Membangun
Kota dalam Pengembangan Wilayah
Tommy Firman ; Guru Besar ITB
|
KOMPAS,
23 Februari 2015
Telah sangat dipahami bahwa pembangunan kota tidak dapat
dilepaskan dari pengembangan wilayah—kota berada dalam skala yang lebih luas,
apakah lokal, nasional, atau global—karena keduanya saling berinteraksi dan
memengaruhi.
Harian Kompas, 28 Januari 2015, menurunkan artikel menarik
berjudul ”Membangun Kota yang Menguntungkan Si Miskin”, ditulis Alex van
Trotsenburg, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik. Artikel
tersebut ditulis berdasarkan Laporan Bank Dunia (2015) dengan tajuk ”East Asia’s Changing Urban Landscape:
Measuring a Decade of Spatial Growth”, sebuah studi yang sangat
komprehensif mengenai perkembangan fisik dan penduduk kota-kota di Asia
belahan timur, termasuk Indonesia.
Perkembangan fisik kota-kota besar di Asia Timur banyak
yang telah melampaui batas wilayah kewenangannya, memasuki wilayah
administratif otoritas pemerintah lokal tetangganya, yang kemudian menciptakan
fragmentasi dalam pengelolaan perkotaan, seperti yang dicontohkan Kota
Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek).
Artikel itu menganggap bahwa perkembangan kota-kota besar
di Asia, di antaranya Tokyo, Shanghai, Jakarta, Seoul, dan Manila,
diakibatkan oleh urbanisasi penduduk ke kota, yang berimplikasi pada berbagai
masalah, seperti perumahan, sarana-prasarana, kesempatan kerja, dan kesehatan
pendidikan.
Pandangan ini tidak keliru, tetapi juga tidak lengkap
menggambarkan tren kontemporer perkembangan kota di Asia, termasuk Indonesia,
dengan terbitnya perkembangan ”kota-kota” tanpa terkait dengan mobilitas
penduduk yang signifikan.
Fenomena ini dikategorikan sebagai in-situ urbanization,
di mana pusat-pusat pedesaan atau permukiman tumbuh menjadi perkotaan karena
perkembangan kegiatan sosial ekonomi di dalamnya. Data juga menunjukkan bahwa
laju pertambahan penduduk pada banyak kabupaten di Indonesia jauh lebih
tinggi dari laju pertambahan penduduk di kota-kota besar.
Yang juga menarik untuk disimak dalam artikel yang ditulis
oleh Van Trotsenburg adalah implikasi kebijakan yang diusulkan, yang pada
dasarnya ditujukan untuk mencapai urbanisasi (perkembangan kota) yang efisien
dan mendorong peluang ekonomi inklusif: antara lain kebijakan akses kepada
lahan, perencanaan pengembangan kawasan padat penduduk menjadi kawasan layak
huni, dan peningkatan layanan perkotaan.
Pengembangan wilayah
Perlu digarisbawahi bahwa pendekatan pembangunan kota
sangat bias pada kota-kota besar, sementara telah diketahui bahwa kota-kota
besar di Asia, termasuk di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya,
sebenarnya telah terintegrasi kepada sistem kota-kota dunia (global cities) yang cenderung melayani
kepentingan investasi pada berbagai kegiatan ekonomi skala global, baik dalam
ranah produksi (manufaktur), konsumsi termasuk, misalnya, Coca-Cola dan KFC,
maupun pada kegiatan jasa-jasa, khususnya jasa keuangan dan asuransi. Hal ini
akan semakin terbuka dengan globalisasi ekonomi, termasuk pasar bebas ASEAN.
Kecenderungan juga memperlihatkan semakin melemahnya
keterkaitan (linkages) ekonomi
antara kota-kota besar dan wilayah sekitarnya, termasuk dengan kota-kota
menengah dan kecil.
Dengan kata lain, perkembangan kota-kota besar dengan
orientasi ekonomi global tersebut berdampak kurang kondusif bagi perkembangan
kota-kota menengah dan kecil karena meningkatkan disparitas antarkota.
Berbagai studi memperlihatkan ini tidak terjadi di Indonesia saja, tetapi
juga di berbagai negara lain, seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Kebijakan pengembangan kota-kota secara individual seperti
yang dikemukakan dalam artikel Van Trotsenburg tidak keliru apabila
sasarannya adalah hanya untuk meningkatkan efisiensi kota besar semata.
Kenyataannya, salah satu tantangan pengembangan kota di Asia adalah mengurangi
disparitas antara kota besar dengan kota kecil dan menengah.
Kebijakan perkotaan seharusnya juga berorientasi pada
pengembangan wilayah yang lebih luas, dengan memperhatikan fungsi dan peran
serta interaksi masing-masing kota sehingga dapat dialokasikan peran dan
fungsi masing-masing. Hal ini pun sebenarnya prinsip dasar pengembangan
wilayah dan kota yang telah dikenal luas. Meski demikian, itu tidak pernah
diterapkan secara konsisten.
Pembangunan kota-kota di negara Asia, termasuk di
Indonesia, memang sangat bias pada pembangunan kota besar, yang tentu saja
sangat mengukuhkan fungsi dan peran kota-kota besar tersebut sebagai
pusat-pusat kegiatan ekonomi nasional dan regional jauh meninggalkan fungsi
dan peran kota-kota kecil dan menengah. Ini akan menarik para pendatang yang
akhirnya memperparah kondisi sosial, ekonomi, serta fisik dan lingkungan
kota-kota besar.
Kesimpulan
Kebijakan pengembangan kota besar untuk tujuan efisiensi
seperti yang disarankan Van Trotsenburg adalah suatu hal yang sangat penting
untuk meningkat daya saing kota-kota itu. Akan tetapi, tanpa ada landasan
pengembangan wilayah, hal itu bisa menciptakan kota-kota yang seolah-olah
hidup sendiri tanpa berdampak pada pengembangan wilayah, khususnya kota-kota
kecil dan menengah serta pedesaan di sekitarnya. Hal ini memicu disparitas
wilayah yang justru mendorong semakin derasnya mobilitas penduduk ke kota.
Munculnya pusat-pusat perkotaan baru yang tumbuh melalui
proses in-situ urbanization perlu mendapat perhatian, sejauh mana pusat-pusat
baru itu dapat dikembangkan untuk berbagai kegiatan ekonomi, yang jangan
terlalu banyak dilokasikan pada kota-kota besar dan berada pada sirkuit
perekonomian global yang tidak terkait dengan perekonomian lokal.
Pengembangan wilayah juga harus dapat mengalokasikan
fungsi dan peran, baik kota besar, menengah, maupun kecil, secara
komplementer serta menciptakan keterkaitan agar pertumbuhan sosial-ekonomi
lebih merata, tidak hanya terpusat hanya pada kota besar saja.
Di sinilah letak perlunya pendekatan pengembangan wilayah
dalam pembangunan kota-kota, tidak semata-mata memacu tingkat efisiensi
kota-kota besar yang justru sudah sangat dominan sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar