Efektivitas
Penyanderaan Penunggak Pajak
Chandra Budi ; Bekerja
di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
|
JAWA
POS, 05 Februari 2015
DALAM seminggu terakhir, Ditjen Pajak sangat gencar
menyandera penunggak pajak. Tercatat, sudah ada satu wajib pajak (WP) ’’SC’’
yang dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Salemba, Jakarta, dan
’’KMS’’ yang menghuni Lapas Sukun, Malang. Ke depan, ada sekitar 57 penunggak
pajak lagi yang disandera. Penyanderaan penunggak pajak itu dimaksudkan untuk
memberikan efek jera (deterrent effect)
sehingga meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Lantas, apakah cara tersebut
efektif?
Gijzeling
Sebenarnya, penyanderaan terhadap penunggak pajak bukanlah
hal pertama yang dilakukan Ditjen Pajak. Pada 2003, Ditjen Pajak melakukan gijzeling (paksa badan) terhadap salah
satu penunggak pajak besar (JL) yang kemudian disandera di Lapas Cipinang (28
Oktober 2003). Walaupun saat itu berhasil membuat 36 penanggung pajak yang
terancam penyanderaan mau membayar pajak, tindakan gijzeling oleh Ditjen Pajak tidak terdengar lagi.
Secara terminologi, gijzeling
dalam UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
(PPSP) diartikan penyanderaan, yaitu pengekangan sementara waktu kebebasan
penanggung pajak dengan ditempatkan di tempat tertentu. Yang dapat dikenai
tindakan penyanderaan adalah penanggung pajak yang cakupannya meliputi
penunggak pajak (wajib pajak) dan yang bertanggung jawab atas pembayaran
pajak. Penyanderaan merupakan bagian dari serangkaian kegiatan dalam penagihan
pajak. Apabila dirunut dari belakang, penagihan dimulai dengan penerbitan
surat teguran, kemudian penerbitan surat paksa.
Apabila utang pajak ditambah biaya penagihan tidak juga
dibayarkan dalam jangka waktu 14 hari dari penerbitan surat paksa, bisa
dilakukan penyitaan yang dilanjutkan dengan penyanderaan. Dua syarat utama
penyanderaan adalah jumlah utang pajak minimal Rp 100 juta dan iktikad baik
penanggung pajak dalam membayar utang pajak diragukan.
Aturan pelaksanaan penyanderaan sudah lengkap. Pada 1998
diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1998 tentang Penyanderaan
dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan pada 2000 dikeluarkan PP
Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi
Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi.
Juga, sejak 25 Juni 2003, dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan serta Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia (HAM) Nomor M-02.UM.09.01 dan Nomor 294/KMK.03/2003 tentang
Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara
dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, penyanderaan semakin terbuka
diimplementasikan.
Karena itu, langkah Ditjen Pajak untuk mengintensifkan
lagi penyanderaan terhadap penunggak pajak sudah tepat. Sebab, sudah menjadi
rahasia umum, ada persepsi di kalangan wajib pajak, pasal mengenai
penyanderaan hanya berfungsi untuk menakut-nakuti penanggung pajak sehingga
dengan terpaksa mau membayar utang pajak. Penanggung pajak hanya menganggap penyanderaan
sebagai alat gertak sambal. Argumentasi itu diperkuat fakta bahwa penagihan
pajak selama ini paling banter hanya sampai pada tahap penyitaan.
Efektivitas
Penyanderaan terhadap penunggak pajak dipastikan efektif
meningkatkan kepatuhan membayar pajak. Pada 2003, penyanderaan penunggak
pajak langsung memberikan efek jera bagi wajib pajak. Pada saat itu,
direncanakan ada 36 penunggak pajak yang terancam disandera. Tetapi, dalam
waktu singkat, jumlah tersebut berkurang menjadi delapan penunggak pajak saja
yang tidak kooperatif dan akhirnya semua melunasi utang pajaknya. Demikian
pula saat ini, setelah menginap sehari di Lapas Sukun, Malang, wajib pajak
’’KMS’’ langsung akan melunasi utang pajaknya. Rencana Ditjen Pajak yang
menyandera 57 penunggak pajak bakal gagal karena mereka semua akan
melunasinya.
Perlu diingat juga, pelaksanaan penyanderaan itu
membutuhkan biaya yang besar. Ditjen Pajak berhak menahan penunggak pajak
dalam waktu enam bulan dan bisa dilanjutkan enam bulan lagi apabila diperlukan.
Semua biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penyanderaan itu ditanggung
negara. Tentu dapat dihitung berapa besar biaya yang akan dikeluarkan negara.
Terlebih, apabila kurun waktu penyanderaan sudah melewati
setahun, belum ada aturan tindak lanjut terhadap penunggak pajak tersebut.
Aturan yang ada hanya mengatur berakhirnya masa penyanderaan bagi penunggak
pajak. Yaitu, utang pajak dan biaya penagihan telah dibayar lunas, jangka
waktu surat perintah penyanderaan habis, adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, dan berdasar pertimbangan tertentu dari menteri
keuangan atau gubernur. Artinya, penunggak pajak akan bebas secara otomatis
jika jangka waktu penyanderaan habis.
Isu yang harus diantisipasi Ditjen Pajak, penyanderaan
akan dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Isu tersebut dapat saja
diembuskan dan dimanfaatkan pihak yang berkepentingan sehingga dikhawatirkan
menghambat laju penagihan pajak. Ternyata, jika dikaji lebih lanjut,
aturan-aturan atau norma-norma yang berkaitan dengan HAM telah dimasukkan
dalam SKB penyanderaan. Hal-hal prinsip terkait dengan HAM telah diatur jelas
dalam SKB itu.
Misalnya, penyanderaan tidak dilakukan saat penanggung
pajak sedang beribadah dan memperhatikan hak penanggung pajak saat menjalankan
penyanderaan. Misalnya, menjalankan ibadah, memperoleh pelayanan kesehatan,
mendapat makanan yang layak –termasuk menerima kiriman makanan dari
keluarga–, memperoleh bahan bacaan dan informasi atas biaya sendiri, serta
wajib memberikan pelayanan kepada penanggung pajak yang sakit keras atau
meninggal.
Asalkan dilakukan dengan konsisten, penyanderaan terhadap
penunggak pajak akan efektif meningkatkan penerimaan pajak secara cepat.
Kepatuhan sukarela wajib pajak akan mengikuti irama penegakan hukum perpajakan,
termasuk penyanderaan. Semakin kencang penyanderaan dilakukan, kepatuhan
wajib pajak akan semakin meningkat. Demikian pula sebaliknya. Kepatuhan wajib
pajak akan menurun seiring dengan minimnya penyanderaan terhadap penunggak
pajak.
Konkretnya, Ditjen Pajak bisa menyusun program
penyanderaan sedemikian rupa sehingga ada kesinambungan penyanderaan pajak
untuk jangka panjang yang menyebar di seluruh Indonesia. Misalnya, mewajibkan
31 kantor wilayah (kanwil) Ditjen Pajak di seluruh Indonesia untuk menyandera
minimal satu penunggak pajak dalam setahun. Dengan begitu, setidaknya ada dua
atau tiga penunggak pajak yang disandera setiap bulan dan diberitakan media
massa. Cara tersebut akan lebih efektif daripada menggebrak pada awal, namun
setelah itu tidak ada penyanderaan lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar