Kriminalisasi
Pasal Gratifikasi
Lalola Easter ; Divisi
Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
17 Februari 2015
SEHARI sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR,
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan
sebagai tersangka dalam perkara korupsi. Mantan ajudan Megawati Soekarnoputri
itu dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b, Pasal 5 Ayat 2, serta Pasal
11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1
ke-1 KUHP. Semua pasal ini mengatur penerimaan hadiah atau janji.
Menarik mencermati penggunaan Pasal 12 B Undang-Undang
Tipikor karena KPK tidak pernah menggunakan pasal ini untuk menuntut terdakwa
korupsi. Lebih menarik lagi mencermati pernyataan Kepala Divisi Humas Polri
Inspektur Jenderal Ronny F Sompie yang menyatakan bahwa Budi Gunawan tidak
korupsi karena ia tidak merugikan keuangan negara. Ia hanya menerima
pemberian.
Ini bukan kali pertama gratifikasi atau suap tidak
dianggap sebagai korupsi. Rudi Rubiandini, terpidana korupsi SKK Migas,
pernah menyatakan hal yang sama. Bagi sebagian orang, menerima gratifikasi
ataupun suap bukanlah korupsi karena tidak mengakibatkan kerugian negara.
Jika melihat Undang-Undang Tipikor, ada tujuh bentuk tindak
pidana korupsi, yaitu perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara,
suap, penerimaan gratifikasi, konflik kepentingan dalam pengadaan, pemerasan,
penggelapan, dan perbuatan curang. Dapat dilihat bahwa tindakan menerima
gratifikasi termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Mengapa demikian? Paling tidak ada dua alasan untuk
mengkriminalisasi gratifikasi. Pertama, karena kebiasaan menerima dan memberi
di antara warga masyarakat masih lekat. Kedua, karena pasal ini adalah batu
loncatan penerapan norma illicit
enrichment (peningkatan harta kekayaan secara tidak sah). Norma illicit enrichment belum diakomodasi
dalam peraturan hukum anti korupsi di Indonesia.
Penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor menyebutkan
bahwa gratifikasi adalah segala bentuk pemberian, artinya ketika seorang
pegawai negeri atau pejabat negara menerima pemberian di luar pendapatannya
yang sah, ia sudah menerima gratifikasi. Pertanyaan selanjutnya, apakah semua
pemberian kepada pegawai publik atau penyelenggara negara dapat dipidana
dengan pasal gratifikasi?
Disiplin PNS
Larangan menerima gratifikasi sebenarnya diatur pula dalam
peraturan pemerintah tentang disiplin pegawai negeri sipil (PNS) sehingga
semua pegawai publik dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun terkait
dengan jabatannya. Menerima pemberian dari seseorang berpotensi besar
memengaruhi pelaksanaan tugas pegawai publik tersebut, baik secara sadar
maupun tidak. Hal ini dapat memengaruhi pegawai publik dalam proses
penyelenggaraan pelayanan publik ataupun pengambilan kebijakan.
Pasal gratifikasi dalam Undang-Undang Tipikor berfungsi
preventif dan represif. Langkah ini dapat dilihat dalam kewajiban melaporkan
pemberian dalam jangka waktu 30 hari. Implikasi pelaporan adalah ia
mendapatkan impunitas dari pemidanaan karena niat jahat melakukan tindak
pidana menerima gratifikasi dianggap gugur. Pasal ini sekaligus mengatur
kewajiban pembalikan beban pembuktian oleh penerima gratifikasi.
Lalu, penerimaan gratifikasi seperti apa yang dapat
dipidana? Pada pasal gratifikasi terdapat frasa berikut, ”Setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap…”.
Artinya, gratifikasi yang memenuhi unsur-unsur pasal akan ”naik peringkat”
menjadi menerima suap.
Kembali ke alasan mengkriminalisasi pasal gratifikasi,
alasan kedua penerapan pasal ini adalah sebagai ”batu loncatan” untuk
menerapkan norma illicit enrichment. Jika dilihat, pasal ini tidak
menyaratkan ada atau tidak adanya perbuatan lanjutan dari penerimaan
pemberian oleh pegawai publik karena perbuatan menerima pemberian itu sudah
merupakan perbuatan melawan hukum.
Hal ini dapat dilihat sebagai berikut, segala bentuk
pemberian kepada pegawai publik adalah ilegal sehingga pegawai publik yang
tidak melaporkan pemberiannya dalam jangka waktu 30 hari dapat dianggap
menerima suap, sampai dapat dibuktikan sebaliknya atau ia dapat membuktikan
bahwa pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatannya.
Lalu, di mana letak penerapan norma illicit enrichment?
Hal ini berkaitan dengan pembuktian hukum, di mana pegawai publik yang
dijerat dengan pasal gratifikasi wajib membuktikan bahwa pemberian tersebut
tidak berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban dan
tugasnya, dan/atau bahwa pemberian tersebut didapat dari sumber yang sah.
Di sinilah letak penerapan norma illicit enrichment,
selama pegawai publik tidak dapat membuktikan kedua hal tersebut, ia dapat
dipidana karena menerima suap, dan seluruh harta yang tidak dapat
dijelaskannya dapat dirampas oleh negara.
Apakah pemberi suap lantas tidak dapat dipidana?
Sepatutnya pemberi suap juga dapat dipidana mengingat penerimaan gratifikasi
tersebut sudah ”naik peringkat” menjadi penerimaan suap, dengan demikian
pemberi hadiah dapat pula dipidana dengan pasal pemberi suap, yaitu Pasal 13
Undang-Undang Tipikor.
Jadi, jika penuntut umum KPK betul-betul menuntut Budi
Gunawan dengan pasal gratifikasi yang dianggap suap, si pemberi dapat pula
dijerat dengan pasal suap. Inilah potensi besar Pasal 12 B Undang-Undang
Tipikor yang belum disadari, termasuk penuntut umum KPK.
Kriminalisasi pasal gratifikasi dapat dimanfaatkan untuk
menjerat pegawai publik dan penyelenggara negara yang tidak dapat membuktikan
bahwa harta-harta yang diperolehnya berasal dari sumber yang sah, paling
tidak hingga norma illicit enrichment
diatur dalam Revisi Undang-Undang Tipikor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar