Dark Justice
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi
Bisnis;
Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen
di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 26 Februari 2015
ANDA
mungkin masih ingat saat Hubert A. Wenas memodifikasi mobilnya sehingga terlihat
perkasa. Mobil tersebut dinamai Ichiro. Setelah itu Hubert menertibkan secara
paksa para pengendara yang tidak tertib berlalu lintas. Menurut media,
bentuknya bisa teguran, cacian, serempet, hingga menabrakkannya. Kita bisa
menyaksikan rekamannya di YouTube.
Apa
yang dilakukan Hubert mengingatkan saya akan sebuah serial TV yang pernah
populer pada awal era 1990-an, Dark Justice. Ini tentang sosok penegak hukum
yang putus asa karena aturan hukum formal tak mampu menjaring para pelaku
kejahatan. Maklum, para pelaku kejahatan itu kebanyakan orang berduit.
Sehingga mereka mampu membayar para pengacara yang dengan lihainya
membolak-balik logika hukum.
Sang
hakim, yang menjadi tokoh utama film Dark Justice tersebut, geram. Sebagai
hakim, dia tahu belaka mana yang salah dan yang benar. Tapi, pengadilan di
Amerika Serikat –tempat film itu diproduksi– memakai sistem juri. Salah
tidaknya seorang terdakwa ditentukan juri, bukan hakim.
Maka,
ketika seorang terdakwa dinyatakan bebas, meski hakim tahu dia bersalah,
bekerjalah dark justice tersebut.
Malam hari sang tokoh melepaskan baju hakimnya dan memulai aksinya sebagai
penegak keadilan. Dia menghukum terdakwa itu dengan caranya sendiri.
Aksi Menjengkelkan
Kita,
kalau boleh, sebetulnya ingin juga seperti Hubert. Hanya mungkin tak punya
nyali untuk bertindak seberani dia. Cobalah siapa yang tidak gemas dengan
terjadinya pembiaran terhadap perilaku-perilaku semacam ini.
Contraflow. Siapa di antara Anda yang belum
pernah melihatnya? Bahkan, di jalan-jalan protokol saya kerap menemukan para
pengendara sepeda motor yang dengan seenaknya melaju melawan arus. Beberapa
kali saya lihat ada beberapa petugas kepolisian di kejauhan sana, tetapi
mereka hanya berdiam diri. Hanya menatap dari kejauhan dan tidak melakukan
tindakan apa pun.
Dengan
pembiaran semacam ini, saya tidak heran kalau pelaku contraflow kian hari kian banyak. Bahkan, yang celaka, sebagian
dari mereka melakukannya dengan memboncengkan anak dan istrinya. Alhasil,
sejak kecil anak-anak kita sudah mewarisi teladan yang buruk dari orang
tuanya. Lalu apa jadinya dengan nasib bangsa ini kalau sejak dini anak-anak
kita terbiasa menyaksikan pelanggaran hukum seperti itu?
Merasa Lebih Penting.
Di
jalan raya, saat macet, saya juga kerap menyaksikan kendaraan dengan sirene
yang meraung-raung dan lampu LED strobo yang biasa dipakai polisi. Mulanya
saya mengira itu ambulans atau iring-iringan mobil jenazah. Rupanya bukan.
Mobil itu milik sebuah organisasi massa keagamaan.
Kita
semua tentu geram dengan perilaku tersebut. Apa hak mereka untuk meminta kita
menepi? Perilaku merasa lebih dari yang lain seperti ini bukan hanya milik
organisasi massa, tapi juga para pejabat negara kita. Anda sering melihatnya,
bukan? Di saat kemacetan mendera, dipaksa menepi oleh petugas voorijder agar
mobil para tuan-tuan pejabat tadi bisa lewat. Bukan hanya di jalan-jalan
raya, tetapi juga di jalan tol.
Menjengkelkan
sekali. Padahal, kitalah yang membayar gaji mereka dengan uang pajak yang
kita setorkan setiap tahun. Jadi, sebenarnya siapa tuan dan siapa majikan
sih!
Mengapa
kalau sudah tahu jalan raya macet, para pejabat itu tidak naik sepeda motor
saja? Misalnya dengan meminta diboncengkan petugas voorijder. Memangnya
mereka bakal turun gengsi kalau naik sepeda motor? Atau takut kotor kena asap
dan debu? Juga takut basah oleh air hujan?
Cobalah
sekarang bagaimana kita bisa menjelaskan kepada anak-anak kita perilaku yang
semacam ini. Tengoklah bagaimana iring-iringan pengawal jenazah yang membawa
bendera kuning bersepeda motor meniru cara pengawal menutup jalur sesuka
perut mereka. Mungkin kita akan mengatakan kepada anak kita begini: Oh,
mereka boleh melanggar aturan, Nak. Mereka cuma meniru cara pejabat negara.
Sweeping.
Ah,
saya tak tertarik untuk mengulasnya lebih jauh. Kita sudah tahu siapa
pelakunya. Kita bisa menduga-duga motif di baliknya. Kita juga bisa
menduga-duga mengapa pihak berwenang melakukan aksi pembiaran.
Lebih Serius
Silakan
kalau Anda mau memperpanjang lagi daftarnya. Misalnya, ada angkutan umum yang
parkir dan mengangkut penumpang seenaknya. Mobil-mobil kontainer atau
truk-truk besar dilarang melintas di jalan tol pada jam-jam tertentu karena
bisa menimbulkan kemacetan. Kenyataannya?
Dengan
beberapa contoh di atas, saya bisa memahami mengapa Hubert begitu geram
kepada para pelanggar lalu lintas –meski saya tidak sepenuhnya menyetujui
tindakannya. Maka, supaya jangan muncul ”Hubert-Hubert” yang lain, ayolah Pak
Polisi, lebih seriuslah dalam menegakkan aturan. Dan itu harus dimulai dari
dalam kepolisian sendiri. Kalau polisi bersalah, ya jangan malah dibelain.
Biarkan hukum berdiri tegak, maka cinta kasih akan tumbuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar