Dilema
BUMN
Tanri Abeng ; Mantan
Menteri Negara Pemberdayaan BUMN
|
KOMPAS,
02 Februari 2015
PADA opini berjudul ”Ihwal Kerugian Negara” (Kompas,
15/1), Hikmahanto Juwana mengupas pertanyaan besar: apakah kerugian negara
selalu berkorelasi dengan korupsi? Satu dari empat jenis kerugian negara yang
dinyatakan dalam tulisan tersebut adalah yang terjadi di lembaga/badan yang
menggunakan dana APBN untuk pendiriannya atau sebagian dana operasionalnya,
seperti BUMN.
Disebutkan oleh Hikmahanto, jika ada kerugian negara yang
diakibatkan kebijakan atau keputusan, evaluasi bisa dilakukan. Hasil evaluasi
dapat menunjukkan apakah keputusan benar atau salah. Hanya, evaluasi harus
menggunakan konteks dan suasana pada saat kebijakan atau keputusan diambil.
Dalam konteks ini, kebijakan atau keputusan apa pun, termasuk yang salah
sekalipun, tetapi yang dilandasi itikad baik, harus dihormati. Sanksi tak
dapat diberikan mengingat ini merupakan judgement.
Begitu pun di BUMN yang harus melakukan investasi.
Investasi belum tentu untung, tetapi dapat juga rugi. Rugi
dan untung adalah dua sisi mata uang. Kerugian tak mungkin diberi sanksi
karena didasarkan kalkulasi bisnis (business
judgement). Akibat ketakutan dan salah paham akan makna kerugian negara,
Hikmahanto menyatakan itu membuat pengambil keputusan ekstra hati-hati,
bahkan cenderung tak ambil keputusan. Sikap mereka, lebih baik negara tak
selamat, sementara saya (pejabat) selamat. Ini karena jika negara selamat,
pejabat itu khawatir masuk penjara. Pemimpin lembaga/badan yang didirikan
dengan APBN punya sikap sama. Akibatnya, lembaga/badan, khususnya BUMN, tak
selincah perusahaan swasta sejenis.
”Business Judgment Rule”
Tak bisa terbantahkan, BUMN punya peran strategis sebagai
pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan swasta besar, dan turut
membantu pengembangan usaha kecil/koperasi.
Pelaksanaan peran BUMN ini diwujudkan dalam kegiatan usaha
pada hampir semua sektor perekonomian, seperti pertanian, perikanan,
perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan
telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta
konstruksi. BUMN juga salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan
dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, dan hasil privatisasi. Dengan
kata lain, BUMN pada dasarnya sangat fundamental bagi sistem ekonomi kita.
Mau tak mau BUMN secara terus-menerus harus mengembangkan dan dikembangkan,
bukan saja demi kelangsungan hidupnya, melainkan juga bagi keberlangsungan
sistem ekonomi itu sendiri dan keberlangsungan negara Indonesia.
Pengalaman saya sebagai Menteri Negara Pemberdayaan BUMN
pertama dan berdasarkan data yang ada, kalaupun BUMN kita telah memberikan
kontribusi ekonomi dan sosial yang signifikan, benturan penerapan politik dan
birokrasi mengakibatkan kinerja BUMN tertinggal jauh dari beberapa negara
lain.
Tahun 2013, total keuntungan neto 141 BUMN lebih dari 15
miliar dollar AS. Bandingkan dengan Petronas yang menyumbang 40 persen dari
APBN Malaysia dengan keuntungan neto 20 miliar dollar AS atau BUMN Tiongkok
dengan keuntungan neto 398 miliar dollar AS pada 2013. Direksi BUMN Indonesia
tidak bisa lincah dalam melakukan manuver bisnis melalui merger dan akuisisi
serta berinvestasi di mancanegara karena mereka tak terproteksi dari langkah-langkah
korporasi.
Harus diakui, saat ini (banyak) direksi BUMN dalam
pengelolaan perusahaan sering dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu
pihak, direksi dituntut memperoleh pendapatan signifikan (revenue) dan pertumbuhan (growth). Namun, di lain pihak, dihadapkan
pada situasi ”gamang” dalam mengambil keputusan bisnis karena adanya tumpang
tindih kaidah hukum yang berada pada ranah hukum perdata dan hukum bisnis
khususnya.
Ada banyak aturan yang melingkupinya, misalnya UU PT (UU
No 40/2007), UU Pasar Modal (UU No 8/1995), UU BUMN (UU No 19/2003), dan UU
Perbankan (UU No 7/1992 jo UU No 10/1998). Kondisi ini menjadi lebih blunder
jika bersinggungan dengan kaidah hukum publik, antara lain UU Keuangan Negara
(UU No 17/2003), UU Perbendaharaan Negara (UU No 1/2004), UU Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU No 15/2004) jo UU BPK (UU
No 15/2006), serta UU Tipikor (UU No 31/1999). Euforia pemberantasan korupsi
saat ini sering kali menempatkan direksi pada situasi dan sikap gamang.
Guna keluar dari kegamangan itu, Prasetio melalui bukunya,
Dilema BUMN: Benturan Penerapan Business
Judgment Rule (BJR) dalam Keputusan Direksi BUMN, membuat analisis
menarik sebagai solusi. Solusi itu adalah mempergunakan doktrin Business Judgment Rule (BJR) sebagai
acuan bagi direksi BUMN dalam membuat perlindungan hukum kepada dirinya dalam
mengambil keputusan bisnis yang dilandasi prinsip prudent, utmost good faith, responsibility, accountability.
Perlu harmonisasi
Dalam hukum bisnis, BJR pada hakikatnya adalah perlindungan
hukum bagi direktur dan jajarannya (termasuk BUMN) dari pertanggungjawaban
atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi yang mengakibatkan
kerugian bagi perusahaan. Selama kebijakan atau keputusan bisnis atau
transaksi bisnis dilakukan dengan itikad baik (good faith, tegoedetrouw), penuh kehati-hatian (prudent), sejalan
dengan tanggung jawab dan wewenangnya (accountable
atau responsible,
verantwoordelijkheid), kerugian perusahaan akan menjadi kerugian bisnis
yang akan ditanggung oleh perusahaan. Bukan oleh direksi.
Sayangnya, fenomena yang berkembang, (sebagian) aparat
penegak hukum belum menjadikan doktrin BJR sebagai pertimbangan dalam
mengambil keputusan hukum. Mereka belum membedakan dua asas penting dalam
sistem hukum Indonesia menyangkut kedudukan negara, terutama terhadap status
kekayaan negara dalam suatu perseroan. Apakah masuk dalam lingkungan hukum
publik atau hukum privat, lebih khusus lagi menyangkut perseroan yang telah
menjadi perusahaan publik (sahamnya dimiliki oleh banyak pihak dan
diperdagangkan di pasar modal atau bursa efek).
Ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan ini
menimbulkan ketidakpastian hukum dan risiko bagi para direksi persero untuk
mengambil keputusan bisnis karena dalam praktiknya doktrin BJR cenderung
diabaikan. Pada kenyataannya, dari sejumlah kasus yang muncul, kita
menyaksikan direksi BUMN dapat saja setiap saat dituduh merugikan negara
kendati keputusan yang diambilnya itu sudah berdasarkan prinsip-prinsip
bisnis rasional dan berpijak pada tata kelola yang baik.
Pesan penting yang ingin disampaikan dari BJR adalah
perlunya dilakukan harmonisasi terhadap undang-undang dan sejumlah doktrin
yang melindungi para profesional BUMN dalam menjalankan tugas dan perannya.
Pemerintah, sebagai pemegang saham BUMN, harus menjadi yang terdepan dalam
melakukan perlindungan atas direksi apabila ia telah melakukan pengambilan
keputusan berdasarkan pada prinsip kehati-hatian, dan laporan kinerjanya
sudah disahkan dalam RUPS.
Sebaliknya, jika pemegang saham menilai direksi tak
menjalankan fungsi dengan baik dan nyata-nyata menerima/memberikan suap,
pemerintah punya kewenangan sangat luas untuk menghukum. Bahkan, bukan hanya
pengadilan, negara sebagai pemegang saham dapat memiskinkan para direksi,
melakukan pemecatan dengan tak hormat, menuntut ganti rugi, dan menyita aset
kekayaan pribadinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar