K-13
dan Catatan E-Sabak
Nanang Martono ; Pemerhati Pendidikan,
Dosen
Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
|
SINAR
HARAPAN, 09 Februari 2015
Kegagalan Kurikulum 2013 (K-13) yang akhirnya
diberhentikan Mendikbud Anies, tidak menyurutkan Kemendikbud untuk menyusun
langkah strategis mengatasi kegagalan teknis K-13. Masalah utama implementasi
K-13 sebenarnya bukan pada tatatan teknis semata, melainkan kembali pada
masalah urgensi penggantian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
menjadi K-13.
Akibat salah diagnosis, Mendikbud membuat rencana
mengganti buku ajar dalam format Buku Sekolah Elektronik (BSE) menjadi BSE
dalam format E-Sabak. Seolah Kemendikbud menempatkan masalah distribusi buku
sebagai sumber masalah karut marut implementasi K-13.
Kegagalan Kedua
Mengganti kebiasaan menggunakan buku fisik dengan buku
elektronik yang tidak bisa dicetak, memerlukan waktu sangat panjang. Lebih
dari itu, rencana ini kemudian menjadi proyek besar melalui pengadaan tablet
ke seluruh sekolah yang akan digunakan siswa untuk mengakses E-Sabak.
Kualitas pendidikan di Tanah Air sebenarnya masih berkutat
pada dua masalah pokok: kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang tidak
memenuhi standar, serta masalah kualitas guru yang masih rendah. Dua hal
inilah yang seharusnya menjadi fokus pemerintahan baru.
Mengganti BSE dengan E-Sabak, meskipun praktis secara
teknis, akan menyulitkan siswa. Pertama, ini memerlukan pelatihan guru untuk
dapat mengoperasikan E-Sabak melalui tablet. Ini memerlukan waktu lama hingga
semua guru mendapatkan pelatihan.
Akan muncul juga masalah teknis lain, yaitu distribusi
tablet ke sekolah-sekolah. Akankah Kemendikbud mengalami kegagalan kedua
terkait masalah yang sama: distribusi materi ajar. Selain itu, tablet rawan
rusak selama distribusi.
Kemendikbud mengklaim strategi ini mampu mengatasi masalah
keterlambatan distribusi buku ajar yang telah dialami sebelumnya. Padahal
secara teknis, mengirimkan buku fisik lebih mudah dan murah daripada
mengirimkan tablet.
Kedua, selama implementasi di sekolah, penggunaan tablet
rawan kerusakan. Tablet memiliki masa pakai lebih pendek daripada BSE dan
buku fisik. Apalagi, ketika tablet dioperasikan setiap hari oleh siswa
berbeda-beda. Bila ini kenyataannya, apakah Kemendikbud akan selalu
mengalokasikan anggaran untuk pembaruan tablet ke setiap sekolah? Biaya
perbaikan tablet akan dibebankan kepada siapa? Berapa biaya yang akan
dialokasikan?
Ketiga, untuk alasan praktis, tablet hanya dipinjamkan
kepada siswa. Ada dua pilihan, tablet dapat dibawa pulang, atau tablet hanya
digunakan di dalam kelas. Pilihan pertama akan berisiko tablet cepat rusak,
dan tentu saja, siapa yang akan mengganti rugi atas kerusakan tersebut?
Kemungkinan lain adalah tablet dapat disalahgunakan siswa.
Pilihan kedua berisiko siswa tidak dapat belajar di rumah
karena bahan ajar “harus ditinggal” di sekolah. Waktu belajar di sekolah
sangat terbatas. Untuk itu, penggunaan BSE fisik tetap lebih efektif dan
efisien.
Keempat, dalam jangka menengah, penggunaan E-Sabak dapat
menurunkan kreativitas guru dalam menulis bahan ajar. Ada banyak hal yang
dapat dilakukan hanya dengan menggunakan tablet. Ini dapat memanjakan guru.
Dalam jangka panjang, potensi dan hasil karya para guru dan penulis buku ajar
akan termarginalkan, sementara industri penerbitan buku juga menjadi sepi.
Dari sisi siswa, budaya membaca buku lambat laun akan luntur.
Kelima, tablet adalah perangkat multifungsi yang mampu
memenuhi segala kebutuhan penggunanya untuk berbagai tujuan. Melalui
internet, difusi budaya akan terjadi sangat cepat. Dalam hal ini, sejauh mana
Kemendikbud mampu mengantisipasi kemungkinan buruk akibat penyalahgunaan
tablet oleh siswa maupun guru?
Terakhir, E-Sabak memerlukan waktu persiapan sangat
panjang. Secara teknis, ini terkait fasilitas pendukung: jaringan internet
dan listrik. Rata-rata baterai tablet hanya mampu bertahan satu hari.
Artinya, setiap hari baterai tablet harus diisi ulang. Bagaimana dengan
sekolah-sekolah yang belum tersentuh jaringan listrik?
Prioritas
Dalam tempo setahun pertama, pemerintah sebaiknya menyusun
skala prioritas kebijakan. Langkah pertama adalah mendikbud mengevaluasi
kinerja mendikbud sebelumnya (M Nuh). Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui
faktor pemicu kegagalan beberapa program yang telah dicanangkan sebelumnya,
termasuk kegagalan K-13.
Proses evaluasi memerlukan waktu panjang, sehingga solusi
yang diambil bukan merupakan solusi sesaat yang mengejar tujuan jangka pendek
semata, serta cenderung project
oriented, yaitu kebijakan yang didasarkan pada kepentingan proyek para
pemangku kebijakan. Kebijakan yang diambil seharusnya memperhatikan aspek
keberlanjutan. Setelah sekolah memiliki satu tablet untuk satu siswa, lalu
kemudian apa yang akan dilakukan? Akankah kebijakan ini akan selesai ketika
proyek pengadaan tablet selesai? Lalu beberapa tahun kemudian, setiap sekolah
akan penuh sampah-sampah tablet yang tidak terpakai atau rusak.
Pengadaan tablet, menurut penulis hanya mengejar tujuan
jangka pendek. Mewujudkan masyarakat melek teknologi harus dilakukan secara
bertahap. Pemberian tablet secara serentak dan sesaat akan menimbulkan culture shock atau guncangan budaya.
Apalagi, Kemendikbud memprioritaskan sekolah di daerah tertinggal menjadi
target pertama distribusi tablet.
Diakui atau tidak, banyak masyarakat di daerah tertinggal
yang belum mengenal teknologi sekelas komputer yang sangat sederhana.
Kemampuan guru-guru di daerah tersebut untuk menggunakan perangkat lunak
komputer juga sangat terbatas.
Untuk itu, Kemendikbud harus kembali pada agenda awal,
meningkatkan kualitas guru di setiap daerah untuk mendukung implementasi
K-13, termasuk pemerataan jumlah guru di setiap daerah. Agenda berikutnya
adalah membenahi fasilitas pendidikan sesuai standar mutu pendidikan agar setiap
siswa dapat mengakses hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar