Maskapai
LCC di Indonesia:
Tarif
Murah vs Pelayanan dan Keamanan
Ida Nuraini Dewi KN ; Dosen Ilmu Komunikasi,
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas
Islam Indonesia
|
DETIKNEWS,
23 Februari 2015
Beberapa hari ini, dunia penerbangan tanah air kita
kembali dibuat geger. Belum ada dua bulan setelah kasus jatuhnya pesawat Air
Asia QZ8501, maskapai penerbangan lain yang juga berbasis LCC (Low Cost
Carrier), Lion Air, juga menggemparkan dunia pelayanan penerbangan di
Indonesia.
Setelah masyarakat digemparkan dengan pemberitaan tragedi
jatuhnya pesawat Air Asia yang diangkat oleh media selama hampir selama
sebulan penuh dengan durasi tayang atau durasi pengulasan berita yang hampir
setiap jam, kini bertepatan dengan hari libur perayaan tahun baru China
(Imlek) tanggal 18 Februari 2015, ribuan penumpang atau sekitar enam ribu
penumpang penerbangan Lion Air terlantar di beberapa bandara tanah air,
akibat ketidakjelasan informasi keterlambatan penerbangan.
Saat itu, belum diketahui dengan jelas apakah alasan
penundaan dan keterlambatan penerbangan tersebut. Pihak front desk hingga
stakeholder maskapai tersebut tak kunjung tampil ke depan publik untuk
memberikan kejelasan berkaitan dengan masalah ini.
Akibatnya amarah ribuan customer penerbangan tersebut
memuncak. Para penumpang yang terlantar beberapa hari tersebut juga tidak
hanya tidak mendapatkan kejelasan kabar keberangkatan mereka, namun juga
tidak mendapatkan fasilitas pengganti yang seharusnya dipenuhi pihak
maskapai, yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 49
Tahun 2012.
Maskapai Berbasis LCC dan
Pelayanannya
Maskapai LCC atau Low Cost Carrier adalah maskapai
penerbangan yang menawarkan tarif rendah kepada customer-nya, dengan
konsekuensi penghapusan atau pengurangan beberapa layanan atau fasilitas yang
akan didapatkan oleh penerbangan reguler. Penerbangan dengan tipe ini juga
disebut 'Discounter Carrier' biasanya identik dengan bisnis jasa penerbangan
yang menganut layanan “efisisen, sederhana dan ringkas”
(bandara.web.id/low-cost-carrier-fenomena-dunia-penerbangan.html. Diakses, 20
Februari 2015).
Jenis penerbangan ini diperkenalkan di Amerika Serikat
yang akhirnya diikuti oleh banyak perusahan maskapai penerbangan di seluruh
dunia. Bagaimana tidak, bisnis tipe ini cukup merauk untung yang besar.
Dilansir dari berbagai media, pada saat kondisi penerbangan internasional
tengah mengalami krisis dengan adanya isu terorisme dan perang, jasa
penerbangan dengan basis LCC masih tetap mendapatan keuntungan. Para konsumen
tetap memlilih penerbangan murah untuk melakukan perjalanan walaupun dengan
kondisi tersebut.
Jika kita tengok di dalam negeri, kita bisa melihat Air
Asia dan Lion Air adalah dua di antara maskapai yang menerapkan konsep
penerbangan tersebut. Tak jarang kita dapat menemukan promo tarif penerbangan
besar-besaran yang dilakukan kedua maskapai tersebut melalui laman website
mereka.
Namun tak ayal dua maskapai ini juga kerap mewarnai
pemberitaan di media seputar isu pelayanan dan keselamatan penumpangnya.
Terlebih dua bulan terakhir. Setelah tragedi jatuhnya pesawat Air Asia
QZ8501, kini giliran keterlambatan pemberangkatan penumpang yang bukan
merupakan masalah pertama bagi Lion Air. Namun, peristiwa beberapa hari telah
makin mencoreng nama Lion Air sebagai maskapai penerbangan dengan tarif
'murah'. Kemudian yang menjadi pertanyaan publik atau masyarakat, apakah
layanan penerbangan berbasis 'tarif murah' ini kemudian mengabaikan
keselamatan penumpang dan pelayanannya?
Pelanggaran izin terbang yang dilakukan penerbangan Air
Asia QZ8501 pada tragedi saat itu, dan juga beberapa pelanggaran yang juga
dilakukan oleh maskapai ber-tagline "We Make People Fly" ini
menambah citra buruk bisnis penerbangan berkonsep LCC ini. Jika kita tengok karakteristik
penerbangan ini, memang LCC akan mengeliminasi layanan maskapai reguler pada
umumnya, yaitu:
- Pengurangan katering;
- Meminimalisasi layanan konsumen dengan penggunaan
bantuan IT (direct sales) sehingga dapat mengurangi operational cost dan
mendapatkan kecepatan dan kemudahan dalam sistem service-nya;
- Kapasitas kelas ekonomi yang lebih banyak daripada
layanan penerbangan reguler;
- Seringkali maskapai melakukan ekspansi promo
besar-besaran untuk memperkuat positioning mereka sebagai maskapai LCC;
- Dan memberlakukan penanganan ground handling yang cepat dan pesawat mempunyai utilisasi jam
terbang yang tinggi (http://maskapai.wordpress.com/
2008/03/13/fenomena-low-cost-carrier/. Diakses pada 20 Februari 2015).
Konsep ini memang dilakukan untuk memikat konsumen untuk
tetap dapat bepergian jarak jauh meski dengan merogoh kocek yang minim. Hal
positif yang didapatkan masyarakat adalah mobilitas masyarakat terbantu oleh
tarif tiket yang murah−walaupun dengan layanan 'ala kadarnya'. Terlebih
beberapa tahun terakhir, dengan adanya konsep penerbangan LCC, antusias
masyarakat Indonesia untuk bepergian menggunakan angkutan udara terbilang
cukup tinggi.
Sampai September 2013 total jumlah penumpang angkutan
udara mencapai 49,08 juta orang, data ini dilansir oleh Kementerian
Perhubungan Indonesia yang menjelaskan bahwa sejak 2011 sampai 2013 terjadi
kenaikan prosentase jumlah penumpang angkutan udara sebesar 10-15 persen
untuk setiap tahunnya (sinarharapan.co/news/read/30167/pertumbuhan-pesat-infrastruktur-lambat-.
Diakses pada 20 Februari 2015).
Jasa-jasa penerbangan LCC berlomba-lomba melakukan perang
tarif untuk mendapatkan konsumen yang banyak, namun terkadang mengabaikan
faktor-faktor keselamatan dan pelayanan penumpang atau hal-hal teknis yang
berkaitan dengan pelaksanaan penerbangan. Seperti yang kita lihat pada kasus
Lion Air beberapa hari ini, informasi yang saat ini berhembus tentang
penyebab ketertundaan beberapa penerbangan maskapai tersebut, dikarenakan adanya
ketidaksingkronan tim marketing Lion Air dengan pihak teknis penerbangan
maskapai tersebut sehingga menimbulkan ketertundaan penerbangan.
Hal ini diperparah juga dengan diabaikannya hak para
konsumen yang terlantar akibat tertundanya jadwal penerbangan mereka, seperti
yang dilansir dalam online news Media Indonesia, bahwa pihak Angkasa Pura
dalam peristiwa ini harus turun langsung membantu pengembalian uang pembelian
tiket atau “refund” kepada pihak konsumen Lion Air yang telah menunggu
kejelasan nasib mereka
(http://www.mediaindonesia.com/editorial/view/353/Pelayanan-Buruk-Penerbangan-Kita/2015/02/21.
Diakses pada 20 Februari 2015).
Solusi Tarif Murah vs Pelayanan
dan Keamanan
Beberapa peristiwa terkait penerbangan dua bulan terakhir
ini, memungkinkan adanya kecemasan dan penurunan kepercayaan masyarakat
Indonesia terhadap perusahaan angkutan udara, terlebih dengan sistem
pemberitaan media di Indonesia yang terkesan memberitakan isu-isu terkait
rendahnya keamanan dan pelayanan penerbangan LCC ini. Bahkan tragedi tersebut
telah mengundang rencana Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang akan
menghapuskan tiket penerbangan murah.
Mengutip detikFinance, yang menulis pernyataan Staf Khusus
Menteri Perhubungan Hadi M. Djuraid, Selasa 1 Januari 2015, “batasan tarif
penerbangan murah yang selama ini cukup diminati masyarakat, akan dihapus.”
Pemerintah menjelaskan rencana ini dilakukan agar maskapai angkutan udara
mempunyai ruang financial yang cukup untuk meningkatkan standar safety atau
kemanan penerbangan mereka (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2015/
01/07/apresiasi-menteri-ignasius-hapus-penerbangan-murah-700786.html.
Diakses pada 20 Februari 2015).
Melihat dari isu tersebut, sebenarnya penerbangan berbasis
LCC ini tidak dapat sepenuhnya selalu diidentikkan dengan “murah bearti
rendahnya pelayanan dan tingkat keamanan”. Namun yang perlu kembali kita
evaluasi adalah selain dari evaluasi teknis berkaitan dengan pengecekan
standar kemanan yang tercantum dalam IATA Operational Safety Audit (IOSA)
yang ditetapkan oleh International Air Transport Association (IATA) oleh
masing-masing maskapai dan dukungan dari berbagai pihak terkait transportasi
seperti Air Traffic Control (ATC), pihak bandara, pihak operator penerbangan,
tetapi juga bagaimana strategi komunikasi pemasaran dan customer relations
oleh masing-masing maskapai.
Mengutip Schiffman & Kanuk (2004), strategi ini tidak
melulu selalu berkaitan dengan usaha peningkatan jumlah konsumen, tetapi lebih
dari bagaimana perusahaan mampu memelihara dan menjaga kepercayaan serta
menimbulkan sikap positif terhadap pelanggannya dengan mengutamakan pelayanan
atau customer care yang baik dan berkualitas.
Kita dapat melihat bagaimana komunikasi pemasaran dan manajemen
krisis serta customer relations yang dilakukan oleh seluruh jajaran
stakeholder dan maskapai Air Asia saat tragedi jatuhnya salah satu pesawatnya
Desember lalu. Maskapai tersebut langsung memposisikan diri mereka dalam
keadaaan tanggap darurat.
Di mana, seluruh jajaran termasuk sang CEO Tony Fernandes
bersedia turun langsung memberikan penjelasan dan mencoba berusaha mengupdate
setiap informasi yang akan dan telah dilakukan dalam evakuasi penumpang dan
awak pesawat tersebut, termasuk pemberiaan kompensasi dan mengakomodir
keluhan para keluarga korban. Hal ini dapat kita lihat sebagai bentuk dari
tanggung jawab dan strategi komunikasi pemasaran serta manajemen krisis yang
dilakukan maskapai tersebut guna tetap memelihara relations yang baik terhadap
pelanggannya pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Hal tersebut juga dapat mengubah mindset masyarakat
terhadap hal-hal negatif yang berhubungan dengan tragedi kecelakan tersebut.
Dengan pengemasan yang strategi dan customer relations yang baik, citra dan
kepercayaan masyarakat akan moda penerbangan LCC ini juga akan berbuah
positif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar