Kuda
Besi Ibukota, Solusi Praktis yang Jadi Antagonis
Ardi Yunanto ; Peneliti
di ruangrupa, Jakarta
|
INDOPROGRESS,
11 Februari 2015
AKSI Pemprov DKI Jakarta melarang motor melintasi jalan
protokol tidak datang tiba-tiba. Pada 2007, pernah ada rencana serupa: Jalan
M.H. Thamrin sampai Jalan Sudirman terlarang bagi motor. Banyak ditentang,
rencana itu dibatalkan. Larangan sepeda motor melintasi Jalan Medan Merdeka
Barat sampai Jalan M.H. Thamrin belakangan ini adalah perwujudan rencana tak
kesampaian itu.
Jarak Jalan Medan Merdeka Barat sampai Jalan M.H. Thamrin
yang sekitar lima kilometer itu, boleh jadi lebih pendek ketimbang jarak
Jalan M.H. Thamrin sampai Jalan Sudirman dalam rencana 2007. Namun, bukan itu
persoalannya. Pelarangan motor melintasi jalan protokol itu melanggar Hak
Asasi Manusia, yaitu hak mobilitas yang dimiliki setiap warga kota.
Sekalipun jumlah kendaraan pribadi yang kian menjadi-jadi
merupakan masalah genting untuk ditangani, tidak ada satu manusia
pun—termasuk Ahok, sapaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama—yang
berhak melarang warga untuk bepergian. Sebagai pemilik kendaraan pribadi yang
membayar pajak kendaraan, yang warga dapatkan dari pemerintah seharusnya
perbaikan infrastruktur transportasi, bukan pelarangan.
Setelah pemerintah Jakarta menunjukkan kekuasaannya kepada
pengendara motor hampir selama tiga bulan terakhir, Indonesia Traffic Watch (ITW) menggugat Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor ke
Mahkamah Agung. Menurut Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan, aturan itu
bertentangan dengan Pasal 133 ayat 2c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur pembatasan kendaraan
bermotor pada koridor, jalan, dan waktu tertentu. Persoalaannya, seperti
diungkapkan Edison dalam Tempo.co, 21 Januari 2015, “(Dalam peraturan) ini
(kendaraan bermotor) bukan dibatasi, tapi dilarang 24 jam.”
Ahok sendiri tak menganggap gugatan itu. Keyakinannya
tetap: pelarangan itu merupakan bagian dari upaya pemerintah Jakarta
mendorong warga agar mau menggunakan sarana transportasi umum.
Kita masih harus menunggu hasil gugatan terhadap larangan
yang diskriminatif itu. Namun, untuk sementara, kasus ini secara gamblang
memperlihatkan betapa frustrasinya pemerintah menangani kemacetan Jakarta.
Ahok, bukan saja tak lebih maju daripada Sutiyoso karena ia mewujudkan
rencana pelarangan Gubernur DKI Jakarta 1997–2007 itu, melainkan juga tak
menyadari bahwa penyebab utama kemacetan Jakarta selama ini justru pemerintah
Jakarta sendiri, yang cenderung mengandalkan pembangunan infrastruktur jalan
ketimbang membenahi infrastruktur transportasi lain secara serius.
Boleh jadi ini tuduhan yang serius, berkebalikan dengan
kepercayaan Ahok yang ia katakan pada Tempo.co, 21 Januari 2015, bahwa
kemacetan Jakarta disebabkan oleh banyaknya kendaraan pribadi.
Sebagai gubernur, Ahok seharusnya tak menyederhanakan
persoalan kemacetan Jakarta. Kita sudah sangat akrab dengan kelakuan semacam
ini: menyelesaikan masalah tanpa perencanaan matang, sehingga solusi yang
keluar sepotong-sepotong, lalu masalah berakhir dengan terciptanya masalah
baru. Ini tindakan lawas pemerintah Jakarta yang nyaris jadi tradisi, dari
yang paling korup sampai yang katanya paling bersih di zaman Ahok ini.
Nyatanya, bersih rekening saja memang tak cukup.
Pandangan tersebut—soal kecenderungan pemerintah
mengandalkan pembangunan infrastruktur jalan—bukan pula pandangan baru. Yang
saya kutip berikut ini adalah tulisan Tory Damantoro dalam buku Kata Fakta
Jakarta terbitan Rujak Center for Urban Studies pada 2011, yang dengan jernih
menjelaskan faktor penyebab kemacetan Jakarta.
Singkatnya, kemacetan Jakarta merupakan dampak pembangunan
yang lebih mendahulukan kepentingan ekonomi yang cenderung mengabaikan
kepentingan masyarakat, sehingga penggunaan ruang tak memberikan manfaat bagi
seluruh warga. Ketika harga tanah naik seiring peningkatan kebutuhan akibat
pertambahan jumlah penduduk, banyak warga yang terpaksa menyingkir dari pusat
kota. Perjalanan warga dari rumah ke tempat kerja yang makin jauh menyebabkan
kemacetan di koridor utama yang berdampak buruk pada aksesibilitas kota
secara keseluruhan, yang justru disambut pemerintah dengan solusi terus
menambah jalan, yang hasilnya justru memicu warga memiliki kendaraan pribadi.
Akhirnya, “kombinasi dari pertambahan jumlah penduduk,
pemekaran kota yang tak terkendali, pergerakan warga yang makin banyak dan
jauh, kebijakan pembangunan jalan sebagai infrastruktur transportasi utama,
serta tingginya ketergantungan warga pada kendaraan pribadi menjadi faktor
penyebab terjadinya kemacetan berkepanjangan.”
Faktanya, tulis Tory, selama 2000–2010, Pemprov DKI
Jakarta melebarkan dan membangun jalan, mendirikan 56 fly over dan underpass,
namun kemacetan justru semakin parah. Alih-alih berpedoman pada konsep baru,
predict and manage, pemerintah justru berpedoman pada predict and supply,
yang “percaya bahwa jalan harus terus dibangun untuk melayani pertumbuhan
jumlah kendaraan bermotor.”
Paparan Tory tersebut, selaras dengan keengganan
pemerintah sampai hari ini membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Begitu
kendaraan pribadi makin membanjir, seiring banjir manusia dan banjir air,
kemacetan Jakarta jadi masalah nasional. Tanpa pikir panjang, kendaraan
pribadi itulah yang disalahkan, bukan pemerintah Jakarta yang sejak dulu
menjadi pemasok terbesar jalanan agar kendaraan bisa berjalan leluasa sampai
akhirnya jadi kebanyakan dan bikin semua orang kelabakan.
Oleh karena itu, pembatasan pergerakan kendaraan pribadi
yang akhirnya diterapkan. Sesuai UU No. 22 Tahun 2009 tadi, pembatasan memang
dapat dilakukan. Three in One dan calon program ERP misalnya, adalah salah
satu cara pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Belakangan bahkan ada
wacana kalau mobil bakal boleh lewat jalur Transjakarta asal bayar. Namun,
pelarangan adalah soal lain.
Melarang, jelas jauh lebih mudah karena mengabaikan
masalah yang lebih besar, apalagi kalau itu disebabkan oleh si pelarang
sendiri. Tak sulit pula melihat bahwa mentalitas pelarangan motor ini adalah
mentalitas yang sama dengan penggusuran kaum miskin kota. Dalam Kompas.com, 2
Desember 2014, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah, mengatakan bahwa
pelarangan motor ini seperti “penertiban di bantaran kali dan ruang terbuka
hijau.” Dalam kadar tertentu, melarang motor itu sama gampangnya dengan
menganggap warga di bantaran kali sebagai penyebab banjir sambil melupakan
berbagai superblok yang justru menempati ruang terbuka hijau yang seharusnya
jadi daerah resapan air.
Melihat motor sebagai bagian dari kendaraan pribadi pun
tak bisa sesederhana itu. Dalam Kompas.com, 22 Januari 2007, Ahok boleh saja
bilang bahwa tidak ada transportasi mana pun yang dapat mengalahkan
kenyamanan naik motor karena dapat menghindari kemacetan. Tetapi, naik motor
itu sama sekali tidak nyaman. Apalagi kalau ukuran kenyamanannya hanya karena
dapat menghindari kemacetan.
Motor memang membuka jendela kebebasan baru. Bagi Franz
Magnis-Suseno, dalam Kompas, 22 Januari 2007, itu adalah, “Bebas dari
keharusan berada dalam empat jam per hari dalam bus-bus dan angkot yang jorok
dan tidak aman. Bebas dari biaya mencekik pemakaian angkutan umum. Bebas
untuk cepat ke tempat yang perlu.” Tapi, barangkali agar tak ada orang
seperti Ahok di kemudian hari yang menganggap naik motor itu nyaman, ia
menegaskan, kalau mereka yang menggunakan motor itu “bukan karena mereka
iseng-iseng, melainkan karena mereka membutuhkannya.”
Motor adalah kendaraan pribadi yang paling terjangkau bagi
kebanyakan orang. Jika pilihan lain tersedia, pengendara motor akan rela
memarkirkan kuda besinya. Contoh kecilnya adalah pengendara motor yang
belakangan ini mulai menggunakan kereta api listrik yang kondisinya sejak
setahun terakhir semakin baik.
Dengan kata lain, motor perlu dilihat sebagai solusi
praktis warga dalam menghadapi kemacetan dan buruknya transportasi umum di
Jakarta, yang puluhan tahun lamanya gagal diatasi pemerintah yang digaji
warga melalui pajak. Warga tentu mengharapkan solusi yang lebih cerdas
daripada sekadar melestarikan arogansi pemerintah sebelumnya dalam wujud
paling mutakhir. Suatu solusi yang perlu diatasi pemerintah sambil menyadari
sepenuhnya bahwa dirinya telah lebih dulu bersalah karena tidak mampu
mengatasi kemacetan. Pelarangan semacam ini seharusnya tak perlu terjadi,
terutama karena pelarangan motor melintasi jalan protokol ini telah melanggar
hak asasi manusia, bahkan sejak masih dalam rencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar