Keputusan
Melegakan
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana,
Kupang
|
KORAN
TEMPO, 21 Februari 2015
Gonjang-ganjing nasib Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG)
terjawab sudah. Presiden akhirnya membatalkan pelantikan BG dan mengusulkan
calon baru Kapolri, yaitu Komjen Badrodin Haiti. Presiden juga menghentikan
sementara kedua pemimpin KPK yang sedang menjadi tersangka, yakni Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto. Sebagai gantinya, Presiden mengangkat Plt KPK,
yakni Taufiqurrahman Ruki, Indriyanto Senoadji, dan Johan Budi SP.
Rupanya butuh kejelian dan ketepatan kalkulasi untuk
memutuskan nasib calon Kapolri, sampai-sampai Presiden harus berkantor di
Istana Bogor terhitung sejak Senin lalu. Mungkin Presiden merasa harus
"bersemedi" untuk menyaring suara-suara yang mengerubungi dinding
Istana, agar tak ditorpedo pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yang
berpotensi menjauhkan jarak sensitivitasnya dari kehendak publik.
Seandainya saja BG dilantik, air bah penolakan dari publik
akan bergemuruh. Jika membatalkan pelantikan pun, Presiden bakal dituduh
menghina keputusan parlemen. Namun syukurlah polemik tersebut dapat teratasi
persis di depan cermin bening etika dan moralitas. Bagaimanapun, dari segi
etika, seseorang calon pejabat publik, apalagi sekelas Kepala Polri, jika
namanya sudah disebut-sebut dalam sejumlah kasus dan menjadi sorotan
perbincangan publik yang luas, dapat dibilang tak lagi memiliki legitimasi
sebagai pejabat publik.
Itu sebabnya Thomas Aquinas (1225–1274) berkata,
"Orang-orang benar menjadi hukum bagi dirinya sendiri". Kebenaran
yang melekat dalam status seseorang tak ditentukan secara mutlak oleh
dalil-dalil hukum dan keputusan politik semata, melainkan oleh nilai-nilai
etika, kejujuran, kebajikan, dan akuntabilitas moral.
Benar, bahwasanya keputusan DPR bisa menjadi basis hukum
dalam melantik BG. Namun keputusan tersebut telanjur kehilangan bobot
moralnya karena diambil saat BG dinyatakan sebagai tersangka. Ungkapan latin,
quid leges sine moribus (apa artinya hukum, jika tidak disertai moralitas?)
mungkin menjadi penjelas pamungkasnya. Sejak awal pun Tim 9 maupun para ahli
hukum tata negara tidak setuju BG dilantik hanya berdasarkan hasil gugatan
praperadilan. Ditakutkan, Presiden akan terseret dalam blunder hukum
selanjutnya karena dianggap menggunakan subyektivitas (prerogatif) memilih
sosok Kapolri yang memiliki kepercayaan (trust)
rendah.
Kini, jalan relatif lebih aman berhasil diretas Presiden.
Rakyat dan seluruh bangsa lega. Memang, membatalkan pelantikan BG bukannya
tanpa risiko, karena akan memicu menggelindingnya bola pemakzulan di DPR.
Namun, melihat dinamika politik yang kian cair, disertai
keterampilan komunikasi politik Jokowi maupun Jusuf Kalla yang mulai terlihat
berani berkeputusan, upaya-upaya politis tersebut bakal masuk angin, seperti
"nafsu" interpelasi dalam hal penaikan harga BBM, yang kemudian
meredup seiring dengan berjalannya waktu.Lagi pula, meski kecewa atas
keputusan Presiden tersebut, politikus PDIP Trimedya Pandjaitan mengatakan
DPR tak akan mengajukan hak interpelasi atau hak bertanya kepada Presiden.
Kini Presiden makin menyadari seharusnya memang ia tak
perlu ragu atas sejumlah risiko dan ancaman politik yang ada, selama merasa
benar-benar lahir dari rahim normal dukungan dan daulat publik, bukan dari operasi
caesar kompromi politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar