Ketakwaan
Liberatif Pemimpin
Zuly Qodir ; Peneliti
Senior Maarif Institute, Jakarta
|
KOMPAS,
13 Februari 2015
”Masyarakat Indonesia
adalah masyarakat religius dengan Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia yang telah final.”
(Din Syamsuddin, Ketua Umum MUI, 5 Februari 2015)
Mendasarkan pada pernyataan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
pada seminar Pra-Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta, 9-11 Februari
2015, itu, sebenarnya kita tinggal mengisi negara ini dengan pelbagai aktivitas
menuju Indonesia yang adil, sejahtera, dan merdeka. Perdebatan tentang
penggantian dasar negara Pancasila dengan dasar negara yang lain dapat
dikatakan hanya menghabiskan energi yang kadang tidak produktif. Oleh karena
itu, akan lebih baik jika energi bangsa ini ditujukan untuk membangun
Indonesia yang lebih baik pada masa mendatang ketimbang berdebat tentang
perubahan dasar negara.
Sebagai masyarakat religius, Indonesia pun mengakui berbagai
agama. Agama-agama ”resmi” negara, yakni Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
Islam, dan Konghucu. Di luar itu, masih banyak aliran baru dalam ranah
kehidupan keagamaan di Indonesia, termasuk agama-agama suku yang sering
disebut agama suku asli (indigenous
religions).
Terlepas dari apa yang dinamakan ”agama resmi” dan ”agama suku”,
semua memiliki ajaran kesalehan yang jadi substansi agama-agama di muka bumi.
Ajaran kesalehan inilah yang sebenarnya perlu perhatian dari semua penganut
agama di Indonesia mengingat betapa banyak persoalan di depan hidung umat
agama-agama.
Jujur, adil, membebaskan
Tiga hal inilah—jujur, adil, membebaskan—yang hemat saya menjadi
substansi dari ajaran agama-agama yang merupakan aktualisasi dari ketundukan
kepada Tuhan sang khalik, yang tidak butuh pembelaan dari manusia sebagai
ciptaan-Nya.
Manusia yang beriman pada Tuhan harus memiliki kesalehan total
pada sang khalik. Bukti kesalehan total tersebut adalah ketundukan yang
sempurna hanya pada Tuhan. Tuhan adalah segala-galanya tanpa kecuali. Manusia
beriman harus berusaha, tetapi Tuhan tetap dipercaya sebagai pemberi mukjizat
atas segala sesuatu yang diusahakan.
Dengan demikian, manusia beriman tidak akan sombong atas apa
yang diraihnya. Manusia beriman dan saleh tidak akan rakus, zalim, menghina,
membenci atau mengusir orang lain hanya karena berbeda agama atau berbeda
etnis. Manusia yang beriman dan saleh berupaya mengaktualkan apa yang jadi
ajaran susbtansial agama yang dia yakini.
Masyarakat religius dan saleh tak akan berbohong ketika jadi
saksi atas perkara-perkara hukum di pengadilan sebab Tuhan maha hadir dan
mengetahui atas segala aktivitas yang kita kerjakan. Tentu saja dengan
pengawasan yang sempurna. Di muka bumi kita boleh berkilah dan bersilat lidah
atas nama Tuhan, rasul dan orangtua, sekalipun semua merupakan kesaksian bohong.
Tapi, di hadapan Tuhan tak satu pun yang dapat menyembunyikan kebohongan
tersebut.
Karena itu, ciri kaum beriman dan saleh yang paling utama adalah
jujur dalam berkata-kata, dalam berfatwa (berhujah), dalam bersaksi di
pengadilan, dalam percakapan, dan benar dalam tindakan. Inilah sebenarnya
ajaran pokok semua agama—apa pun namanya—karena percaya terhadap Tuhan yang
maha hadir.
Selain jujur, seorang yang takwa mengaktualkan ketakwaan dalam
berbagai aktivitas politik yang dijalani. Aktivitas politik adalah seni
mengelola negara, bukan menghancurkan semua lawan politik serta membuat bodoh
dan menimbulkan kemarahan rakyat. Politisi yang takwa (saleh) adalah politisi
yang berani berkata salah jika memang salah. Berani mundur jika berbuat yang
melanggar aturan negara dan aturan agama. Korupsi, misalnya, merupakan
pelanggaran pada negara sekaligus terhadap agama, apa pun agamanya. Oleh
sebab itu, siapa saja pejabat negara, elite politik, elite partai, dan bahkan
anggota masyarakat biasa yang korupsi maka sebagai bentuk pertanggungjawaban
atas perbuatannya harus mengaku salah, memohon ampunan, dan mundur sebagai
pejabat atau aparat negara.
Orang yang takwa dalam berpolitik bersedia mendengarkan nasihat
dari sesama umat Tuhan. Manusia takwa dalam beragama juga tidak akan
menzalimi orang lain dengan berbagai macam tuduhan keji, menipu orang lain
karena ingin berkuasa, mempraperadilankan pihak lain karena ingin berkuasa,
serta tuduhan lain yang intinya hanya ingin menjatuhkan martabat dan harkat
lawan politiknya. Orang yang takwa kepada Tuhan juga tak akan serta-merta
melakukan tuduhan- tuduhan keji dan memfitnah orang lain di depan publik sehingga
seakan-akan menjadi pahlawan pada kelompoknya dengan menjadikan orang lain
sebagai pesakitan.
Semua itu tidak akan dilakukan oleh mereka yang percaya kepada
Tuhan bahwa segala ucapan dan perbuatan akan dibalas Tuhan kelak nanti.
Manusia takwa dengan demikian tidak membenci sesama sekalipun kalah dalam
persaingan, tidak menzalimi lawan politik sekalipun sakit hati dan tidak
memfitnah lawan politik dengan tuduhan-tuduhan keji dan kotor karena
kemurkaan dan ambisi semata.
Di tengah karut-marut bangsa ini dalam bidang politik, ekonomi,
dan etika, orang yang beriman dan saleh tidak akan berlaku tidak adil secara
ekonomi atas orang yang berbeda agama dan berbeda etnis. Kasus yang sekarang
terjadi, antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri seharusnya tidak akan
terjadi jika setiap orang yang mengaku beriman dan bertakwa tersebut
benar-benar hendak mengaktualkan ajaran agama yang dianut dan dipercayainya.
Kesalehan liberatif
Tontonan keangkuhan Polri dan ketakberdayaan KPK dalam
menegakkan pemberantasan korupsi tidak perlu berlarut-larut jika kita juga
memiliki pemimpin yang merdeka, jujur, adil serta tegas dalam mengambil
keputusan. Salah satu ciri orang takwa kepada Tuhan adalah berani berbuat
karena kebenaran, bukan takut bertindak karena takut kepada sesama manusia
yang dianggapnya lebih berkuasa daripada Tuhan.
Orang yang takwa dengan demikian harus memiliki pikiran merdeka,
tegas dalam bertindak, dan tidak berperilaku zalim atas orang lain. Orang
takwa, oleh karena itu, harus mampu berperilaku liberatif, yakni terbebas
dari kerangkeng keangkuhan, kebencian, ambisi, dan bebas dari kerangkeng
puji-pujian sesama manusia. Sebab pujian akan datang dan diberikan oleh Tuhan
atas perkataan dan perilaku yang dikerjakan.
Semoga pemimpin dan para elite bangsa ini segera siuman sehingga
karut-marut bangsa ini segera berakhir. Kesengsaraan rakyat segera beranjak
menjadi kesejahteraan. Ketidakadilan berubah jadi keadilan dan kebohongan
beranjak menjadi kejujuran. Umat Islam Indonesia secara khusus sebagai jemaah
terbesar harus dapat menunjukkan betapa ketakwaan itu sangat penting
diaktualkan dalam politik, dalam perilaku ekonomi dan etika pergaulan.
Ketakwaan itulah sumber liberasi atas keangkuhan, kebencian, dan ketakadilan
karena Tuhan membenci kezaliman dan kesombongan umat-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar