Kewenangan
Minus Etika
Danang Girindra Wardana ; Ketua Ombudsman Republik Indonesia
|
KORAN
SINDO, 10 Februari 2015
Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan sebuah
keprihatinan terhadap situasi dua lembaga tinggi negara kita: Kepolisian dan KPK.
Lembaga yang digadang-gadang menjadi garda terdepan penegakan hukum itu kini
tengah terjebak dalam situasi konfrontatif yang menyedihkan. Imbasnya, agenda
penegakan hukum tersendat hanya karena fenomena saling unjuk kewenangan
penegakan hukum itu sendiri.
Publik terkesan terbelah membela KPK atau Polri, sementara
Presiden dipandang menjadi sumber masalah dan sekaligus tumpuan harapan
penyelesaian masalah. Beberapa tokoh malah terkesan latah menghujat
institusi- institusi itu dan bahkan terdengar mengumpat sosok personal
Presiden dengan nada menghina, merendahkan dan memperkeruh suasana.
Padahal, saya yakin betul bahwa tokoh-tokoh itu memahami
pentingnya Presiden bersikap netral, menghormati tanpa intervensi terhadap
upaya penegakan hukum. Intervensi eksekutif terhadap urusan yudikatif
dianggap tabu dalam tatanan trias politica, bisa menjadi umpan proses politik
impeachment.
Dalam hal ini, kita perlu mengingatkan bahwa ada dua
dimensi lain yang perlu dipelajari untuk mencegah konflik terulang di masa
depan. Pertama, dimensi rasionalitas versus emosionalitas. Benar bahwa
supremasi hukum di atas segalanya. Namun, di balik supremasi hukum yang
sangat rasional itu terdapat manusia-manusia yang menerjemahkan kaidah hukum
ke dalam rangkaian tindakan kewenangan praktikal manusiawi para penegak hukum
lengkap dengan motif dan hasratnya.
Artinya, di sela-sela keputusan hukum oleh para pejabat
publik dengan segala rasionalitasnya terdapat dimensi emosional dalam bentuk
motivasi atau hasrat. Sehingga, rasionalitas keputusan pejabat publik, tidak
bisa tidak, diwarnai motif atau hasrat (intangible
assets) manusiawi. Rasionalitas bisa diartikan inteligensia.
Pejabat publik sangat perlu memiliki kemampuan ini untuk
mempelajari semua hal terkait proses pembuatan keputusanataukebijakan. Namun,
pada saat yang bersamaan, pejabat publik itu juga memiliki dimensi
emosionalitas, dalam salah satu bentuknya, yakni selera (suka atau tidak
suka) yang kemudian menyaring aneka pilihannya ketika menentukan hal yang
perlu diperhatikan dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan.
Kedua, dimensi etik versus prosedur baku. Tahun lalu telah
dirancang RUU Etika Penyelenggara Negara. Namun sayangnya, RUU yang menjadi
bagian penting dari agenda reformasi birokrasi ini masih belum dilanjutkan
dan dikeluarkan dari jadwal prioritas pembahasan.
Sekiranya saat ini sudah terdapat pengaturan tentang etika
penyelenggara negara, maka bisa diharapkan adanya batas-batas etik yang
berlaku universal terhadap seluruh pejabat negara dan Pemerintahan terkait
dengan bagaimana seorang pejabat negara (pejabat publik) bersikap etik dalam
menyusun atau mengimplementasikan keputusan atau kebijakan tersebut.
Dimensi rasionalitas dan emosionalitas itu berada dalam
ranah individu-individu, namun dimensi etik berada di ranah sosial, karena
itu etik sering kali paralel dengan norma-norma yang berlaku. Etika akan
selalu terkait pada ruang dan waktu pada satu saat tertentu sehingga akan
mewarnai dampak dari produk kebijakan itu.
Artinya sebuah produk hukum atau keputusan hukum yang
bagus atau berkualitas–karena telah sesuai dengan prosedur baku– namun
dikeluarkan dengan cara-cara yang tidak etis pada ruang dan waktu tertentu
maka dampaknya bisa merusak. Substansi keputusan atau kebijakan apapun bakal
tergerus oleh persepsi yang didominasi selera (rasa suka atau tidak suka),
bukan lagi soal benar-salah keputusan atau kebijakan itu.
Terlepas dari masalah substansi dugaan pelanggaran pidana,
tampak jelas bahwa fenomena perseteruan KPK dan Polri lebih kental disebabkan
masalah etik. Kedua belah pihak tampak lebih bernafsu mempertontonkan
kewenangan (show of force) sehingga
minus kaidah-kaidah etika penyelenggaraan negara (meskipun belum terdapat
pengaturan seragam untuk semua institusi negara dan pemerintahan).
Benar bahwa kedua belah pihak memiliki kewenangan besar
menindak dugaan pidana, namun tampak juga benar bahwa kewenangan-kewenangan
itu juga dipertontonkan sedemikian rupa pada ruang waktu tertentu, pada
momentum tertentu, dengan cara tertentu. Apa etik yang dilanggar?
Polri dan KPK memiliki pengaturan kode etik masing-masing,
sehingga itu bisa dipakai untuk mengukur seberapa besar deviasi antara aturan
dan praktik. Pengawas internal atau dewan etik bisa berperan untuk menilai
dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada pelanggaran etik supaya kredibilitas
lembaga tidak ternoda.
Apakah etik skala mikro yang berlaku di internal lembaga
ataukah etik skala makro yang perlu dipakai untuk mengukur deviasi etik
pejabat publik? Mengingat bahwa ketentuan kode etik yang berlaku di setiap
lembaga publik berbedabeda, maka ketentuan itu hanya berlaku dan mengikat ke
dalam. Misalnya bahwa tidak mungkin susunan kode etik KPK dipergunakan untuk
menindak etika pejabat Polri.
Sayangnya, saat ini, pengaturan kode etik secara makro
berlaku untuk seluruh lembaga negara atau lembaga pemerintahan belum ada.
Etika penyelenggara negara berada di ruang makro yang berkaitan dengan
kepentingan negara atau publik di skala yang lebih luas. Di dalam kepentingan
sebesar itu, pejabat publik wajib mengedepankan etika agar kepentingan-
kepentingan besar itu tidak terdistorsi perilakuperilaku kewenangan.
Artinya, dalam susunan kode etik makro penyelenggara
negara perlu mengemukakan pemahaman bahwa eksekusi aneka kewenangan
lembaga-lembaga negara atau pemerintahan terletak di bawah kepentingan
strategis negara. Artinya lebih dalam lagi, harus terdapat pemahaman di
antara pejabat publik bahwa dalam menjalankan eksekusi pelbagai kewenangan
itu mesti memperhitungkan potensi kebaikan atau kerusakan atas kepentingan
strategis nasional.
Kita bisa pahami bahwa domain etik juga berkaitan erat
dengan norma-norma pejabat negara yang secara makro berlaku umum, menurut
saya setidaknya terdiri dari lima pengaturan utama: mengedepankan kepentingan
strategis keamanan nasional dan ketertiban publik; menjaga rahasia negara dan
jabatan; bebas konflik kepentingan; berperilaku sopan dan ucapan yang jujur;
bertindak egaliter tidak diskriminatif.
Lima unsur tersebut mestinya ada di dalam ketentuan etik
baik di KPK, Polri, ataupun kebanyakan institusi publik. Mengingat bahwa
ruang dan waktu adalah faktor penting dalam menjalankan kewenangan, perilaku
sopan dan ucapan jujur serta keputusan yang nondiskriminasi, maka hal itu
bisa dipergunakan untuk menilai apakah seorang pejabat publik diindikasikan
kuat melanggar ketentuan kode etik atau tidak.
Bila teori itu
diturunkan ke persoalan faktual, teori tersebut bisa digunakan untuk menilai
apakah ketika pimpinan KPK atau Polri, dalam proses menentukan dan kemudian
mengumumkan atau menindak seseorang dari kedua belah pihak ditetapkan menjadi
tersangka, sudah melalui kaidah-kaidah etik atau tidak.
Kembali perlu kita ingat bahwa KUHAP dan segala aturan
turunannya secara substansial mengatur tentang prosedur hukum acara pidana,
tetapi manusia-manusia penegak hukum menerjemahkannya berdasarkan rasionalitas
dan emosionalitasnya. Sehingga pada tahap eksekusi kewenangan terhadap
pihakpihak luar, baik dalam hal misalnya mengomunikasikan keputusan atau
melakukan penangkapan, kaidah-kaidah etik sebaiknya berlaku.
Penyimpangan kaidah etik di tahap ini justru bisa
mengaburkan substansi hukum. Maka tidak heran jika kemudian muncul penilaian
publik terhadap para pejabat publik di kedua belah pihak itu sebagai arogan,
diskriminatif, balas dendam, sok paling kuasa. Penyimpangan kaidah etik
berpotensi menjauhkan inti permasalahannya: apakah seseorang disangkakan
melanggar pidana?
Pelanggaran pidana berdampak terhadap individu, tetapi
pelanggaran etik bisa berdampak lebih serius terhadap sosial masyarakat
(publik) dan atau harga diri instansi-instansi publik (baik di KPK ataupun
Polri). Dampaknya terhadap masyarakat luas bisa terjadi polarisasi
dukung-mendukung terhadap kesatuan instansiinstansi publik secara membabi
buta yang mengancam kesa-tuan bangsa, kepastian hukum dan ketertiban sosial.
Pelanggaran etik meskipun sanksinya bukan sanksi pidana,
juga bisa menjadi masalah yang serius. Fenomena ketegangan KPK dan Polri yang
terjadi saat ini dan yang dulu dikenal dengan cicak lawan buaya, terjadi juga
karena cara-cara menjalankan kewenangan (berupa perilaku dan model
komunikasi) yang diduga tidak etis.
Mirip dengan peristiwa “perselisihan” Polri dan TNI di
beberapa tempat, penyebabnya sederhana: tindakan tidak etis dari beberapa
oknum yang kemudian melebar pada konflik dengan kekerasan antar kesatuan.
Ke depan, model-model show
of force; mempertontonkan kewenangan dengan cara yang minim etika, mesti
diganti dengan model show of wisdom,
yang lebih menginspirasi para pejabat publik untuk menunjukkan kewenangan
dengan penuh etika. Lebih elegan dan simpatik, begitulah kira-kira.
Karena itu, saya kira, kita memerlukan pengaturan etika
penyelenggara negara, supaya supremasi hukum bisa dijalankan dengan etika
bangsa Indonesia tanpa mengurangi substansinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar