Memaksa
Maskapai
Bertanggung
Gugat atas Keterlambatan
Adhy Riadhy Arafah ; Dosen Hukum Udara dan Angkasa;
Direktur Center for Air and Space Law Fakultas Hukum Unair
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Februari 2015
BAGI konsumen Indonesia, keterlam
batan jadwal penerbangan ialah hal yang mungkin biasa. Saking terbiasanya,
tak banyak kasus keterlambatan pesawat yang berakhir di pengadilan. Namun,
tidak untuk dua hari terakhir ini (19-20 Februari), keterlambatan perusahaan
maskapai Lion Air ini sudah di luar kebiasaan umumnya, yakni jumlah penumpang
yang telantar mencapai ratusan orang. Entah berapa banyak kerugian yang
diderita penumpang, baik kerugian secara nyata maupun kerugian akibat
hilangnya kesempatan karena tidak sampai di tujuan dengan tepat waktu.
Seolah tak ada habisnya,
keterlambatan penerbangan oleh maskapai nasional masih terus terjadi dan
seakan tidak pernah ada solusinya. Pemerintah selaku pihak regulator,
sekalipun telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun
2011, tetap saja tidak mampu menekan tingkat keterlambatan pesawat dan
kepatuhan perusahaan maskapai untuk menjalankannya. Lalu, apa yang terjadi?
Ambisi lebih besar
Besarnya ambisi perusahaan
maskapai nasional untuk melakukan ekspansi tak lepas dari besarnya potensi pasar
penerbangan nasional dilihat dari luas wilayah Indonesia dan jumlah
populasinya yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Di sisi lain,
meningkatnya taraf hidup masyarakat Indonesia akibat naiknya golongan kelas
ekonomi menengah pada akhirnya menjadikan kebutuhan akan transportasi udara
menjadi kebutuhan primer yang tak bisa terhindarkan. Ambisi perusahaan
penerbangan melakukan ekspansi telah menghasilkan kebijakan pembelian pesawat
baru yang luar biasa secara jumlah. Selain untuk mewujudkan ambisi, pembelian
pesawat baru itu menjadi hal yang harus dilakukan perusahaan maskapai untuk
meminimalkan tingkat kecelakaan pesawat akibat kemampuan perawatan pesawat
yang minim oleh perusahaan maskapai, sayangnya tidak untuk harapan untuk
meminimalkan keterlambatan.
Pembelian pesawat baru dalam
perkembangannya berhasil meningkatkan jumlah penumpang dan menurunkan tingkat
kecelakaan pesawat akibat usia pesawat. Meski demikian, tidak untuk tingkat
ketepatan waktu yang hampir tidak berubah dari waktu ke waktu, bahkan semakin
memburuk. Ada beberapa analisis terkait dengan hal itu; pertama, pertambahan
jumlah penumpang pesawat secara signifikan jauh lebih besar daripada
pertambahan jumlah pesawat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
Indonesia dan masyarakat ekonomi menengah. Sekalipun jumlah pemesanan pesawat
yang dilakukan perusahaan maskapai nasional sangat besar, secara harga jauh
lebih ekonomis karena menerapkan konsep penerbangan low cost carrier (LCC).
Kedua, pertumbuhan jumlah
penumpang yang dibarengi pertumbuhan jumlah pesawat melahirkan banyaknya rute
baru yang ditawarkan perusahaan maskapai. Di level itu, cepatnya pertumbuhan
tersebut tidak dibarengi cepatnya pertumbuhan jumlah sumber daya manusianya.
Dalam praktiknya, menyiapkan sumber daya manusia di bidang penerbangan
tidaklah secepat membeli pesawat baru dan pertumbuhan rute. Dibutuhkan waktu
untuk mendidik dan melatih manusia yang akan berkecimpung di dunia
penerbangan di semua sektor. Jadi, sekecil apa pun gejolak terhadap sumber
daya manusia akan memberikan dampak terhadap pelayanan jasa penerbangan
secara signifikan.
Ketiga, pemerintah selaku
regulator selalu terlambat mengantisipasi pertumbuhan bisnis perusahaan
maskapai. Ketentuan nasional yang dibuat pemerintah umumnya bersifat
responsif. Penegakan regulasi lebih bersifat `menghukum', tanpa melakukan
pengkajian lebih dalam terhadap permasalahannya. Tak mengherankan jika pada
akhirnya produk regulasi pemerintah hanya menjadi kertas `kosong' tanpa makna
karena implementasinya yang menghabiskan ba nyak biaya dan waktu. nyak biaya
dan waktu.
Keempat, pertumbuhan perusahaan
maskapai tidak dibarengi pertumbuhan perusahaan terkait dengan dalam hal
fasilitas penunjang. Bagaimanapun pembelian pesawat baru oleh maskapai juga
harus diimbangi dengan memajukan fasilitas penunjang seperti navigasi
penerbangan dan bandara. Penambahan jumlah pesawat akan berdampak pada
penambahan slot, frekuensi untuk penerbangan dan parkir, di samping
merestorasi teknologi perusahaan pendukung secara berkala.
Keterlambatan penerbangan akibat
tidak terpenuhinya fasilitas bandara atau navigasi yang memadai sering kali
tidak mendapatkan perhatian khusus oleh penumpang dan pemerintah.Dampaknya
tak sedikit pihak perusahaan maskapai pada akhirnya bertanggung gugat
terhadap penumpang atas keterlambatan, tanpa pernah tahu sejauh mana tanggung
gugat atas keterlambatan penerbangan yang disebabkan pihak selain perusahaan
maskapai.
Pemenuhan paksa nilai ganti rugi
Regulasi terhadap keterlambatan
yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No 77 Tahun 2011 relatif
jarang dilakukan. Hal itu mengingat proses hukum dan ganti rugi yang tidak
sebanding dengan banyaknya biaya dan waktu yang terbuang manakala melakukan
penuntutan hukum di pengadilan, utamanya apabila gugatan dilakukan secara
perorangan. Menempatkan pengadilan tersendiri yang berlokasi di bandara
khusus menangani kasus terkait dengan ganti rugi pengangkutan udara memang
telah diterapkan di beberapa negara di Amerika Latin. Di Eropa, ada semacam
lembaga yang khusus dengan cepat merespons gugatan penumpang, yang secara
aktif dan kolektif akan menggugat perusahaan maskapai.
Pengambilalihan pemenuhan ganti
rugi dalam kasus maskapai Lion Air oleh bandara patut direspons dan dibakukan
sebagaimana diberlakukan di Dubai International Airport.Hal itu terkait
dengan prosedur yang lebih murah, pasti, dan hemat waktu. Bandara dalam hal
terjadi keterlambatan penerbangan akan memberikan kompensasi kepada penumpang
secara langsung sesuai dengan ketentuan Peraturan Menhub No 77 Tahun 2011
tanpa harus menunggu pihak maskapai. Biaya yang dikeluarkan akibat
keterlambatan penerbangan pada nantinya tetap dikenakan kepada perusahaan
maskapai untuk diganti.
Tentu diperlukan kontrak yang
mengatur di antara keduanya. Dengan metode itu, secara psikologis, maskapai penerbangan
akan lebih serius dengan jadwal penerbangan yang telah mereka buat, utamanya
hubungan hukum dengan pihak bandara. Di sisi lain, pihak bandara akan
mendapatkan ketepatan waktu penerbangan yang berdampak pada kelancaran lalu
lintas pesawat dan mengurangi penumpukan penumpang. Bagi penumpang, kepastian
akan nilai ganti rugi yang didapat sesuai dengan Peraturan Menteri
Perhubungan No 77 Tahun 2011 lebih terjamin dan mudah, tanpa melewati proses
hukum yang panjang di pengadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar