Kebijakan
Pemerataan Guru
Febri Hendri AA ; Peneliti Divisi MPP ICW
|
KOMPAS,
21 Februari 2015
Anies Baswedan dikenal sebagai salah satu tokoh penggagas
gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan ini dinilai berhasil mengirimkan anak
muda berdedikasi mengajar di sekolah terpencil di sejumlah pelosok Indonesia.
Sekarang, setelah ia dipilih menjadi Mendikbud, akankah Anies dapat mengulang
keberhasilan membangkitkan semangat belajar murid terpencil dengan
menyediakan guru PNS bagi mereka?
Saat ini diperkirakan ada 2,2 juta guru di seluruh
Indonesia, terdiri dari 1,6 juta guru di tingkat SD dan 609 guru di tingkat
SMP (P2TK Kemdikbud, 2013). Dari 2,2 juta tersebut, 1,5 juta adalah guru PNS,
180.000 guru tetap yayasan, dan 677.000 guru tidak tetap alias guru honorer.
Salah satu permasalahan ketersediaan guru bagi sekolah
yang kekurangan guru adalah menumpuknya guru PNS di perkotaan. Ditaksir
terdapat 11 persen guru di SD dan 27 persen SMP perkotaan perlu
diredistribusi ke sekolah pedesaan dan terpencil (Bank Dunia, 2013).
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Bersama (Perber) 5 Menteri
(Mendikbud, Menag, Mendagri, Menpan RB, dan Menkeu) tahun 2011 tentang
Penataan dan Pemerataan Guru PNS, yang salah satunya menjadi acuan untuk
pemindahan guru antarsekolah dalam kabupaten/kota yang sama, antarkabupaten
kota, dan antarprovinsi. Namun, setelah perber ini diberlakukan, distribusi
guru tetap tidak merata. Masih banyak sekolah yang kelebihan dan kekurangan
guru PNS. Mengapa?
Kebijakan pemerataan guru
Salah satu faktor utama penyebab kegagalan kebijakan ini
adalah karena desain kebijakan tak memperhatikan secara saksama dinamika
hubungan politik-ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah.
Di satu sisi, pemerintah pusat berkepentingan terhadap
keberhasilan pemerataan dan penataan guru (PPG) karena akan menekan kebutuhan
guru PNS. Jika PPG berhasil, di mana guru tidak lagi terkonsentrasi pada
sekolah tertentu dan distribusi merata di semua sekolah, hal ini akan
mengurangi angka kebutuhan guru nasional. Penurunan angka kebutuhan guru
nasional pada gilirannya akan menekan alokasi APBN untuk membiayai belanja
guru berupa gaji, tunjangan, dan sebagainya.
Kebutuhan guru PNS saat ini ditaksir mencapai 600.000
orang. Jika kebutuhan ini dipenuhi melalui rekrutmen calon PNS, dibutuhkan
anggaran paling sedikit Rp 21,6 triliun setiap tahun. Angka ini juga akan
meningkat dua kali lipat jika guru tersebut diberi tunjangan sertifikasi
sehingga total jadi Rp 43,2 triliun. Pemerintah pusat, terutama Kementerian
Keuangan, hampir pasti berkeberatan atas hal ini karena mempersempit ruang
gerak dalam pengelolaan APBN. Inilah kepentingan pemerintah pusat atas PPG.
Sementara pemerintah daerah justru memperbanyak kebutuhan
guru untuk meningkatkan jumlah pegawai. Jumlah pegawai yang besar akan
memperbesar alokasi dana alokasi umum yang diterima pemda. Selain itu,
memperbesar kebutuhan guru juga meningkatkan kebutuhan kuota CPNS guru.
Sementara rekrutmen CPNS selalu menjadi ajang korupsi bagi elite politik dan
birokrat daerah untuk mendapatkan keuntungan (ICW, 2013).
Perbedaan kepentingan dalam pemerataan guru ini sebenarnya
telah diantisipasi oleh Perber 5 Menteri 2011. Antisipasi tersebut berupa
penjatuhan sanksi berupa penundaan transfer dana perimbangan daerah,
penolakan kuota CPNS, dan penilaian buruk atas kinerja pemda. Namun,
sayangnya, sampai akhir masa berlaku perber ini, tak ada satu pun daerah yang
mendapatkan sanksi dari pemerintah pusat. Tampaknya pemerintah pusat masih
ragu menjatuhkan sanksi bagi daerah yang tidak serius memeratakan guru.
Selain itu, pemerintah pusat kurang optimal mendorong
pemda mengimplementasikan kebijakan pemerataan guru. Hal ini terbukti dari
minimnya program dan anggaran untuk mendukung dan mendampingi daerah
melaksanakan PPG. Kalaupun ada program untuk mendukung PPG, itu pun sebatas
sosialisasi kebijakan ini pada pemerintah daerah.
Tidak hanya kurangnya program dan pendampingan bagi
daerah, koordinasi dan monitoring implementasi kebijakan ini juga tak
berjalan baik. Berdasarkan hasil penelitian ICW, ditemukan bahwa pertemuan
koordinasi dan supervisi di antara lima kementerian jarang dilakukan.
Aspek penting lain yang tak diantisipasi pemerintah dalam
kebijakan adalah tidak adanya ruang partisipasi publik, terutama orangtua
murid dan warga di sekitar sekolah. Kebijakan PPG sangat berorientasi pada
bagaimana pemerintah menata birokrasi guru untuk mengatasi kesenjangan guru
antarsekolah. Desain kebijakan tidak membuka ruang publik yang sebenarnya
membutuhkan guru di setiap sekolah anaknya.
Banyak orangtua murid dan warga yang sudah menyampaikan
keluhan kepada sekolah dan pemerintah daerah bahwa sekolah anaknya hanya
memiliki satu atau dua guru yang mengajar di beberapa kelas. Sayangnya,
keluhan mereka tidak ditanggapi secara serius oleh sekolah dan pemerintah
daerah. Mereka beralasan daerah kekurangan guru dan rekrutmennya kewenangan
pemerintah pusat. Padahal, mereka memiliki kewenangan memindahkan guru dari
sekolah perkotaan yang kelebihan guru ke sekolah pedesaan dan terpencil yang
kekurangan guru.
Partisipasi masyarakat dalam PPG dapat berupa perhitungan
bersama kebutuhan guru di sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional. Perhitungan kebutuhan guru dapat dijadikan dasar melihat kebutuhan
pemerataan guru. Perhitungan kebutuhan guru akan memunculkan gambaran detail
sekolah mana saja yang kelebihan dan kekurangan guru. Masyarakat juga dapat
mengawal dan menekan pemerintah daerah agar melakukan pemindahan guru dari
sekolah kelebihan ke sekolah kekurangan guru.
Misalnya, masyarakat juga dapat mengawal apakah ada mark
up dalam perhitungan kebutuhan guru serta korupsi dan seleksi CPNS guru.
Lebih dari itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi memberikan fasilitas,
kenyamanan, dan dukungan sosial bagi guru yang mengajar di sekolah terpencil.
Dengan partisipasi seperti itu, masyarakat akan belajar dan memahami tentang
kesungguhan dan komitmen kepala daerah serta birokrasi pendidikan atas
kewajiban mereka memenuhi kebutuhan guru di sekolah-sekolah yang kekurangan
guru.
Masalah lain yang juga tak kalah pelik adalah kesediaan
guru PNS dipindahkan ke sekolah terpencil. Banyak guru tidak bersedia
dipindahkan karena tidak ingin berpisah dari keluarga serta daerah tersebut
minim sarana dan prasarana. Mereka ingin agar anak-anak mereka tumbuh di
daerah yang memiliki fasilitas memadai untuk berkembang dan belajar.
Beberapa pemda memang cukup berhasil memindahkan guru dari
sekolah yang kelebihan guru ke sekolah yang kekurangan guru. Namun, yang
dipindahkan umumnya adalah guru muda yang belum berkeluarga dan disertai
adanya tunjangan daerah bagi guru tersebut. Sayangnya, hanya sedikit daerah
yang melakukan hal ini karena lemahnya komitmen untuk memeratakan guru.
Penutup
Pada akhirnya pemenuhan guru, terutama di daerah
terpencil, bergantung pada pemerintah pusat. Apakah pemerintah cukup jeli
melihat permasalahan dan merumuskannya dalam kebijakan yang tepat sehingga
dapat mendorong semua pemangku kepentingan pendidikan melakukan pemerataan
guru. Kebijakan di pusat itu ada di tangan Mendikbud baru.
Apakah dia bisa bekerja sama antarkementerian/lembaga,
pemerintah daerah, serta masyarakat untuk merumuskan dan mengimplementasikan
kebijakan pemerataan guru dengan baik? Hanya waktu yang bisa menjawab
pertanyaan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar