Kongres
Umat Islam
Amirsyah Tambunan ; Sekretaris
0C KUII,
Dosen UIN pada Universitas Muhammadiyah Jakarta
|
REPUBLIKA,
04 Februari 2015
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang saat ini dipimpin Prof
Dr HM Din Syamsuddin MA mempunyai komitmen dan semangat yang kuat menggelar
Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada 8-11 Februari 2015.
Komitmen dan semangat yang kuat juga tecermin dalam pertemuan bersama dengan
organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.
Setelah diskusi yang intens berhasil menetapkan tema besar
(KUII) yang sangat strategis dan dibutuhkan umat dan bangsa, yakni penguatan
peran politik, ekonomi, dan sosial budaya umat Islam untuk Indonesia yang
berkeadilan dan berperadaban. KUII akan dihadiri 700 peserta yang merupakan representasi
umat Islam, terdiri atas tokoh perorangan, baik dari ulama, zuama, dan
cendekiawan ormas Islam, unsur pondok pesantren, perguruan tinggi, lembaga
kesultanan tingkat daerah, pusat, seluruh Indonesia. Selain itu akan
menghadirkan partisipan dari lembaga-lembaga Islam luar negeri.
Banyak yang bertanya apa target kongres ini? Apa yang
dihasilkan Kongres I hingga V? Apakah harapan besar umat dan bangsa terhadap
Kongres VI akan tercapai? Dapat ditegaskan di sini bahwa target KUII VI,
antara lain, kata Ketua Panitia Anwar Abbas, untuk memperkuat potensi ekonomi
umat dalam kerangka penguatan paradigma Islam di nusantara. Di samping itu,
untuk menyamakan persepsi demi kemajuan umat Islam mengawal Pancasila,
kedaulatan NKRI berdasarkan UUD 1945.
Kongres ini bertujuan mengonsolidasikan agenda keislaman
dan kebangsaan melalui penguatan persatuan dan kesatuan umat Islam di sektor
politik, ekonomi, dan sosial budaya sekaligus memperkuat identitas peradaban
Islam di nusantara. Secara khusus bertujuan melakukan evaluasi kritis
kebijakan tata ruang Indonesia yang telah mengubah lanskap Tanah Air yang
berorientasi kepada kapitalis yang merupakan anak kandung liberalisme.
Umat Islam sebagai komponen terbesar bangsa ini mengalami
situasi sulit, dilematis, karena antara harapan dan kenyataan masih
menyisakan banyak masalah. Masalah terbesar bahwa ekonomi dewasa ini
dikendalikan kapitalisme atau kapitalis, yakni paham yang meyakini pemilik
modal bisa melakukan usahanya meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Berdasarkan prinsip ini, pemerintah belum efektif
melakukan intervensi pasar guna meraih keuntungan bersama, tapi intervensi
terhadap pemerintah dilakukan besar-besaran untuk kepentingan pribadi,
kelompok tertentu.
Kita lacak akar masalahnya adalah besarnya pengaruh paham
Adam Smith. Di satu sisi ini dosa besar Adam Smith dan di sisi lain tokoh
yang mengikuti pemikiran itu dapat dikategorikan tanpa alasan (taklid) buta.
Adam Smith tokoh ekonomi kapitalis klasik yang menyerang merkantilisme yang
kurang mendukung ekonomi masyarakat. Ia menyerang birokrat yang menganggap
tanah adalah paling penting dalam pola produksi. Gerakan produksi haruslah
bergerak sesuai konsep MCM (modal-commodity-money).
Modal-komoditas-uang suatu hal yang tidak akan berhenti
karena uang akan beralih menjadi modal lagi dan akan berputar bila
diinvestasikan. Adam Smith memandang ada kekuatan tersembunyi yang akan
mengatur pasar (invisible hand),
maka pasar harus memiliki laissez-faire
atau kebebasan dari intervensi pemerintah. Pemerintah hanya bertugas sebagai
pengawas dari semua pekerjaan rakyatnya, bukan berpihak kepada rakyat.
Berdasarkan masalah ini, kritik dan solusi yang mesti
menjadi perhatian kongres umat Islam adalah mengembalikan semangat dan
komitmen mempertahankan hak ekonomi umat berdasarkan spiritualitas dan simbol
Islam di nusantara yang menjadi ciri khas. Simbol Islam di nusantara berhasil
digali dari kearifan lokal sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Para
pahlawan kemerdekaan telah mewarisi semangat itu sehingga mampu bersikap arif,
bijak memperjuangkan kemerdekaan NKRI.
Harapan dan solusi
Sejak awal Islam masuk ke nusantara abad ke-7 M dipercaya
melalui jasa pedagang Arab Muslim. Itulah sebabnya umat Islam berupaya
membentuk komunitas pasar tradisional—di mana ada komunitas umat, di situlah
berdiri pasar. Tapi, kini pasar itu secara perlahan telah digeser para
kapitalis.
Umat harus bersikap tegas menolak segala tipu daya
kapitalis. Ini semangat yang diwariskan Rasulullah SAW. Umat Islam harus
merebut dan mempertahankan pasar tradisional maupun pasar modern. Karena
Islam berdasarkan Alquran dan sunah telah memberikan prinsip dan panduan
kepada umatnya untuk berniaga atau berbisnis (tijarah) demi kebahagian dunia dan akhirat.
Konsep mekanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada
hadis Rasulullah SAW sebagaimana disampaikan Anas RA, sehubungan dengan
kenaikan harga-harga barang di Kota Madinah. Dengan hadis ini terlihat jelas
bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 14 abad) mengajarkan konsep mekanisme
pasar daripada Adam Smith.
Dalam hadis tersebut diriwayatkan, “Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu
mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata, ‘Ya Rasulullah, hendaklah
engkau menentukan harga.’ Rasulullah SAW berkata, ‘Sesungguhnya Allahlah yang
menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku
harapkan kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu
menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.’”
Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW
dalam hadis itu tidak menentukan harga. Ini menunjukkan ketentuan harga
diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Artinya, tidak
boleh secara liberal menentukan harga pasar, tetapi berdasarkan nilai-nilai
spiritual, nilai keadilan untuk mengabdi kepada Allah, karena segalanya milik
Allah harus dikembalikan kepada-Nya.
Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar
karena ucapan Nabi SAW itu mengandung pengertian harga pasar itu sesuai
kehendak Allah yang sunatullah atau hukum supply and demand. Menurut pakar
ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang
mestinya meluruskan pemikiran Adam Smith dengan nama teori invisible
hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak
kelihatan. Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan
tangan-tangan Allah? Pertanyaan yang harus dijawab para pakar dan praktisi
ekonomi.
Namun yang jelas, kezaliman dalam darah maupun harta telah
kita saksikan melalui penguasaan tanah oleh kapitalis, di mana hak rakyat
dirampas sehingga rakyat tidak lagi memiliki tanah yang cukup untuk bercocok
tanam. Jika ini dibiarkan akan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal.
Politik transaksional telah mengubah struktur dan
komposisi kekuatan ekonomi. Sebaliknya, komponen terbesar umat Islam belum
bisa menjadi pengendali. Kekuatan politik belum mampu mengendalikan
distribusi kekuatan ekonomi umat sehingga cita-cita Indonesia yang
berkeadilan dan berperadaban masih di persimpangan jalan.
Diharapkan KUII VI mampu membedah permasalahan umat dan
bangsa sekaligus memberikan solusi. Pertama, berkaitan dengan sengkarut
politik, peserta kongres diharapkan merumuskan format strategis politik Islam
Indonesia yang kontributif. Karenanya diperlukan tokoh sentral perorangan
maupun kelembagaan yang aspiratif dan berintegritas, kapasitas dan
akuntabilitas yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa.
Kedua, dalam konteks ekonomi kapitalis, diharapkan KUII
memberikan dukungan bagi umat Islam menguatkan sektor ekonominya. Berkaitan
dengan penguatan peran dan akses perekonomian umat Islam secara kelembagaan,
sistem ekonomi syariah yang berkelanjutan maupun perorangan. Ketiga,
merumuskan arah reformasi lanskap peradaban Islam mencakup tata ruang dan
filosofi spiritualitasnya berdasarkan prinsip keadilan untuk Indonesia yang
berperadaban.
Berdasarkan tiga hal itu, perlu dilakukan langkah
strategis oleh semua komponen bangsa. Pertama, melakukan konsolidasi untuk
penguatan gerak langkah (tansiqul
harakah) dan menyamakan persepsi (taswiyatul
manhaj) umat dalam membangun kekuatan ekonomi umat dan bangsa melalui
lembaga pendidikan yang berorientasi pada keadilan dan berperadaban.
Kedua, berkaitan dengan penguatan peran dan akses perekonomian
umat Islam baik secara sistem untuk kelembagaan seperti ormas, pesantren,
perguruan tinggi maupun perorangan harus mampu membuka komunitas pasar yang
sesuai budaya dan kearifan lokal untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Ketiga, bagi peserta KUII diharapkan menyosialisasikan
dengan cara memahami dan melakukan aksi nyata usai kongres. Sebagai penutup,
penulis mempunyai harapan besar kepada semua komponen bangsa agar kongres ini
mendapat dukungan semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar