Hormati
Putusan Hakim
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Bosowa 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 21 Februari 2015
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komisaris
Jenderal Polisi Budi Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka, selain bisa
menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi, juga dapat menuai
gelombang gugatan praperadilan di kepolisian dan kejaksaan.
Kendati begitu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan atas praperadilan itu tetap dihormati sebagai putusan yang
berkekuatan hukum tetap, kecuali pihak termohon melakukan upaya hukum luar
biasa atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Tapi tidak berarti hal itu tidak boleh didiskusikan, sebab
indikasi dari putusan tersebut bisa memicu terjadinya gelombang gugatan
praperadilan. Semua yang ditetapkan sebagai tersangka yang belum masuk ke
pemeriksaan pengadilan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan
kejaksaan terbuka peluang untuk digugat.
Padahal, tujuan praperadilan dalam KUHAP pada hakikatnya
untuk mengoreksi syarat administrasi dan kemungkinan pengabaian hak-hak
tersangka dalam proses penyidikan dan penuntutan. Sebab dalam tahap
penyidikan dan penuntutan, penyidik dan jaksa penuntut umum diberi wewenang
melakukan ”upaya paksa” seperti penangkapan, penahanan, atau penyitaan barang
bukti yang potensial melanggar hak-hak hukum seseorang.
Maka itu, pembuat undang-undang dalam Pasal 77 juncto
Pasal 95 KUHAP tidak menggolongkan ”penetapan tersangka” sebagai objek
praperadilan karena dianggap bukan upaya paksa yang potensial melanggar
hak-hak asasi manusia (HAM). Keberatan atas penetapan tersangka dan pasal
yang tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap terhadap tindak pidana
yang didakwakan (Pasal 143 ayat 2 huruf-b KUHAP) dapat dilakukan saat eksepsi
oleh terdakwa atau pengacaranya setelah surat dakwaan dibacakan dalam sidang
pengadilan.
Apabila eksepsi diterima karena pasal-pasal yang
didakwakan tidak jelas dan cermat atau terjadi kesalahan atas subjek hukum,
hakim dalam putusan sela menolak surat dakwaan sehingga pemeriksaan perkara
tidak dilanjutkan. Pada konteks itulah sebetulnya terdakwa mempersoalkan penetapannya
sebagai tersangka, bukan dengan gugatan praperadilan.
Dalam Rancangan Perubahan KUHAP diatur mengenai hakim
komisaris atau hakim pengawas, antara lain mengoreksi dan memberikan
persetujuan jika seseorang akan dikenai penahanan, termasuk penetapan
tersangka. Hakim komisaris meneliti apakah permintaan pengenaan penahanan
atau penetapan tersangka dari penyidik sesuai dengan ketentuan hukum atau
tidak. Tapi keberadaan hakim komisaris dalam Rancangan Perubahan KUHAP dari
berbagai pemberitaan justru ditolak oleh kepolisian.
Gelombang Gugatan
KUHAP selaku hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata
cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil yang dilanggar, oleh
banyak pakar hukum, dianggap sebagai aturan yang tidak boleh diinterpretasi
secara luas. Apalagi menyimpang dari rumusan pasal yang diatur secara
limitatif, sebab hukum formal hanya mengatur tata cara dan prosedur jika ada
yang melanggar hukum materiil.
Konsekuensi dari interpretasi hukum yang sebetulnya sudah
diatur secara jelas dan limitatif dapat menghambat, bahkan mengacaukan
prosedur penyelesaian perkara. Berbeda pada hukum materiil yang bisa
ditafsirkan secara progresif dengan asumsi menghargai nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan praperadilan itu
setidaknya dapat menimbulkan dua persoalan.
Pertama, putusan itu akan berdampak luas bagi penyidik
kepolisian lantaran dapat menuai gelombang gugatan praperadilan terhadap
orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bukan hanya perkara korupsi, melainkan
juga perkara lain seperti narkoba, terorisme, dan kriminal jalanan yang
begitu marak.
Dalam kasus narkoba misalnya, penyidik selalu menggunakan
hasil tes urine dan pemeriksaan darah dari laboratorium forensik (labfor)
milik kepolisian untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Bisa jadi
tersangka kasus narkoba yang begitu banyak itu mengajukan gugatan
praperadilan karena tidak percaya pada hasil tes labfor penyidik kepolisian.
Tersangka bisa meminta labfor independen yang ada di
kampus-kampus untuk melakukan tes urine dan darah sebagai bahan perbandingan.
Kemungkinan itu didukung dengan seringnya muncul tudingan bahwa oknum polisi
selaku aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik) diduga menjebak
seseorang yang kemudian dijadikan dasar penetapan tersangka. Dapat
dipastikan, pihak kepolisian yang akan merasakan dampak langsung dari
pembenaran dan perluasan objek praperadilan sampai pada penetapan tersangka.
Upaya Hukum
Lantaran putusan sudah dijatuhkan, KPK dapat melakukan
langkah hukum untuk mencegah putusan itu berdampak luas terhadap
pemberantasan korupsi. Pertama, karena putusan praperadilan bersifat final
dan mengikat sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, maka KPK dapat menempuh
upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Syaratnya harus menemukan keadaan baru (novum) yang belum
terungkap dalam sidang praperadilan (Pasal 263 ayat 2 KUHAP). Bisa juga
karena berbagai dasar dalam putusan praperadilan, ternyata telah bertentangan
satu dengan lainnya. Atau putusan itu jelas-jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim.
Sebab fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan koreksi
terhadap pelaksanaan penyidikan dan penuntutan yang diberi wewenang melakukan
upaya paksa. Sepanjang prosedur-prosedur dan modus operandinya dilaksanakan
sesuai ketentuan hukum acara yang diatur secara rigid, hasilnya bisa saja
diterima. Kedua, KPK harus mencari dasar argumentatif untuk mematahkan
putusan hakim bahwa tidak semua anggota Polri dikategorikan aparat penegak
hukum.
Padahal, dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Nomor
2/2002 tentang Polri, untuk mengabdikan diri sebagai ”alat negara penegak
hukum”, setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi
kepolisian yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Begitu pula Pasal 1
butir-4 KUHAP juncto Pasal 1 butir-8 UU Kepolisian mengartikan ”penyelidik”
adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undangundang ini untuk melakukan penyelidikan.
Adapun pejabat kepolisian adalah anggota kepolisian yang
berdasarkan undangundang memiliki wewenang umum kepolisian (Pasal 1 butir- 3
UU Kepolisian). Artinya, semua anggota Polri mulai dari pangkat terendah
sampai pangkat tertinggi merupakan aparat ”penyelidik” sebagai langkah awal
dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, semua anggota Polri adalah aparat
penegak hukum lantaran diberi wewenang melakukan penyelidikan.
Berbeda pada
penyidik dan penyidik pembantu yang ditentukan pangkatnya dalam Pasal 2 ayat
(1) PP Nomor 58/ 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27/1981 tentang
Pelaksanaan KUHAP, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Polri
harus minimal berpangkat inspektur dua polisi dan berpendidikan sarjana
strata satu atau yang sederajat. Maka itu, meskipun tetap menghormati putusan
praperadilan, perlu dilakukan koreksi oleh MA lantaran hakim melampaui
kewenangan yang diberikan KUHAP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar