Dramaturgi
Cicak-Buaya Jilid III
Agung Baskoro ; Analis Politik Poltracking
|
KORAN
TEMPO, 04 Februari 2015
Drama konflik hukum Cicak-Buaya Jilid III memasuki babak
baru karena mulai berimplikasi luas secara politik dan mengganggu stabilitas
nasional. Kondisi ini, bila disederhanakan dalam sebuah alur cerita, mengarah
kembali berada di alur maju, karena sebelumnya presiden terjebak dalam
tarik-ulur elite akibat dukungan politik yang lemah.
Kondisi ini seiring dengan langkah presiden dalam
menghasilkan sejumlah inovasi politik yang dibaca publik sebagai manuver
untuk melepaskan diri dari tuntutan politik PDIP maupun Koalisi Indonesia
Hebat (KIH). Beberapa bentuknya terpapar jelas, yakni membentuk Tim 9;
bertemu dengan Prabowo, Habibie, dan Kompolnas; serta memanggil untuk
kesekian kalinya pelaksana tugas Kapolri atau Kabareskrim, agar sengkarut ini
dapat diobyektifikasi secara utuh. Namun alur yang maju ini akan kembali
mundur bila Presiden Jokowi akhirnya melantik Budi Gunawan (BG), yang
berstatus tersangka, sebagai Kapolri definitif.
Dalam beberapa hal, konflik ini menyisakan beberapa fakta
politik yang menarik untuk dicermati. Pertama, keinginan mitra koalisi
Presiden Jokowi untuk terus mendesak agar BG dilantik sebagai Kapolri
menimbulkan pertanyaan tersendiri di tengah status hukumnya sebagai tersangka
dan upaya penghancuran KPK. Pada bagian lain, penggantian tidak wajar di
lingkup internal Polri berkaitan dengan posisi Bareskrim yang menguatkan
dugaan hadirnya intervensi demi mengamankan sejumlah kasus hukum, setelah
posisi Jaksa Agung diisi oleh elite KIH.
Kedua, publik menyaksikan secara masif telah terjadi
penghancuran KPK lewat penangkapan Bambang Widjojanto, yang diikuti oleh
laporan para Komisioner soal kasus-kasus lama sebelum mereka duduk di KPK.
Kondisi ini amat disayangkan di tengah upaya publik menggaungkan
pemberantasan korupsi di segala lini. Sebab, apa yang dialami para komisioner
ini sudah masuk ranah kriminalisasi karena baik secara hukum maupun etika,
mereka sebenarnya tak bermasalah.
Ketiga, problem yang terjadi di antara KPK dan Polri
seharusnya bisa dibatasi bila secara personal BG mengikuti langkah BW, yakni
mengundurkan diri. Sebab, status hukum yang disandang keduanya sebagai
tersangka dapat menghalangi penegakan hukum secara maksimal oleh aparat
terkait. Persoalan etika politik mengemuka di tengah masalah ini karena telah
menyebabkan keresahan publik dan kegaduhan politik secara terus-menerus.
Etika politik dari para pihak yang berkonflik menjadi
penting terwujud karena bertujuan menerangkan kebaikan dan keburukan (Telchman, 1998). Konteks kebaikan
dalam politik sesungguhnya hadir dalam ruang publik, sehingga standar baik
dalam politik sudah sepatutnya adalah publik, bukan individu atau kepentingan
kelompok tertentu.
Publik semakin eksplisit memahami bahwa konflik yang
terjadi di antara KPK-Polri bukan sekadar masalah hukum. Sebab, dampak
politik yang ditimbulkan setelah presiden memutuskan solusi atas masalah ini
cukup besar. Bila diulas lebih jauh, problem ini menciptakan tiga momentum
strategis bagi Presiden Jokowi dan mitra politiknya di parlemen.
Pertama, Presiden Jokowi dapat menjadikan masalah ini
sebagai titik balik untuk menjadikan konstitusi dan kehendak rakyat sebagai
panglima dalam menjalankan pemerintahan. Sebab, setelah 100 hari bekerja,
berbagai capaian signifikan yang diraih oleh pemerintah tergerus akibat
ketidakjelasan posisi dan sikap presiden dalam pengangkatan Kapolri Baru.
Kedua, bagi KIH, pengangkatan BG menjadi harga mati,
sementara Koalisi Merah Putih (KMP) memandang hal ini menjadi hak preogatif
Presiden, sehingga apa pun keputusannya akan didukung penuh. Tentu bingkai
terbaru ini bisa kembali berubah (dinamis), tapi di sisi lain mematahkan
argumen banyak pihak soal sikap kedua kubu yang dianggap akan permanen
mendukung atau menolak kebijakan pemerintah.
Karena itu, Presiden harus menempatkan dan memanfaatkan
realitas ini, sehingga keputusan apa pun yang diambil memang menjadi solusi
bagi semua (win-win solution).
Meski demikian, sebagai pihak yang mendukung pencalonan BG, KIH akan berada
dalam posisi kalah karena telah dianggap setara dengan KMP serta berpeluang
berpindah haluan, minimal sebagai mitra kritis atau bahkan menjadi oposisi,
sebagaimana lakon yang dimainkan PDIP selama Presiden SBY berkuasa.
Ketiga, ketegasan presiden dalam kasus Cicak-Buaya Jilid
III ini dapat menjadi sinyal bahwa komitmen antikorupsi pemerintah tak perlu
diragukan. Kondisi ini, bagi PDIP, sangat berbahaya karena dampaknya sudah
pernah dirasakan oleh Demokrat pada Pemilu 2014, dengan raihan suara
elektoral yang terdegradasi cukup dalam setelah banyak anggotanya yang
terjerat kasus korupsi.
Meminjam istilah Goffman, publik harus berhati-hati (read between the lines) serta tidak
terpaku pada retorika, manuver, dan alur cerita di panggung depan (front) karena semua perilaku elite
tersebut sudah dilengkapi dengan settingkepentingan dan lakon kekuasaan yang
dominan dibanding aspirasi rakyat sebagai mandat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar