Memanfaatkan
Momentum
Bambang Kesowo ; Mantan
Menteri Sekretaris Negara/ Sekretaris Kabinet
|
KOMPAS,
16 Februari 2015
Hiruk-pikuk politik sejak medio Januari lalu belum mereda.
Setelah pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kepala Polri
mencuat, persoalan bagai tereskalasi menjadi konflik Komisi Pemberantasan
Korupsi-Polri.
Hangatnya ekses persoalan masih terasa hingga saat ini. Dari
kekhawatiran sekitar isu pelemahan KPK hingga akan terancamnya gerak
pemberantasan korupsi, khalayak mulai menyimak berita tentang proses
praperadilan yang bagai mimbar adu kepintaran hingga pewartaan tentang
ancam-mengancam di antara petugas kedua institusi. Beberapa kalangan bahkan
khawatir, berlarutnya masalah ini akan mengganggu stabilitas sosial-politik,
dan dampak negatifnya jika merembet ke bidang kehidupan yang lebih luas.
Lebih tidak menguntungkan lagi, orang mulai bicara tentang
keraguan atas ”determinasi” Presiden Joko Widodo yang oleh banyak kalangan,
bahkan dahulu yang menyokong, kini menilainya sebagai peragu, lamban, dan
terlalu lama menimbang kasus. Media televisi malah menampilkan secara
kronologis penjelasan Presiden tentang pertimbangan dan janjinya untuk
menyelesaikan persoalan tadi. Terakhir, ketika hadir di Kongres Umat Islam
Indonesia di Yogyakarta, Presiden menjelaskan bertumpuknya (kian) banyak
masalah yang semua harus ditimbang dan menyebabkan beliau belum juga
memutuskan persoalan yang menjadi sumbu permasalahan sekitar KPK-Polri itu.
Tidak hanya aspek politik dan hukum, Presiden juga menambahkan proses
pembahasan RAPBN Perubahan 2015 ke dalamnya.
Penataan ulang kelembagaan
Bilamana disimak dengan cermat, persoalan KPK-Polri sesungguhnya
berpangkal dari akar yang lebih dalam dan lebih mendasar. Tanpa menjamahnya,
timbulnya serial ”Cicak-Buaya” hanyalah soal waktu. Dalam kerangka sistem,
penulis sudah beberapa kali menorehkan melalui harian ini tentang pentingnya
penataan ulang aspek kehidupan kelembagaan negara. Kita benar-benar perlu
melakukan pembenahan institusional! Penataan ulang sikap pikir dan cara
pandang kita tentang kedudukan, tentang fungsi dan kewenangan, serta tentang
tata hubungan antara badan-badan penyelenggara kekuasaan negara dan
lembaga-lembaga negara yang kita miliki. Kita semua harus bersikap terbuka,
jujur, ikhlas, dan dengan kepala dan hati yang dingin meninjau ulang serta
memperbaikinya.
Perbaikan Undang-Undang KPK sebagai misal. Tak perlu buru-buru
menyertainya dengan sikap takut dan curiga bahwa hal itu merupakan upaya
pemberangusan KPK dan pelemahan upaya pemberantasan korupsi. Bukankah kita
sendiri, yang pada saat kelahirannya, dengan hati panas dan sikap
”geregetan”, telah membangun KPK dengan kewenangan yang demikian hebat,
tetapi tanpa mekanisme akuntabilitas yang jelas? Menjelang pengesahannya oleh
Presiden Megawati tahun 2004, semasa bertugas, penulis telah terlebih dahulu
menjelaskan kepada Presiden Megawati soal ekses dan konsekuensinya (catatan:
sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, organisasi dan fungsi Sekretariat
Negara tidak saja dipecah-pecah, tetapi kewenangannya di bidang proses
perencanaan dan perancangan/pembuatan RUU juga ditiadakan!).
Membentuk lembaga baru dengan kewenangan otonom di bidang
penyelidikan, penyidikan, sekaligus penuntutan jelas bukanlah masalah. Begitu pula aspek ”rivalitas”. Namun,
ketika fungsinya ditambah
dengan kewenangan ”supervisi” atas Polri dan Kejaksaan, penulis menyampaikan
adanya persoalan psikologis yang perlu diwaspadai dalam operasionalisasi di
kemudian hari. Apalagi, dalam UU KPK ada lagi kewenangan yang lebih nggegirisi,
yaitu mengambil alih penanganan kasus korupsi yang sedang diproses lembaga
penegak hukum tadi. Yang
terakhir ini sedikit banyak malah akan lebih menyerempet martabat dan
kebanggaan korps. Dalam hitungan waktu, cepat atau lambat, kepada presiden
waktu itu sudah dijelaskan, pasti akan menjadi sumber benturan di antara
mereka.
Dijelaskan pula, penggunaan kewenangan menyadap—yang lazimnya
hanya dimungkinkan dengan izin/penetapan pengadilan dan akan dekat dengan isu
HAM—bilamana tidak disertai dengan batasan yang ketat, juga akan menimbulkan
masalah. Semuanya menjadi penting ketika masalah pertanggungjawaban lembaga
serupa itu tidak dengan jelas diatur dalam UU KPK.
Oleh karena itu, dalam perbaikan UU KPK, salah satu persoalan
yang sebaiknya dibenahi, dan utamanya, adalah soal kewenangan tadi.
Perjelaslah seberapa jauh dan cara supervisi KPK terhadap Polri dan
Kejaksaan. Pembenahan nalar juga penting karena Polri dan Kejaksaan jelas
bersifat permanen, sementara KPK yang menyupervisi lebih didesain bersifat ad hoc. Lebih penting lagi, sebaiknya
dihilangkan kewenangan untuk mengambil alih kasus yang sedang ditangani Polri
atau Kejaksaan. Setidaknya, pengaturan kewenangan seperti itu akan dirasakan
agresif dan kurang menyenangkan jiwa korsa (l’esprit de corps). Apa pentingnya KPK memiliki kewenangan
seperti itu kalau ia sendiri juga memiliki kewenangan serupa, yang malah
lebih bulat, dan dengan itu bisa bertindak lebih efektif?
Gelar perkara
Persoalan serupa, yang juga mengaduk kehidupan politik dengan
dampak luas, adalah terus berulangnya bentrokan antara anggota Polri dan TNI.
Fenomena meningkatnya bentrokan ini menyeruak dan kian mengkhawatirkan sejak
pemisahan TNI dan Polri. Bukan sekadar pisah organisasi, lebih dalam lagi
adalah kebutuhan perumusan dan penegasan fungsi. Seberapa jauh makna dan
jangkauan fungsi pertahanan dalam pengertian Keamanan nasional (dalam huruf
K/besar) dengan fungsi TNI di dalamnya, serta fungsi keamanan dalam konteks
yang sama (dalam huruf k/kecil) yang beresensi penegakan hukum, pemeliharaan
ketenangan dan ketertiban masyarakat, serta penanganan gangguan keamanan yang
menggunakan kekerasan/senjata, dengan fungsi Polri di dalamnya, hingga kini
belum terumuskan dengan jelas.
Presiden dan DPR sepatutnya mencermati RUU Keamanan Nasional
yang ada dewasa ini ketimbang membiarkan RUU tersebut sekadar diisi dengan
materi yang mirip daur ulang prinsip-prinsip dari berbagai UU yang telah ada
sebelumnya. UU ”kapal induk” seperti itu tidak banyak manfaatnya, seperti
halnya banyak UU yang hanya berisi ketentuan yang bersifat normatif, tetapi
tidak memiliki ”gereget”.
Di sisi pemerintah, Presiden Jokowi sebaiknya mewaspadai
pentingnya pembahasan berbagai RUU tadi dan memberikan arahan yang lebih
pasti kepada menteri yang ditugasinya untuk lebih mencermatinya dari segi
materi atau substansi. Kalau perlu, Presiden mengadakan ”gelar perkara”
sehingga tiap RUU secara materiil lahir sesuai dengan arahan beliau. Langkah
serupa, dalam rangka pembenahan institusional, perlu dilakukan Presiden dalam
pembahasan ulang UU MK. Pelajaran demi pelajaran bisa dipetik dari
pengalaman. Untuk apa mendesain fungsi MK dalam mengurusi sengketa pilkada?
Cobalah pertegas pengaturan tentang syarat dan prosedur beperkara, serta
makna dan cakupan legal standing, sehingga tidak saban orang terus
semaunya—dan bahkan sebelum UU berlaku—dapat meminta pengujian sebuah UU.
Dari segi waktu, pembenahan yang harus ditempuh melalui
penyempurnaan berbagai UU sesungguhnya adalah momentum yang baik. Lebih dari
itu adalah keserasian UU yang satu dengan lainnya. Seindah apa pun program
yang disusun, tetapi tanpa pembenahan kelembagaan, rasanya tidak akan mudah
bagi Presiden untuk mewujudkannya. Pembenahan UU Pilkada, UU Pemerintahan
Daerah, serta UU Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
sungguh perlu diberi perhatian. Presiden juga pasti mengetahui, dalam konteks
pemahaman beliau yang mana pun, bahwa UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD
memuat beberapa hal yang pelaksanaannya mengusik penyelenggaraan sistem
presidensial yang dianut dalam UUD.
Memang persoalannya berpangkal dari pengaturan dalam UUD, karya
”arsitek” rangkaian perubahan beberapa waktu lalu. Namun, penjabaran dalam UU
tadi sebenarnya juga dapat lebih diperbaiki ketika menyangkut aspek
kewenangan dan kaitannya dengan tata penyelenggaraan hubungan antara
lembaga-lembaga tadi dan Presiden.
Ketika Presiden menyatakan tekad mengatasi banjir setiba dari
kunjungan ke luar negeri baru-baru ini, hal itu sebenarnya juga berlebihan.
Di seluruh Indonesia pun, bukan hanya banjir, penanganan bencana memang harus
dilakukan di bawah kepemimpinan Presiden. Namun, kalau maksudnya soal banjir
di wilayah DKI Jakarta, sebaiknya Presiden memerintahkan staf untuk
mencermati ulang UU DKI Jakarta yang berlaku sekarang ini. Cobalah telaah,
seberapa besar sesungguhnya kewenangan pemerintah pusat, Presiden sekalipun,
menurut UU yang gagah perkasa tersebut?
Sebagai ibu kota negara, pemerintah pusat secara legal minim
kewenangan terhadapnya, kecuali sekadar menggunakannya sebagai tempat
penyelenggaraan pusat pemerintahan negara dan tempat kedudukan pemerintah
pusat. Sebagai kepala sebuah daerah yang mendeklarasikan diri sebagai daerah
otonom, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun sebaiknya tidak
terlalu merasa bahwa ia berdaya sekali dalam mengurus ibu kota negara. Beliau
memerlukan sekali tangan Presiden/pemerintah pusat. Namun, beliau juga harus
jujur melihat bahwa UU DKI tidak mengaturnya demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar