Iklan
dan Kebenaran
Ahmad Sahidah ; Dosen
Filsafat Universitas Utara Malaysia
|
KORAN
TEMPO, 11 Februari 2015
Iklan "Fire Indonesian Maid", yang dibuat sebuah
perusahaan, Malaysia memantik amarah banyak orang. Dengan bukti gambar yang
dimuat di media, siapa pun tidak akan menyangkal bahwa ada penghinaan di
situ. Betapa manusia lebih hina ketimbang barang. Jika pemerintah Indonesia,
melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri, akan menuntut ke pengadilan,
tentu langkah ini wajar. Sebab, apabila kekerasan simbolis seperti ini
dibiarkan, nasib pembantu rumah tangga kita di sana berada di ujung tanduk.
Tenaga kerja wanita (TKW) kita seakan lebih rendah daripada barang dan dengan
mudah bisa diperlakukan sewenang-wenang.
Namun, dalam kasus iklan "TKI on Sale" ini, sang
pelaku tak bisa ditelusuri. Hingga sekarang, Rubini tak bisa diseret ke
pangadilan. Meski ada nomor telepon yang tercantum pada spanduk iklan,
perusahaan resmi, Corvan Technology, sebagaimana dikutip oleh portal
Malaysiakini, 5 Februari 2015, menegaskan bahwa yang meletakkan spanduk itu
adalah pihak luar. Lagi-lagi, sepertinya kasus ini akan segera menguap
seiring dengan perhatian orang yang ramai tertuju pada penandatanganan nota
kesepahaman antara PT ASL dan Proton Sdn Berhad untuk menggarap mobil
nasional.
Lalu mengapa kasus seperti ini muncul ke permukaan?
Sentimen. Citra negeri jiran begitu buruk di mata banyak orang akibat tragedi
yang menimpa pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia, dari kekerasan
hingga penelantaran tanpa gaji. Apalagi, Malaysia dan Indonesia adalah dua
negara yang mempunyai hubungan paling intensif dalam banyak bidang, yakni ekonomi,
politik, dan kebudayaan, sehingga gesekan sering terjadi. Belum lagi, beban
sejarah hitam pernah mencoreng keduanya (konfrontasi). Selain itu, ada 300
ribu pembantu resmi yang bekerja di Malaysia-tidak termasuk yang ilegal.
Dengan kenyataan ini, tentu tidak mudah untuk mengurai silang-sengkarut yang
ada.
Jika berkepala dingin, sejatinya andaian bahwa Malaysia
mengabaikan buruh migran sungguh berlebihan. Kalau kita melihat dari dekat,
begitu banyak PRT kita yang bekerja dengan nyaman dan mendapatkan majikan
yang penuh perhatian. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah menjumpai seorang
ibu keturunan Cina yang dengan rela menemani pembantunya yang akan mudik. Ini
dilakukan untuk memastikan bahwa PRT yang bersangkutan bisa pulang dengan
selamat. Sekali waktu, di sebuah bank lokal saya pernah bercakap-cakap dengan
majikan Melayu yang menemani pembantunya untuk mengirim uang ke kampung
halaman. Bayangkan! PRT tersebut telah bekerja selama 10 tahun. Sang majikan
telah menganggapnya seperti keluarga sendiri.
Seharusnya iklan tersebut dilihat sebagai trik pemasaran.
Penawaran barang-barang alat elektronik pembersih sangat diperlukan. Peluang
permintaan pun terbuka lebar. Hanya, distributor bertindak ceroboh. Sebuah
moto iklan tak menimbang kata yang mengandaikan makna yang tak sama di mata
khalayak.
Bagi pembuat iklan, yang tak disadari oleh penjual,
reklame tak lebih dari sebuah pengertian bahwa ada barang yang bisa bekerja
secara lebih efisien dan murah. Dengan hanya merogoh uang sejumlah sekian,
pembeli tak lagi memerlukan pembantu. Tapi tidak bagi masyarakat Indonesia.
Jika sebuah perusahaan menista PRT asal Tanah Air, ia layak diboikot.
Sayangnya perusahaan yang berpusat di Amerika itu tidak mempunyai cabang di
sini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar