ini pernyataan tak proporsional dari pimpinan lembaga
penegak hukum. Buktinya, tiga bulan lebih setelah menteri-menteri berapor
merah dan kuning dilantik belum juga ada tindakan hukum dari KPK. Rasanya
bukan kali ini saja KPK melakukan kerja beraroma politis.
Seminggu sebelum menjadikan Suryadharma Ali sebagai tersangka,
Abraham sudah cuap-cuap ke media bahwa dalam satu atau dua pekan ke depan KPK
akan menetapkan tersangka terkait proyek barang dan jasa penyelenggaraan
ibadah haji tahun anggaran 2012-2013. Abraham bahkan menyebut bahwa ”calon”
tersangka merupakan petinggi negeri.
Pernyataan ini juga tak layak diucapkan oleh seorang ketua KPK.
Menetapkan seseorang jadi tersangka tentu ada aturannya dan tak perlu
cuap-cuap di media. Suka cuap-cuap itu hanya layak disandang oleh para
politisi karena politisi memang kerjanya harus bicara.
Ketika Setya Novanto terpilih jadi Ketua DPR, Abraham
menyayangkan karena Setya pernah beberapa kali diperiksa sebagai saksi
terkait penyidikan sejumlah kasus korupsi. Sebaliknya, Zulkifli Hasan yang
ketika terpilih sebagai ketua MPR tak ada nada keberatan dari Abraham, justru
beberapa hari selepas dilantik dipanggil KPK selama dua hari berturut-turut.
Bukankah KPK mempunyai prosedur dalam memanggil dan menetapkan
status hukum seseorang? Justru ketika KPK menyayangkan terpilihnya Setya, meminta
keterangan Zulkifli yang terkesan begitu tiba-tiba, termasuk juga cuap-cuap
soal rapor merah dan kuning calon menteri Jokowi, publik pantas curiga dengan
cara-cara kerja KPK selama ini dalam melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Minta Maaf JPU
Wajah politis KPK yang paling kasatmata terlihat dalam kasus
Anas Urbaningrum. Penetapan tersangka didahului oleh pernyataan SBY dari
Jeddah, diikuti pencabutan kewenangan Anas sebagai ketua umum Partai Demokrat
dengan menabrak anggaran dasar partai dan diikuti oleh bocornya surat
perintah penyidikan. Surat perintahnya pun isinya tidak jelas: ”...proyek Hambalang dan atau
proyek-proyek lainnya,” yang ternyata tidak terbukti di persidangan.
Meski demikian, Anas tetap dipaksakan dituntut tinggi. Malah ada
alasan yang dibuat-buat, Anas dituduh melakukan obstruction of justice. Karena modalnya hanya kesaksian
Nazaruddin dan pegawainya, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan ”pencucian
keterangan”. Nazaruddin dimuliakan jadi justice
collaborator, sementara oleh hakim Nazaruddin digelari Pinokio.
Adalah pemaksaan yang luar biasa telanjang ketika seorang
Pinokio ditinggikan derajatnya menjadi justice
collaborator hanya karena menjadi modal satu-satunya untuk memaksakan
Anas bersalah. Anehnya juga, hakim pun akhirnya menjadikan keterangan Pinokio
sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis berat kepada Anas, vonis yang
mengabaikan fakta persidangan.
Karena proses hukum yang demikian, lahirlah permintaan agar
diadakan mubahalah, yang kalau
ditarik ke belakang mempunyai sambungan dengan ”Sumpah Monas” yang jauh hari
disampaikan Anas. Keduanya diikat oleh sebuah keyakinan tidak bersalah. Anas
juga pernah berkata ringan, ”Karma akan
bekerja dan mencari alamatnya sendiri-sendiri”.
Sekarang muncul kasus Bambang Widjojanto dan Abraham. Muncul
pula laporan untuk Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain. Bambang sudah menjadi
tersangka. Abraham kabarnya juga segera menjadi tersangka. Dua pimpinan KPK
yang lain sedang dalam proses penyelidikan, tidak tahu apa yang akan terjadi.
Di dalam pleidoi Anas juga menyatakan bahwa esok hari adalah misteri. Karena
itu, jangan adigang, adigung, adiguna
; jangan pula bersikap sopo siro sopo
ingsun.
Apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ada
keterkaitan dengan ajakan mubahalah
dan karma yang tengah bekerja lebih cepat? Wallahu alam. Itu bagian dari misteri dan wilayah kekuasaan
Tuhan. Yang kita perlu meyakini adalah setiap kezaliman akan diikuti
balasannya. Selain pasti di akhirat, boleh jadi mulai dicicil di dunia juga.
Aturan main yang demikian berlaku buat kita semua, apa pun tugas kita. Bisa
jadi komisioner KPK, penyidik, jaksa, hakim, wartawan, politisi, pengamat,
atau apa saja.
Menurut penuturan Anas, setelah selesai persidangan terakhir,
komandan JPU sempat menyampaikan bisikan permintaan maaf dan bilang hanya
melaksanakan perintah. Fakta ini sengaja tidak disampaikan Anas saat vonis
majelis hakim untuk menghindari adanya bias penafsiran di mata publik.
Pengakuan komandan JPU yang menyebut dirinya hanya
”melaksanakan perintah” semakin memperkuat dugaan bahwa kasus Anas memang
bukan murni kasus hukum, tapi kasus politik yang memanfaatkan rapuhnya
institusi lembaga penegak hukum.
Kembali ke Khitah KPK
Bangsa ini masih sangat memerlukan KPK. Tentu saja KPK yang
setia kepada khitah saat KPK didirikan. KPK yang tidak diperkuda oleh
kepentingan politik para pimpinannya dan pihak-pihak lain yang bisa
memesannya.
Kita semua layak mendukung KPK yang berjalan lurus di atas rel
dalam tugas pemberantasan korupsi yang profesional, mandiri, imparsial, dan
bersinergi dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain. KPK yang demikian itu
adalah KPK kita. KPK yang diperalat oleh kepentingan politik adalah KPK yang
sudah saatnya dikoreksi dan dikembalikan ke jalan yang benar. Wallahu alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar