Dystopian
Society
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 20 Februari 2015
Sejarah kelahiran Republik Indonesia ini didorong oleh tekad
dan keyakinan akan datangnya utopian society, sebuah masyarakat gemah ripah loh jinawi, tentrem kerto
raharjo.
Setelah penjajah pergi, rakyat yakin dan menunggu
datangnya sebuah masyarakat yang damai, makmur, dan sejahtera di bawah
kepemimpinan Ratu Adil pilihan Tuhan. Keyakinan ini diperkuat oleh pesan
Alquran untuk mewujudkan apa yang disebut: baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur. Negara yang indah dan menyenangkan
di bawah ampunan Ilahi.
Pemikiran dan keyakinan utopian society ini sesungguhnya tidak hanya ditemukan pada
masyarakat Nusantara prakemerdekaan, tetapi juga masyarakat lain yang
hidupnya tertindas. Dulu Bani Israel juga punya konsep utopian society ketika
hidupnya sangat menderita di bawah kekuasaan Firaun, lalu muncul Nabi Musa
yang diyakini sebagai juru selamat yang akan mendatangkan masyarakat dan
negara yang makmur di atas tanah yang dijanjikan.
Orang Yahudi mengklaim bahwa tanah yang dijanjikan itu
sekarang bernama Yerusalem. Tapi kenyataan historis-politis menunjukkan
Yerusalem itu merupakan wilayah konflik dan peperangan jauh sejak sebelum
Masehi yang berlangsung hingga hari ini. Psikologi orang kalah dan putus asa
selalu membayangkan dan mengharapkan datangnya juru selamat yang akan
mengantarkan mereka pada dunia baru yang mereka mimpikan (utopian society).
Hampir setiap masyarakat bangsa dan ideologi besar dunia
serta agama memiliki keyakinan dan harapan datangnya masyarakat utopia.
Ideologi komunis membayangkan terwujudnya masyarakat tanpa kelas yang
serbamakmur, tak ada pengangguran dan kemiskinan, semuanya dicukupi dan
dilindungi oleh negara.
Ideologi kapitalisme membayangkan hadirnya masyarakat yang
setiap warganya memiliki kemerdekaan penuh, mereka hidup dalam suasana
kompetisi yang diatur bersama oleh undang-undang, sehingga kehidupan layaknya
sebuah festival, sesuai dengan minat dan bakatnya. Mereka yang kalah bersaing
akan disantuni oleh negara dari uang pajak yang dipungut dari para
pemenangnya.
Dalam tradisi agama, masyarakat utopia yang dibayangkan,
kalaupun di dunia tidak terwujud, maka mesti menunggu nanti di akhirat
setelah kematian nanti, berupa masyarakat surgawi. Jadi, utopia itu selalu
memberikan harapan dan hiburan di kala penderitaan berkepanjangan. Makanya
masyarakat yang menderita dan lama tertindas merasa tak berdaya, selalu
berdoa kapan datangnya Juru Selamat atau Ratu Adil, pemimpin besar yang mampu
mengangkat mereka dari keterpurukan.
Namun, dalam realitas sejarah, yang kadang dijumpai justru
dystopian society. Di balik
hiruk-pikuk dan pasang surut kehidupan politik, masyarakat selalu berharap, enough is enough. Semoga kegaduhan dan
kegelapan segera berakhir lalu tiba matahari pagi yang cerah. Tapi kadang
harapan tinggal harapan, karena masih juga dijumpai kehidupan sosial yang
serbagaduh, centang-perentang, karut-marut, tidak aman dan tidak nyaman, jauh
dari yang diimpikan.
Dibanding masa penjajahan Belanda dan Jepang, tentu
masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih baik. Kita mesti bersyukur pada
Tuhan dan berterima kasih pada para pejuang kemerdekaan. Namun, bagi sebagian
masyarakat Indonesia di berbagai wilayah, kemakmuran itu masih jauh dari
semestinya.
Kehidupan toto
tentrem loh jinawi, kehidupan yang tenteram dan makmur bagi mereka masih
juga utopis. Sejak 1945 sampai 1965 berbagai peristiwa konflik berdarah-darah
datang sambungmenyambung. Banyak saudara kita sebangsa dan setanah air masih
dalam situasi masyarakat distopia. Sementara itu, pada panggung politik juga
masih terjebak pada dystopian political
stage.
Cita-cita reformasi
yang dibayangkan akan mengantarkan kehidupan kita menjadi semakin maju,
kemakmuran merata, kesejahteraan rakyat meningkat, kehidupan politik kian
beradab dan menarik dilihat, nyatanya masih juga menyedihkan kondisinya.
Belum hilang dari ingatan kita bagaimana rakyat heboh menyukseskan pemilu dan
juga pilkada dengan berbagai dinamikanya, begitu pemilu selesai sekarang
gantian yang heboh dan tengkar justru sesama aparat pemerintah sehingga
kondisi ini sangat melukai rakyat.
Apa pun alasannya, 100 hari pertama pemerintahan ini
justru ditandai dengan lumpuhnya KPK, lembaga pemberantasan korupsi, ketika
beperkara dan berhadapan dengan lembaga kepolisian yang juga sama-sama
pendekar antikorupsi. Seru dan ironis, masing-masing pihak mengeluarkan jurus
dan senjata mautnya dengan menyatakan tersangka pelaku korupsi pada jajaran
pendekarnya.
Di atas kertas seakan yang terjadi adalah maling teriak
maling, koruptor teriak koruptor. Bisa saja yang terjadi kedua belah
sama-sama salah, atau sama-sama benar, atau salah satu yang benar dan yang
salah. Bagaimanakah cerita selanjutnya, masyarakat akan menunggu. Masyarakat
ingin melihat penyelesaiannya secara fair dan transparan, jangan sampai
terjadi penzaliman dan kriminalisasi terhadap yang lain.
Jika pihak atau unsur pimpinan KPK yang salah, masyarakat
ingin tahu apa dan seberapa besar-kecil kesalahannya sehingga layak jadi
tersangka. Begitu pun jika pihak atau unsur pimpinan Polri yang melakukan
korupsi, mesti diungkap secara fair dan transparan, demi mengembalikan
martabat dan wibawa kepolisian.
Lagi-lagi kita membayangkan hadirnya utopian state, sebuah negara dengan pemerintahan yang cerdas,
bersih, kompeten dan mampu memajukan bangsanya sebagaimana yang dibayangkan,
diimpikan dan dicitakan oleh para pejuang kemerdekaan dengan pengorbanan jiwa
dan raga.
Jadi, jika sebelum pilkada dan pemilu para politisi begitu
manis dan peduli pada rakyat sebagai calon pemilih, namun sering dinilai lupa
setelah duduk di kekuasaan, jauh lebih parah lagi kalau jajaran penguasa juga
lupa akan cita-cita dan pengorbanan para pejuang kemerdekaan. Komitmen
menjaga moral dan cita-cita perjuangan kemerdekaan itu bukan semata masalah
hukum tata negara.
It is above and beyond the law. Kita memang membangun negara
hukum. Bernegara itu berkonstitusi. Tetapi mesti diingat bahwa ruh konstitusi
itu moral dan cita-cita luhur untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan
kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Dengan demikian, jika seorang
pejabat dinyatakan dan terbukti korup, siapa pun orangnya, maka tak perlu
lagi dibela-bela dengan berbagai dalil hukum untuk mencari pembenaran dan
pembelaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar