Jebakan
Politik Patrimonialisme
Masdar Hilmy ; Dosen dan Wakil Direktur
Pascasarjana UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS,
25 Februari 2015
Ketaktegasan Presiden Joko Widodo mengambil keputusan
tentang siapa yang bakal mengisi jabatan Kepala Polri beberapa waktu lalu
sempat mengirimkan sinyalemen bahaya politik patrimonialisme yang
mengintainya setiap saat.
Hal ini sekaligus menjadi anomali bagi karakter politik
Jokowi yang selama ini dikenal cekatan, lugas, dan tegas dalam mengambil
tindakan dan kebijakan politik. Ada kesan Jokowi tidak otonom lagi,
tersandera tarikan kepentingan yang dikendalikan oleh figur patron yang cukup
berpengaruh terhadapnya.
Awalnya adalah kasus pencalonan Budi Gunawan (BG) yang
benar-benar membuat Jokowi ”mati gaya”. Dalam kasus ini, Jokowi terkesan
sedang tak mewakili dirinya sendiri karena dia telah memberikan terlalu
banyak ruang bagi pihak lain untuk ”bermain” di wilayah yang semestinya
menjadi hak prerogatifnya.
Selain itu, kasus ini terbukti memberi efek domino yang
cukup dahsyat dalam bentuk ”benturan” KPK-Polri. Silang sengkarut perseteruan
keduanya niscaya tidak akan terjadi seandainya Jokowi mampu mengatasi jebakan
politik patrimonialisme dengan baik.
Politik ”sungkanisme”
Jika kebanyakan kasus politik patrimonialisme distimulasi
oleh perebutan sumber daya (Tod Jones, 2013:5), pada kasus Jokowi lebih
didorong oleh politik ”sungkanisme” antara sang klien dan sang patron.
Politik sungkanisme lebih banyak mengerangkai kesadaran eksistensial Jokowi
sebagai orang Jawa. Politik patrimonialisme semacam ini membuat klien dalam
posisi tidak otonom, tidak mandiri, dan terjebak pada pusaran kepentingan
yang dapat menenggelamkan independensi sang klien dalam bertindak.
Dalam politik patrimonialisme, sang klien dengan sadar
mengimajinasikan posisinya sebagai inferior, tersubordinasi oleh kedigdayaan
sang patron yang karismatik. Akibatnya, pola relasi patron-klien berjalan tak
berimbang. Bandul pendulum lebih banyak bergerak ke arah sang patron
ketimbang sang klien. Pola relasi di antara keduanya bersifat menekan ke arah
sang klien, bukan sebaliknya. Pola relasi semacam ini hanya ada dalam tradisi
birokrasi tradisional ketimbang birokrasi modern yang mengandaikan tata
pemerintahan yang baik, bersih, dan transparan-akuntabel (Crouch, 1978; Mackie & MacIntyre, 1994).
Dalam konteks lembaga keagamaan atau organisasi
non-negara, melembaganya pola relasi patrimonialistik mungkin tidak
menimbulkan banyak persoalan. Namun, jika politik patrimonialisme bekerja dan
bertransmutasi ke lembaga publik, yang terancam bukan eksistensi sang patron
atau klien secara pribadi, melainkan kepentingan seluruh bangsa. Hal ini
karena distribusi kepentingan publik dapat tersendat akibat pembelokan
kepentingan oleh sang patron ke pihak-pihak tertentu yang dikehendaki.
Pada awalnya, pengaspirasian kepentingan tertentu oleh
sang patron kepada klien mungkin tak dimaksudkan bentuk intervensi. Bisa saja
aspirasi tersebut dimaksudkan second opinion yang tidak memiliki dampak
koersif. Namun, akibat pola relasi yang tak berimbang tersebut, sang patron
tidak memiliki kapasitas intrinsik untuk mengatasi tekanan psikologis dengan
mengatakan ”tidak” kepada sang patron. Akibatnya, sang klien mendadak
kehilangan kemerdekaannya menjadi diri sendiri. Jika aspirasi dimaksud tak terpenuhi,
yang muncul adalah perasaan tak nyaman yang begitu menyiksa dan menghantui
sang klien.
Pola relasi patron-klien bekerja di atas sejumlah basis
legitimasi; bisa keagamaan, nilai-nilai tradisi, ataupun basis material.
Sebagai bangsa timur yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional,
Jokowi jelas akan sangat menghormati orang atau pihak-pihak yang telah
berjasa mengantarkannya pada posisi sekarang ini. Sudah barang tentu dia
tidak mau dikatakan orang yang tak tahu diuntung, mudah melupakan jasa orang
lain, tidak mau berbalas budi, dan semacamnya. Berbuat baik kepada
orang-orang yang telah berjasa kepada kita adalah sebentuk penghormatan yang
diafirmasi oleh nilai-nilai budaya ketimuran. Akibatnya, jadilah Jokowi
berada pada posisi yang dilematis, terbelenggu oleh kepentingan di luar
dirinya.
Seperti yang pernah saya tulis (Kompas, 27/3/2013), sejarah politik bangsa ini seakan tak bisa
lepas dari belenggu patrimonialisme. Asumsi yang sama juga dicatat oleh
sejumlah ilmuwan (Howard Crouch, 1979;
Benedict Anderson, 2006) yang menegaskan, sistem politik Indonesia—di
bawah rezim Sukarno dan Soeharto—sangat diwarnai politik patrimonialisme yang
berakar kuat dari tradisi kerajaan-kerajaan Jawa sebelumnya. Struktur
sosial-politik di negeri ini diprediksi akan tetap berada di bawah
bayang-bayang politik (neo)patrimonialisme dalam jangka waktu yang tidak bisa
ditentukan.
Melepaskan belenggu
Tumbangnya rezim Orde Baru dan datangnya era Reformasi
semestinya menjadi penanda berakhirnya budaya politik patrimonialisme. Namun,
mengikis budaya politik patrimonialisme tidak semudah membalik telapak tangan
karena tiga hal. Pertama, struktur sosial-politik belum terdefinisikan secara
baik sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi. Kedua, politik
patrimonialisme berakar kuat pada budaya kolektif sebagai penyangga budaya
ketimuran. Ketiga, struktur sosial-politik patrimonialistik menjadi alat
efektif pendistribusian sumber daya (resources
channeling) yang memungkinkan terciptanya kondisi ketergantungan. Guna
mengakhiri tradisi politik patrimonialisme dan melepaskan diri dari
kerangkeng tarikan kepentingan, tidak ada pilihan bagi Jokowi kecuali
melakukan hal-hal berikut.
Pertama, membuang politik sungkanisme jauh-jauh dari kamus
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, tidak terpenuhinya
aspirasi orang-orang yang telah ”membesarkan” Jokowi tidak berarti dia
melakukan pelanggaran etika dan fatsun politik yang santun. Penolakan Jokowi
terhadap aspirasi tertentu bisa dibungkus melalui komunikasi dan argumentasi
yang arif dan elegan dalam kerangka tradisi ketimuran.
Kedua, memisahkan antara otoritas nonformal dan formal
yang melekat dalam dirinya selaku presiden. Jika otoritas formal menyangkut
posisinya sebagai pejabat publik yang berimplikasi pada tata kelola
kelembagaan negara dan kepentingan publik, otoritas nonformal menyangkut
kehidupan dirinya secara privat dan tidak berdampak secara publik. Memang
bukan perkara mudah memisahkan keduanya. Dalam banyak kasus, inilah tantangan
terberat bagi para pemimpin bangsa ini sebelumnya.
Ketiga, menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai
panduan untuk mengambil tindakan dan kebijakan publik. Jika hal ini dilakukan
secara baik, niscaya Jokowi tidak perlu mencari legitimasi politik dari
sejumlah tokoh ”lawan” politik untuk dimintai pendapatanya. Tidak perlu pula
dia membentuk Tim 9—di samping Wantimpres—untuk sekadar mengambil sebuah
keputusan ”kecil” dalam kasus pencalonan BG.
Pelibatan banyak pihak oleh Jokowi di balik pencalonan BG
sungguh telah membuang banyak waktu berharga, selain menguras energi bangsa
secara percuma. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar