Fenomena
Hujan Tinggi di Jakarta
Paulus Agus Winarso ; Pengajar
Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
|
KOMPAS,
12 Februari 2015
Sepanjang Minggu hingga Senin, 8–9 Februari 2015, telah
berlangsung kondisi cuaca yang cukup istimewa: curah hujan berkepanjangan
lebih dari 12 jam. Di Stasiun Meteorologi Pelabuhan Tanjung Priok bahkan
turun hujan es.
Dari catatan pengukuran curah hujan yang dapat diakses
melalui internet dari berbagai pengamatan cuaca di seluruh dunia—termasuk dari
BMKG Indonesia—diketahui bahwa curah hujan yang mulai Minggu pagi dan
kemudian meningkat pada Minggu malam hingga Senin siang, termasuk kategori
luar biasa khususnya di sekitar kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.
Pada kawasan Tangerang dan Jakarta, selain hujan tinggi
telah berlangsung pula kondisi badai, yaitu badai guntur (thunderstorm),
badai es (hailstorm), dan hujan lebat/hujan badai (rain storm). Hanya kondisi
angin badai tidak berlangsung. Artinya kondisi badai telah berlangsung mulai
Minggu malam hingga Senin menjelang siang.
Dari hasil pengamatan satelit cuaca milik Biro Cuaca
Australia, pada jam pengamatan pukul 10.32 WIB, tampak warna putih awan
hujan di sebagian di kawasan Banten
dan Jabodetabek, selain juga selatan kawasan Jawa Barat.
Gugusan awan di sekitar kawasan Pulau Jawa hingga perairan
di selatannya jika dikembangkan lebih lanjut menunjukkan adanya suatu kondisi
udara naik yang diakibatkan oleh mekanik dan bersifat termis. Kondisi mekanik
yang dimaksud adalah hadirnya udara mengumpul di lapisan bawah yang dalam
istilah teknis meteorologi konvergensi atau angin bertemu.
Pertemuan angin lapisan bawah yang basah akan berdampak
pada naiknya udara ke atas untuk membentuk awan hujan. Sedangkan kondisi
termis yang dimaksud adalah adanya lataan atau adveksi udara dingin dari
daratan Asia yang kini mengalami musim dingin kuat yang mendinginkan udara di
atas. Inilah yang mendukung adanya pembekuan cairan menjadi es.
Kondisi hujan yang terjadi saat ini merupakan suatu
kondisi perkembangan yang telah giat dan telah berlangsung sejak dalam
beberapa tahun terakhir, mulai tahun 2010. Khususnya dengan indikasi
penurunan suhu udara secara global, seiring dengan kegiatan Matahari yang
kini dalam siklus 24—mulai dari tahun 2010 dan akan berakhir tahun
2020—berdasarkan prakiraan jumlah bintik matahari yang dikeluarkan oleh Badan
Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Kejadian pertama
Apabila kondisi ini dibandingkan dengan kondisi curah
hujan selama empat tahun terakhir, tampaklah bahwa hujan yang terjadi pada
2015 ini merupakan kejadian untuk pertama kalinya jika dibandingkan dengan
kondisi curah hujan tinggi pada awal tahun 2010 hingga awal tahun ini. Hanya
kondisi ini hampir identik merupakan gabungan antara dua kondisi fisis udara,
yaitu akibat kondisi mekanis dengan pertemuan angin lapisan bawah yang
mendorong pembentukan udara dan didukung dengan pendinginan lapisan udara
atas. Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya peristiwa seruakan dingin yang kini
terjadi dan berlangsung saat pemanasan udara atau konveksi yang terjadi jika
tanpa awan.
Pada bagian lain, curah hujan tinggi umumnya dipicu oleh
kehadiran badai tropis yang giat di selatan, barat daya dan tenggara Pulau
Jawa yang terjadi selama beberapa puluh tahun sebelum 2010. Kejadian tahun
ini seperti kejadian banjir Jakarta pada 9-10 Februari 1996, di mana kawasan
Jakarta mendapat curah hujan 300 milimeter/hari.
Saat ini, pada 8-9 Februari 2015, hampir seluruh kawasan
Jakarta hujan. Di tiga wilayah, hasil pengukuran pada pukul 07.00 adalah
rata-rata curah hujan 35 milimeter. Yang berbeda signifikan hanya di Bandara
Soekarno Hatta: 73 milimeter, sedangkan di Kantor BMKG Jakarta Pusat: 177
milimeter.
Namun, hasil pengukuran pada pukul 13.00 menunjukkan
peningkatan curah hujan secara berarti. Pada tiga kawasan yang sama,
Curug-Tangerang, Pelabuhan Tanjung Priok, dan Citeko-Bogor, rata-rata curah
hujan menjadi 142,3 milimeter. Di Bandara Soekarno-Hatta meningkat menjadi 84
milimeter dan di Kantor BMKG Jakarta Pusat menjadi 368 milimeter.
Perubahan signifikan terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta Utara, yang semula 38 milimeter pada pagi hari menjadi 311 milimeter
pada siang hari.
Dengan demikian, kondisi curah hujan pada 8–9 Februari
2015 itu sudah tergolong tinggi. Namun, karena areal pusat hujan tinggi
terpusat di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, daerah genangan dan banjir juga
paling parah di kedua kawasan itu.
Bandingkan dengan kejadian banjir besar pertama kali pada
1996, dengan curah hujan 200–325 milimeter dan pada hari berikutnya 100–150
milimeter di kawasan Bogor.
Kondisi curah hujan yang berbeda ekstrem antarwilayah
maupun antarwaktu setiap tahun ini, tentu saja telah membingungkan berbagai
kalangan. Sebenarnya, kondisi curah hujan sebagai bagian dari proses fisika
dan dinamika udara memang akan kian beragam seiring kondisi keragaman cuaca
dan iklim bumi akibat keragaman pancaran radiasi matahari dan perubahan tata
guna lahan.
Bagaimana kondisi perkembangan curah hujan untuk masa
mendatang?
Hingga tulisan ini dibuat, kawasan belahan bumi selatan
sekitar wilayah Indonesia mengalami surplus badai tropis. Artinya hingga kini
sangat rendah pertumbuhan badai tropis yang umumnya hadir di selatan dan
barat daya Pulau Jawa dan kawasan utara Benua Australia.
Curah hujan tinggi
Kondisi yang terjadi dan berlangsung hingga jelang
pertengahan Februari 2015 menunjukkan bahwa curah hujan tinggi telah tersebar
dan berlangsung di seluruh kawasan dengan konsekuensi bencana banjir, banjir
bandang dan tanah longsor. Namun, sepertinya kondisi akan berangsur-angsur
menurun baik dari kualitas dan kuantitasnya.
Pengalaman menunjukkan informasi yang menyesatkan
terkadang muncul di kalangan masyarakat pasca-banjir. Oleh karena itu,
penting menyimak informasi dari lembaga berwenang. Menurut data puncak hujan
kawasan Pulau Jawa, puncak curah hujan akan berkisar dari dasarian I bulan
Januari (periode tanggal 1–10) hingga dasarian II bulan Februari (periode
tanggal 11–20). Dengan demikian, curah hujan tinggi masih akan berpeluang
terjadi dengan kuantitas dan kualitas yang kian menurun atau kurang dari 300
milimeter/hari.
Untuk kawasan Jabodetabek sepertinya kondisi penurunan
kualitas dan kuantitas curah hujan mulai terjadi. Yang perlu diwaspadai
adalah kemungkinan masih hadirnya curah hujan antara 50–150 milimeter per
hari yang umumnya berpeluang terjadi hingga 20 Februari 2015.
Demikian juga kawasan selatan ekuator wilayah Indonesia
akan berangsur turun, tetapi untuk kawasan sekitar ekuator dan kawasan utara
perlu mewaspadai kondisi kenaikan curah hujan. Ini khususnya di kawasan yang
berpola hujan ekuatorial karena mempunyai dua puncak musim. Maret/April
sebagai puncak musim hujan pertama dan September/Oktober sebagai puncak musim
hujan kedua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar