Dokter
Sekarang Bagus, kok, Gus
Moh Mahfud MD ; Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi
|
JAWA
POS, 13 Februari 2015
MASIH sangat pagi ketika Senin 9 Februari 2015 saya mendapat
pesan pendek (SMS) dari pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, KH
Salahudddin Wahid alis Gus Sholah. Gus Sholah menanyakan apa benar saya baru
melakukan pengobatan atau terapi stem cell di Rumah Sakit dr Soetomo
Surabaya. Rupanya, Gus Solah mendapat cerita dari istrinya, Bu Nyai Farida,
bahwa saya mengambil terapi itu. Sehabis menguji calon doktor di Undip pada
Kamis 4 Pebruari lalu, saya memang bertemu dengan Bu Farida di lounge Garuda
Bandara A. Yani Semarang. Saya bercerita bahwa saya akan ke Surabaya untuk
pengobatan stem cell di RS dr Soetomo.
Melalui jawab-jinawab dengan SMS saya ceritakan kepada Gus Solah
bahwa benar saya baru saja melakukan terapi stem cell. Yakni, semacam
peremajaan organ-organ tubuh bagian dalam melalui sel punca dari tubuh
sendiri. Caranya? Bagian luar perut saya dioperasi kecil untuk diambil
dagingnya sebesar biji jagung, kemudian daging itu dikembangbiakkan selnya di
inkubator selama dua minggu, setelah itu disuntikkan ke tubuh melalui dua
tahap. Mula-mula disuntikkan melalui infus biasa dari punggung telapak tangan
dan dua minggu kermudian dimasukkan melalui kateter di pangkal paha. Selesai.
Hasilnya? Minimal sampai sekarang lumayan bagus. Misalnya, kadar
gula darah tidak lagi fluktuatif dan selalu dalam rentang normal. Teman-teman
pun mengatakan bahwa saya tampak lebih segar dan energik. ’’Sakit atau tidak
saat antum dioperasi untuk diambil daging di perut?’’ tanya Gus Sholah
melalui SMS lanjutan. Saya tertawa mendapat pertanyaan itu. Rupanya, tanpa
sadar, Gus Sholah masih membayangkan bahwa operasi itu sakit dan menakutkan
seperti tiga atau empat dekade yang lalu.
Saya teringat ketika, pada 1964, saya disunat (dikhitan) di
rumah sakit umum Pamekasan. Wow, sakitnya bukan main. Sakitnya persis yang
digambarkan Anrdrea Hirata dalam novel tetraloginya Laskar Pelangi. Saat
ujung daging ’’anu’’ dipotong juru supit, memang sakitnya bisa ditahan karena
dibius secara lokal. Tetapi, sekitar satu jam sesudah itu sakitnya luar biasa
dan saya menangis terus-menerus di mobil angkutan umum yang sesak dan apek
dari kota Pamekasan ke Kecamatan Waru, tempat tinggal keluarga kami.
Rasa sakit itu masih terasa sampai besoknya dan baru hilang
setelah kira-kira satu minggu. Pada 1960-an itu, jangankan dioperasi, mau
disuntik biasa di lengan atau di pinggang saja sudah takut. Sebab, biasanya
di bekas suntikan menjadi bengkak dan ngilu sampai beberapa hari. Itulah
sebabnya, orang-orang pada zaman itu kalau akan disuntik seperti akan
disembelih saja, kadang harus dipegangi oleh beberapa orang. Karena trauma
suntikan, paman saya Abdul Hamid, kalau sakit, lari saat diberi tahu akan
disuntik. Saking takutnya, dia bisa langsung sembuh sendiri kalau dibilang
akan disuntik.
’’Tidak sakit, Gus. Tak terasa apa-apa,’’ tulis saya kepada Gus
Sholah.
Sekarang ini sudah serbacanggih. Kita hanya disuruh tiduran,
kemudian dibius lokal dengan menggunakan obat semprot atau obat gosok.
Setelah itu, operasi dilakukan dan kita hanya merasa disentuh-sentuh dengan
ringan, tahu-tahu sudah selesai. Begitu juga, saat diinjeksi melalui kateter,
tidak terasa sakit sama sekali. Yang lebih asyik lagi, dokter-dokter itu
melakukan operasi seperti mengerjakan hal-hal biasa saja. Mereka melakukan
operasi dan terapi layaknya orang kantoran membaca atau menulis di meja
kerja. Santai dan tidak menegangkan sama sekali.
Dokter Purwati, dokter Sonny, dokter Hartono yang menangani saya
adalah dokter-dokter yang relatif muda, professional, dan penuh empati.
Mereka juga adalah dosen di Fakultas Kedokteran Unair. Saat mengoperasi dan
memasukkan sel ke tubuh dengan menggunakan kateter, dokter-dokter tesebut berbicara
biasa seperti sedang duduk-duduk di ruang tamu, kadang bergurau satu sama
lain. Saya pun diajak berbicara banyak hal, tentang kesibukan, tentang Madura
sebagai kampung halaman, tentang gosip artis, tentang kuliner, dan lain-lain.
Tahu-tahu, ’’Selesai, Prof. Tiduran saja dulu selama empat jam, setelah itu
boleh pulang,’’ kata dokter Purwati.
Ilmu kedokteran dan berbagai teknologinya sekarang ini maju
pesat. Dokter-dokter kita pun sudah mampu menguasai dan menerapkan itu dengan
baik. Saya sudah pernah mengunjungi beberapa rumah sakit yang, konon, maju
seperti klinik dr Block di Linggeris Jerman, RS Mahkota di Malaka, dan Mount
Elizabeth di Singapura. Dari sudut keahlian dan profesionalitas,
dokter-dokter kita tidak kalah sama sekali dari dokter-dokter mereka. Malah,
Indonesia punya kelebihan karena dokter-dokternya penuh empati dan melayani
kita dengan budaya Indonesia yang hangat dan bersahabat.
Di RSPAD Jakarta, misalnya, saya kenal seorang dokter muda yang
ahli di bidang radiologi intervensi. Yakni, dokter Terawan yang bisa
menangani penangkalan dan pengobatanstroke dengan sangat baik. Saat melakukan
operasi, dokter Terawan biasanya sambil bersenandung mengikuti lagu-lagu
klasik yang, tampaknya, sengaja disetel untuk menghilangkan ketegangan pasien.
Dokter itu mengoperasi sambil mengajak pasien ngobrol-ngobrol ringan dan
tahu-tahu, ’’Izin, sudah selesai, nDan,’’ katanya.
Jadi, buat apa bergenit-genit berobat ke luar negeri yang jauh
dan mahal? Ilmu kedokteran dan teknologinya sudah dikuasai oleh dokter-dokter
kita sendiri. Pemerintah tinggal mempermudah pengadaan perangkat
teknologinya. ’’Tak sakit, kok, Gus. Gus Sholah ke sana saja. Dokter-dokter
kita sudah oke.’’ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar