Makna
Putusan Praperadilan Budi Gunawan
Maqdir Ismail ; Advokat dan Dosen
pada Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Februari 2015
DENGAN meminjam kalimat Andrew
Young dalam tulisannya The Forgotten
Spirit of the Magna Carta, dapat dikatakan bahwa `Putusan objek
praperadilan' yang diperluas oleh Hakim Sarpin Rizaldi bukan merupakan akta
kelahiran kebebasan hakim dalam menafsirkan UU, melainkan harus dipandang
sebagai `sertifikat kematian' dari kesewenang-wenangan dalam menetapkan
status seorang menjadi tersangka. Putusan praperadilan ini harus dianggap
bahwa semua orang tidak dapat dijadikan tersangka, direbut kebebasannya,
kecuali dengan proses hukum yang dilakukan secara adil melalui proses
penyidikan.
Bukan ditetapkan lebih dahulu menjadi tersangka, kemudian
diperiksa sambil mencari bukti sehingga putusan praperadilan ini harus dibaca
membatasi kekuasaan penyidik dalam satu proses hukum karena penyidik tidak
dapat disamakan dengan hukum.
Secara ideal, hukum acara itu
memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik, dan
penuntut kemudian diberikan penilaian oleh hakim.Dalam proses hukum, ada
kesetaraan antara warga negara dan penegak hukum. Inilah yang dianut Hukum
Acara Pidana Indonesia, penyidikan adalah kegiatan mengumpulkan bukti yang
akan membuat terang perkara sehingga kemudian dapat menemukan tersangka.
Proses penetapan tersangka itu bukanlah penetapan acak karena penetapan
tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan orang kebanyakan atau
orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan cara yang baik dan
benar.
Sebagaimana dipahami, hukum acara
pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan
penegak hukum atas nama negara dalam proses penyelidikan, penyidikan, hingga
proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan
melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Pada hakikatnya,
hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari
perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum atas dugaan melakukan
perbuatan pidana. Secara khusus, hukum acara pidana dirancang untuk
melindungi dan menegakkan hak-hak konstitusional tersangka dan terdakwa pada
saat dimulai penyelidikan, penyidikan, proses peradilan, sampai pelaksanaan
hukuman atau eksekusi.
Oleh karena itu, hukum acara
tersebut menerapkan standar proses hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan
keadilan itu sendiri. Pada negara yang menganut demokrasi, hukum tidak
digunakan untuk memberangus keadilan yang seharusnya ditegakkan dan
dipelihara atau untuk mem batasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya
dijunjung tinggi. Adalah benar bahwa hukum acara itu bukan untuk memanjakan
orang yang diduga bersalah, melainkan untuk melindungi orang tidak bersalah
dari ancaman hukuman.
Perlindungan terhadap orang diduga bersalah atau
terdakwa yang menjalani proses hukum pada hakikatnya sebagai kebajikan
pendekatan dalam proses hukum karena lebih baik membebaskan seribu orang
bersalah daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah dan menderita
secara tidak adil.
Perlindungan yang diberikan hukum acara pidana ini,
termasuk perlindungan dari tindakan pencarian bukti kesalahan yang tidak
masuk di akal dan menjurus pada unfair
prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar hukum
dalam proses penyelidikan dan penuntutan yang tidak berdasarkan atas hukum
serta proses peradilan yang memihak.
Dalam suatu proses hukum, aparat
penegak hukum diberi kewenangan untuk menegakkan hukum kepada siapa saja yang
disangka melanggar hukum. Tidak ada perbedaan. Meskipun demikian, negara
hanya dapat melakukan tindakan terhadap individu yang diduga melakukan suatu
tindak pidana berdasarkan bukti-bukti yang sah sesuai ketentuan UU. Di sisi
lain ada kewajiban dari negara, terutama pemerintah dan penegak hukum untuk
memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Menurut Gustav Radbruch, jika
hukum positif isinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan
rakyat, UU seperti ini cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum
sebab hukum itu pada prinsipnya untuk menegakkan keadilan.
Dalam perkara praperadilan,
tanggung jawab negara, terutama pemerintah untuk melindungi warga negaranya
dari penetapan sebagai tersangka secara semenamena telah dialihkan kepada
hakim sebagai penafsir UU. Ini sangat naif karena negara dan pemerintah gagal
dalam melaksanakan tanggung jawab mereka untuk melindungi warga negaranya.
Pergeseran tanggung jawab negara dan pemerintah tersebut, jika itu terjadi,
pada akhirnya berfungsi untuk melemahkan kebebasan yang diberikan oleh UUD
sebab pergeseran tanggung jawab tersebut memungkinkan terjadinya perbedaan
pendapat dari setiap hakim yang akan berujung pada tidak adanya kepastian
hukum.
Dalam kaitannya dengan
praperadilan, KUHAP membatasi sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, yakni ganti kerugian dan
atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan. Tidak termasuk penetapan tersangka, padahal
penetapan tersangka itu ialah induk dari upaya paksa, dengan ditetapkan
sebagai tersangka, seseorang dapat ditangkap, ditahan, dan dituntut.
Dengan kekosongan hukum, tidak
tegasnya tempat menguji penetapan tersangka. Kalau dianggap tidak jelas dasarnya
bahkan tidak berdasarkan atas hukum, tentu harus dibuka pintu masuknya
melalui praperadilan. Dengan membuka pintu masuk, menguji sah atau tidaknya
penetapan tersangka. Inilah yang dilakukan dalam praperadilan Budi Gunawan
dan Hakim Sarpin Rizaldi sebagai penafsir UU membuka pintu masuk kekosongan
hukum melalui putusannya.
Makna dari putusan praperadilan
itu harus dibaca sebagai kemenangan hukum dan keadilan yang selama ini
disembunyikan di balik tembok sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Pada hakikatnya, pengujian
penetapan tersangka melalui praperadilan agar ada tafsir yang jelas atau
batasan yang pasti mengenai keabsahan penetapan tersangka sehingga
pelanggaran terhadap HAM atas nama penegakan hukum tidak terjadi
terus-menerus. Oleh karena itu, hukum untuk mengatur manusia agar hak-haknya
terlindungi, harkat dan martabatnya dijunjung tinggi karena hukum itu bukan
untuk merendahkan harkat dan martabat manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar