Selasa, 03 Februari 2015

Membaca Praperadilan Calon Kapolri Tersangka

Membaca Praperadilan Calon Kapolri Tersangka

Imawan Mashuri  ;  Komisaris utama JTV dan beberapa perusahaan Jawa Pos Group, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Malang
JAWA POS, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

EPISODE ’’Pergelaran KPK vs Polri’’ pekan ini memasuki babak praperadilan. Setelah pekan lalu Presiden Jokowi menyatakan keputusannya tentang Kapolri menunggu hasil praperadilan, perhatian kini tertuju pada bagaimana hakim menerapkan Bab X Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang praperadilan ke dalam permintaan Komjen Budi Gunawan, calon Kapolri yang protes atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Sidang dimulai Senin hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakimnya juga sudah ditunjuk, yaitu Sarpin Rizaldi. Tergolong hakim senior, tapi punya catatan. Komisi Yudisial, lembaga yang mengawasi para hakim (Jawa Pos kemarin), mencatat ada delapan laporan atas dia. Satu di antaranya tentang suap. Banyak pula putusan yang dibuat yang dinilai kontroversial.

Sarpin akan menentukan seorang diri –karena UU menentukan hakim praperadilan adalah tunggal dan tergolong sidang cepat, selambat-lambatnya dalam tujuh hari sudah harus menjatuhkan putusan– putusan apa yang layak dijatuhkan. Apakah berpegang pada enam pasal yang dibatasi dalam ketentuan praperadilan, yaitu pasal 77 sampai pasal 82 KUHAP, atau dia –dengan kewenangannya yang dilindungi UU– akan menafsirkan sendiri permintaan Budi Gunawan tersebut (untuk praperadilan, pengajuannya disebut permintaan, bukan gugatan atau permohonan). Dan konon –kita belum tahu detailnya– permintaan Budi melalui penasihat hukumnya adalah membebaskan dirinya dari status tersangka yang ditetapkan KPK.

Di dalam enam pasal tentang praperadilan, tidak ada yang menyebut tersangka bisa minta dianulir ketersangkaannya. UU No 8/1981 tentang KUHAP dan Praperadilan ada di dalamnya, membatasi, permintaan praperadilan adalah untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan sitaan barang bukti yang tidak termasuk alat pembuktian.

Tapi, ada celah, pada pasal 82 butir 3a disebutkan: Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka. Pada butir 3c disebutkan tentang rehabilitasinya.

’’Tersangka!’’ Kata itu menjadi puncak dramatisasi bagi Budi Gunawan maupun Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Keduanya bagaikan ’’berbalas pantun’’ dan lantas bukan saja institusi masing-masing yang terdampak, tapi berbagai wilayah komunitas masyarakat ikut galau. Presiden Jokowi tertuding sebagai biang persoalan karena menetapkan calon tunggal Kapolri yang dinilai tidak bersih. Lalu, DPR dicibir punya motif di balik kornya meloloskan tersangka Budi Gunawan dalam fit and proper test. Persoalan politik terus memanas. Keadaan di masyarakat telah mendidih, kata Syafii Maarif, ketua Tim Sembilan yang diminta merumuskan saran oleh Jokowi.

Babaknya hari ini memasuki sidang praperadilan. Bisakah seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tanpa terlebih dahulu diperiksa? Kita bisa membaca pasal 44 UU No 30/2002 tentang KPK. Yaitu, bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.

Nah, dengan dua alat bukti itu, KPK harus menetapkan penyidikan. Hasil penyidikan tentu adalah munculnya tersangka. Selanjutnya, setelah ada tersangka, KPK tidak bisa dan tidak dibolehkan oleh UU (pasal 40 UU KPK) untuk menghentikan perkara. Karena itu, seorang tersangka pasti akan menjadi terdakwa dan harus diadili di pengadilan.

KPK yang dibentuk berdasar pasal 43 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 memiliki UU sendiri, yaitu UU No 30/2002 tentang KPK, yang isinya memberikan kewenangan yang luar biasa dalam penanganan korupsi. Sebab, penanganan korupsi, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UU tersebut, belum bisa dilaksanakan dengan optimal.

Kewenangan yang diberikan kepada KPK begitu luar biasa sehingga hampir bisa melakukan apa saja untuk kepentingan penanganan pemberantasan korupsi. Bisa mengambil alih perkara yang ditangani polisi atau kejaksaan (pasal 10), bisa memerintah pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya (pasal 12 d), bisa menggeledah dan menyita barang tanpa perlu izin pengadilan, dan seterusnya. Bahkan, kalau polisi dan kejaksaan menyidik perkara korupsi, dalam waktu maksimal 14 hari, mereka harus melapor ke KPK atas penyidikan itu.

Masih dijelaskan lagi dalam penjelasan UU KPK, dalam usaha pemberdayaan, KPK didukung ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis, antara lain, ketentuan dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik. Dan seterusnya.

Dengan kewenangan yang luar biasa itu, keberadaan KPK yang lex specialis memungkinkan adanya penafsiran institusi KPK bisa bekerja dengan pola due control (criminal control system), yaitu berangkat dari kecurigaan khusus kepada pejabat negara. Dengan kata lain, berpraduga bersalah. Dan untuk itu bisa menggunakan asas pembuktian terbalik.

Dengan demikian, kalau memiliki dua alat bukti saja, KPK sudah bisa menetapkan tersangka dan menyidik. Berbeda dengan kepolisian atau kejaksaan yang merupakan alat kelengkapan pasti negara. Mereka harus bekerja berdasar asas praduga tak bersalah dan bekerja berdasar due process (criminal process system) karena berhadapan dengan masyarakat umum.

Tapi, penerapan hukum positif seperti yang kita anut, yang aturannya berbentuk teks, tidak luput dari penafsiran. Penafsiran dalam penerapan hukum itu pun bergantung pada keterampilan yang meramu. Bagaimana ramuan yang dibuat hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam putusan praperadilan yang ditanganinya nanti? Mudah-mudahan bisa memberikan rasa adil dan memiliki dasar yang kuat yang bisa menenteramkan. Dengan demikian, kita tidak seperti menunggu nasib dengan menghitung bunyi tokek: ditolak… diterima... ditolak… diterima… ditolak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar