Jurus
Pendekar Mabuk
Amzulian Rifai ; Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
|
KORAN
SINDO, 11 Februari 2015
Di era demokrasi sekarang ini tentu ada sensitivitas
publik terhadap peristiwa yang diyakini bertentangan dengan nilai-nilai
demokrasi. Di antara nilai hakiki demokrasi adalah kebebasan mengeluarkan
pendapat, tanpa rasa takut, bebas dari intimidasi dan provokasi. Apalagi jika
ungkapan itu terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah sangat
meresahkan.
Baik Deklarasi HAM Sedunia maupun kovenan internasional
atas hak-hak sipil dan politik yang tertuang dalam Undang- Undang No 12 Tahun
2005 mewajibkan negara untuk menjamin adanya hak mengemukakan pendapat.
Kebebasan berekspresi bukan hanya karena esensi atas hak itu sendiri, tetapi
ia penting apabila hakhak asasi lainnya ingin dicapai.
Saat ini Indonesia sudah pada tahapan darurat korupsi.
Hampir tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari praktik korupsi. Itu
sebabnya para koruptor bersorak gembira dengan kondisi hukum Indonesia saat
ini, terutama di saat KPK tidak berdaya. Kini perdebatan nasional justru soal
perseteruan KPK versus Polri saja. Padahal isu sesungguhnya adalah upaya
bangsa ini memerangi korupsi.
Topiknya justru beralih dan sering kali perdebatan melebar
ke mana-mana. Dalam acara diskusi di Kantor YLBHI Jakarta, Minggu (1/2/2015),
mantan Wamenkumham Denny Indrayana (DI) menyebut bahwa langkah Komjen Budi
Gunawan (BG) mengajukan praperadilan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mirip pendekar mabuk. Langkah itu tidak memiliki dasar hukum. Akibat dari
pernyataan ini, DI dilaporkan ke polisi.
Soal Praperadilan
Mengutip DI, dasar hukum yang diajukan oleh pihak BG untuk
mengajukan praperadilan tidak ada, asal-asalan. Atas dasar penilaian itulah,
dengan tegas dianalogikan bahwa Komjen BG mempertontonkan jurus pendekar
mabuk. Memang soal praperadilan Komjen BG ini memunculkan pembicaraan dan
reaksi cukup luas.
Bangsa kita yang demokratis mestinya memaklumi saja ketika
ada pihak yang pro atau kontra dengan langkah ini. Jangan ada pihak yang
memaksakan pendapatnya sebagai yang paling benar sehingga antipati dengan
pendapat orang lain. Mereka yang kontra dengan langkah praperadilan Komjen BG
menilai bahwa apa yang dilakukan itu sebagai tindakan yang mengada-ada saja.
Pihak yang kontra dengan langkah BG berpendapat bahwa
KUHAP telah secara rigid menentukan hal-hal yang dapat dipraperadilankan,
yaitu: (1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, (2) sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a)
(3) sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan dan
atau penyitaan (Pasal 82 ayat 1 huruf b jo Pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan (4)
terkait dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang
yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau pada tingkat
penuntutan (Pasal 77 huruf b KUHAP).
Tidak terkait dengan status tersangka. Mungkin ini yang
membuat Denny menyebut langkah Komjen BG menggunakan jurus pendekar mabuk.
Namun mereka yang pro dengan langkah Komjen BG juga memiliki argumentasi,
tidak sepenuhnya baseless. Dalam suatu dialog di media, Eggi Sudjana sebagai
salah seorang pengacara Komjen BG pernah membeberkan argumentasinya
mengajukan praperadilan.
Mereka berpatokan pada KUHAP dan UU No 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 63 (1) UU KPK menegaskan:
”Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, yang dilakukan oleh KPK, bertentangan dengan Undang-Undang (KPK)
atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk
mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.”
Adapun Pasal 63 (2) gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan
praperadilan jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana
ditentukan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam
perbedaan ini, paling tepat menjadi wasitnya adalah hakim yang pada posisi
harus menerima permohonan praperadilan.
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa/ mengadili
suatu perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak/kurang jelas, hukumnya
tidak ada, tidak lengkap atau tidak sempurna (Pasal 16 ayat 1 UU Kekuasaan
Kehakiman). Dalam kondisi ini, sebaiknya menunggu putusan hakim tunggal
Sarpin Rizaldi walaupun dia mendapat sorotan di antaranya karena pernah
diadukan atas sejumlah kasus ke KY.
Implikasi Kriminalisasi
Ada banyak hasil dari gerakan reformasi yang telah menelan
banyak korban di negeri ini. Salah satu kenikmatan luar biasa dari reformasi
adalah kebebasan mengeluarkan pendapat yang tidak dimiliki oleh banyak
masyarakat di muka bumi ini. Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negara
yang otoriter, penguasa yang sensitif atas kritikan.
Bahkan pembredelan terhadap media cetak dengan mudah
dilakukan apabila dinilai suatu media terlalu kritis terhadap penguasa. Luar
biasa buah dari reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah oleh berbagai
elemen dengan mahasiswa sebagai motor utamanya itu, kini Indonesia memiliki
media yang sangat dinamis, sulit ditandingi oleh negara-negara tetangga.
Muncul kaum intelektual cerdas, kritis, dan berani
menawarkan berbagai solusi. Semua ini terjadi dikarenakan adanya keberanian
mengeluarkan pendapat dan penguasa tidak alergi dengan pendapat-pendapat
kritis sekalipun. Ada beberapa implikasi dari tindakan mengepolisikan DI yang
menganalogikan langkah BG sebagai jurus pendekar mabuk.
Implikasi pertama, adanya penilaian publik bahwa di era
sekarang ini masih ada sekelompok masyarakat yang tetap memelihara pola
pikirnya yang jauh ke belakang dalam soal kebebasan berpendapat. Salah
seorang menteri saja ”berani berucap” bahwa mereka yang mendukung KPK adalah
rakyat yang tidak jelas. Tapi reaksi publik tergolong ”biasa-biasa saja” dan
malah dibalas dengan berbagai joke.
Implikasi kedua, tindakan mengkriminalisasi tersebut dapat
mematikan sikap kritis banyak orang yang dalam porsi masing-masing telah
memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri ini. Ada potensi, kriminalisasi itu
diadopsi orang lain yang akan dengan mudah menggunakan pasal pencemaran nama
baik. Padahal selama ini justru laporan masyarakat berkontribusi terhadap
pemberantasan korupsi.
Masyarakat yang
kritis juga berkontribusi dalam menciptakan good governance. Kriminalisasi
dapat membuat publik ”takut,” seperti diwantiwanti akan dikepolisikan. Memang
materi laporan terhadap DI belum tentu pidana. Mestinya, polisi tidak main
”pukul rata” terhadap setiap laporan yang terkait dengan BG agar tidak pula
dinilai menggunakan jurus mabuk.
Di era Indonesia yang demokratis dan dinamis ini akan
selalu ada potensi pencemaran nama baik. Mestinya bangsa kita sudah terbiasa
dengan silang pendapat dalam berbagai rupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar