Gus
Dur, Tionghoa dan PKB
A Halim Iskandar ; Ketua
DPW PKB Jawa Timur; Ketua DPRD Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 17 Februari 2015
Sebab kalau semuanya ngalor (ke
utara), bedanya cendekiawan dengan hansip, lalu apa ? (Gus Dur). Lontaran bernada ironi itu muncul dari lisan Gus Dur
ketika mengomentari dirinya yang tak mau masuk Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI).
Sebuah ungkapan yang mengandung filosofi penting bahwa
seorang cendekiawan haruslah mau dan mampu melawan arus besar sekalipun, demi
nilai-nilai yang dianggap benar. Seperti itulah sikap Gus Dur yang dapat
dilihat atas pembelaannya terhadap umat Konghucu, sejak era 1990-an dan
tampil dengan kebijakan humanis terhadap etnis Tionghoa ketika beliau menjadi
presiden ke-4 RI.
Bagi Gus Dur, diapresiasinya Imlek dan pernik Tionghoa
lainnya bukanlah semata-mata sebagai implementasi toleransi atau pluralisme
belaka, namun merupakan sense of
belonging (rasa saling memiliki), yang dalam konsep keberagamaan aswaja
NU, sikap tersebut sebagai pengejawantahan tawassuth.
Di mana tawassuth tidak sematamata dimaknai moderatisme
yang diam, tapi tawassuth merupakan jalan progresif yang aktif advokatif.
Paradigma tawassuth tidak
menjadikan manusia sebagai tukang vonis atas kelabilan negeri ini. Karena
itulah, ketika gurita konglomerasi Tionghoa era Orde Baru membuncah, yang
memunculkan tindakan diskriminasi dan pengucilan terhadap etnis Tionghoa.
Tiba-tiba, etnis Tionghoa menjadi musuh bagi sebagian
kalangan negeri ini. Lebih ironis lagi, nuansa permusuhan akan semakin
dahsyat, jika etnis Tionghoa itu nonmuslim. Karena dalam benak sebagian
kalangan utamanya rakyat yang merasakan aroma kesenjangan ekonomi, kesalahan
etnis Tionghoa dianggap sudah berlipat-lipat. Dalam kondisi seperti ini, Gus
Dur tampil sebaliknya.
Gus Dur justru menjadi teman bagi etnis Tionghoa. Ketika
rezim Orba berada di kulminasi kejayaan plus konglomerasi Tionghoa yang
beraroma kesenjangan, Gus Dur justru hadir sebagai pembela yang tegar.
Tindakan pembelaan diambil Gus Dur, semata-mata agar manusia menjadi ummatan
wasathan, umat yang tawassuth, muslim yang bersikap moderat di antara dua
kutub ekstremisme beragama, yaitu ekstrememisme keberagamaan yang terlalu
eskapis dan ekstremisme keberagamaan hedonis. Muslim yang selalu menjadi
saksi hidup nilai Islam moderat yang selalu diperjuangkan agar membumi.
Berdasarkan paham keislaman NU, Gus Dur tidak
mempersoalkan identitas partikular. Karena dalam perilaku mumuasyarah
(pergaulan) pasti terdapat identitas partikular yang akan menautkan
sekelompok orang untuk berkumpul sebagaimana identitas partikular yang
dirujuknya itu. Karena itulah, dalam pandangan Gus Dur, eksklusivisme etnis
Tionghoa selama Orba bukanlah sebuah persoalan.
Tindakan Tionghoa yang hanya berkumpul dengan sesama
Tionghoa atau kawin hanya dengan sesama mereka tak lain hanya bentuk
partikularisme semata. Eksklusivitas terasa memanas justru karena etnis
Tionghoa dibatasi gerak langkahnya di luar wilayah ekonomi. Di negeri ini,
kaum pribumi akrab dengan khazanah Tionghoa yang telah terpatri bukan sebagai
the other dalam momentum kehidupan.
Kisah Laksmana Ceng Ho, Kyai Telingsing, dan Adipati
Jinbun dalam kronik sejarah menghiasi benak masyarakat banyak. Pernikpernik
itu pun digugah Gus Dur dengan penyebutan identifikasi genealogisnya yang
kosmopolit sebagai keturunan Tionghoa. Anehnya, publik non- Tionghoa merasa
bahwa identifikasi itu hanya bermomentum sepihak bagi etnis Tionghoa dan
bukan etnis lain.
Padahal, Gus Dur melalui identifikasi itu sedang membangun
integrasi kebangsaan karena selain identifikasinya dengan etnis Tionghoa, di
saat sama Gus Dur mengidentifikasi dirinya dengan raja Jawa dan Nabi
Muhammad. Identitas genetis raja Jawa dan Nabi Muhammad bukan semata-mata
karena Gus Dur orang Jawa atau NU yang sangat cinta Rasul itu kuat di Jawa.
Gus Dur sebenarnya sedang mendekatkan sensitivitas
eksklusivitas itu pada emosi stabilisasi kebangsaan. Gus Dur paham
kesenjangan itu sebenarnya banyak ditemui di Jawa daripada misalnya di
Kalimantan Barat. Di mana di Kalbar, etnis Tionghoa terasa ”akrab” karena
tampil dalam berbagai profesi sejak tukang becak sampai pebisnis.
Politik Kebangsaan
Politik kebangsaan PKB pada dasarnya berupaya menampilkan
sebaik mungkin sisi positif setiap identitas primordial, lalu menjadikannya
sinergis dengan kebangsaan. Prinsip perjuangan partai menegaskan bahwa PKB
bergerak berdasar prinsip persaudaraan dan kebersamaan dalam kerangka ahlu
sunnah wal jamaah.
Sebagaimana NU, kerangka ini melihat entitas Tionghoa
sebagai warga negara yang terikat dalam Darus Sulh (negara sanggah). Darus
sulh ala NU ini menarik karena melihat Indonesia sebagai negara yang
berhimpun di dalamnya aneka keragaman yang berdiri atas dasar rekonsiliasi
(islah). Bagi Gus Dur, PKB jelas beda dengan NU.
Karena PKB sengaja diposisikan sebagai media perjuangan
politik NU, PKB kendaraan utama politik nahdliyin, PKB merupakan jalan agar
NU menjadi koordinat dalam percaturan nasional. Karena itulah, tujuan politik
PKB bukan berarti menempatkan semua orang NU di posisi strategis negeri ini.
Filosofi politik PKB adalah berbagi tempat dengan orang
lain asal orang lain itu menyelaraskan diri dengan nilai aswaja. Hal tersebut
ditunjukkan Gus Dur ketika berusaha segiat mungkin menarik kader nonmuslim
dan muslim non-NU untuk berperan dalam pengelolaan PKB, termasuk etnis
Tionghoa, untuk membangun sense of belonging. Artinya, jika kepentingan
Tionghoa diperjuangkan oleh orang Tionghoa bersama kader NU maka itulah rasa
saling memiliki yang melampaui toleransi.
PKB sejak awal menisbatkan dirinya sebagai partai
nasional. Kepentingan nasional menjadi poin juang utama PKB, yang sama
pentingnya dengan kepentingan santri. Sesuai nilai aswaja lainnya, At
Tawazun, PKB akan berupaya secermat mungkin melihat setiap persoalan anak
bangsa dalam kacamata yang tidak berat sebelah. Sesuatu diukur secara adil
dalam logika IItidal.
Menarik sekali, kalau konsep keadilan dalam manhaj
berpikir NU bukanlah harus berdasar ”Islam murni” ala kaum fundamentalis. NU
telah berkomitmen Pancasila adalah matriks nilai kenegaraan di Indonesia.
Artinya, Islam yang mengawankan diri seakrab mungkin dengan kebangsaan.
Begitu pun PKB, kelima sila itu ditegaskan sebagai asas
partai dan diikuti nilai aswaja sebagai prinsip perjuangan. Menggandeng etnis
Tionghoa dalam PKB jelas merupakan cara hidup berorientasi masa depan ala NU.
NU dan PKB tak pernah terkejut ketika melihat tokoh-tokoh Tionghoa secara
tiba-tiba tampil di dunia politik dan pemerintahan.
Bagi PKB, justru di situlah identitas primordial yang
selama ini dimusuhi bisa tampil dan harmonis dengan kebangsaan. Membumikan
aswaja yang moderat itu sekali lagi bukan ranah untuk orang NU. Membumikan
aswaja itu untuk kepentingan nasional dan PKB adalah institusi yang berupaya
membawa aswaja itu dalam daya jangkau lebih luas.
Sebagai penutup, saya teringat kalau almarhum Gus Dur
sering diidentikkan dengan Khidir, nabi nyeleneh dalam khazanah Islam.
Tentunya kita tahu, kalau Khidir memiliki tiga orientasi. Masa lalu,
sekarang, dan masa depan. Ketika membangun rumah roboh, Khidir berorientasi masa
lalu. Ketika melubangi perahu, Khidir berorientasi masa kini.
Dan ketika membunuh anak kecil, Khidir berorientasi masa
depan. Berkaitan dengan etnis Tionghoa ini, Gus Dur telah melakukannya.
Orientasi masa lalu disadarkan Gus Dur dengan seringnya beliau merekam jejak
Tionghoa masa lalu, paling sederhana beliau lakukan dengan identifikasi
genetisnya itu.
Masa sekarang dimulai sejak Gus Dur mencabut kebijakan
yang memasung Tionghoa. Masa sekarang adalah momen di mana Tionghoa
dibangkitkan untuk tampil sesuai potensinya masing-masing mulai pebisnis,
politisi, intelektual, sampai pejabat pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar