Dari
HMI untuk Indonesia
Firman Firdhousi ; Fungsionaris
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
(PB HMI) 2013-2015
|
REPUBLIKA,
06 Februari 2015
Tepat pada 5 Februari 2015, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
berusia 68 tahun. Usia yang bila dijadikan notasi usia, cukup disebut dewasa
dan penting untuk menjadi wahana refleksi HMI dalam menyusun strategi
fungsinya sebagai organisasi pengaderan dan perannya sebagai organisasi
perjuangan.
Hiruk-pikuk sosial politik dan makin gencarnya arus globalisasi
menghadirkan tantangan serius bagi HMI. HMI perlu meneguhkan spirit
perjuangan yang telah ditanamkan para pendiri serta menciptakan inovasi baru
dalam pola pergerakannya. Ini tak lain agar HMI bisa terus menjawab
problematika zaman dengan kaidah-kaidah kemaslahatan yang kompatibel.
Membaca jejak HMI sekarang ini tak bisa dilepaskan dari
kota kelahirannya, Yogyakarta. Di Yogyakarta inilah jejak HMI terpahat, baik
dalam artefak fisik maupun nilai. Jejak-jejak itu terpantul seperti di daerah
sebelah barat SMP Negeri II Yogyakarta, Gedung Sekolah Tinggi Islam (STI) di
Jalan P Senopati 30 Yogyakarta, tempat kelahiran HMI.
Daerah itu menjadi tempat rapat para pendiri HMI.
Kemudian, di Gedung Sekolah Tinggi Islam (STI), di sela-sela jam perkuliahan,
berdiri di depan kelas mahasiswa bernama Lafran Pane, lantas memimpin rapat
yang dalam prakatanya mengatakan, "Hari ini adalah rapat pembentukan
organisasi mahasiswa Islam bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)."
Setelah menjalani hambatan yang cukup berat selama tiga
bulan, detik-detik kelahiran HMI telah datang pada pertemuan bersejarah itu.
Dengan peristiwa bersejarah 5 Februari 1947 itu, HMI telah menjadi kenyataan,
berdiri tegak di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang berjuang
memanggul senjata mengusir penjajah Belanda, mempertahankan Proklamasi 17
Agustus 1945.
Terdapat dua peristiwa penting yang mengiringi kelahiran
HMI pada waktu itu. Pertama, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang
ditandai dengan tradisi lokal masyarakat Yogyakarta "Perayaan
Sekaten". Kedua, pada 5 Februari 1947 itu juga, kabinet telah
melangsungkan sidangnya di Gedung Agung Yogyakarta membicarakan Perjanjian
Linggarjati, menghadapi sidang KNIP Malang, dan pembahasan anggaran belanja
dan kemakmuran.
Jika dihubungkan dengan kedua peristiwa itu, keputusan
dalam Sidang Kabinet di Gedung Agung, Jalan Malioboro Yogyakarta pada 5
Februari 1947 dan apa yang diputuskan para mahasiswa di Jalan P Senopati 30,
yaitu berdirinya HMI pada tanggal yang sama. Dalam tujuan HMI yang pertama
disebutkan, "Mempertahankan Negara RI dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia" adalah bertujuan mempertahankan NKRI, sehingga nyata bahwa
HMI selalu ada dalam tarikan spirit kejuangan yang sama guna mempertahankan
dan menegakkan dari kehancuran Indonesia menuju Indonesia adil makmur.
Masa-masa HMI di Yogyakarta merupakan saat generasi
perintis sehingga mewariskan jejak agung ihwal prinsip, visi, misi, dan gerak
perjuangan. Tak ayal kalau banyak kader berimajinasi akan kehadiraan para
tokoh perintis di berbagai forum organisasi HMI, baik formal maupun informal.
Begitu HMI berdiri, berbagai persoalan bangsa telah
menanti, yaitu hidup matinya Republik Indonesia. Sejak didirikan, HMI sudah
menunjukkan visi kebangsaannya dalam menjaga dan menegakkan NKRI. Ini
dibuktikan tidak hanya melalui tujuan HMI yang tertera dalam Anggaran Dasar
(AD) melainkan juga perjuangan HMI memanggul senjata bersama pemerintah,
tentara, dan rakyat melawan penjajah.
Setelah ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati, situasi
Indonesia berkecamuk kembali. Belanda dengan sengaja menginjak-injak
kesepakatan Linggarjati, menyerbu berbagai tempat seraya menjalankan politik
devide et impera. Di tengah situasi tegang dan genting inilah, HMI tidak
tinggal diam. HMI bersama pemerintah, tentara, dan rakyat berjihad menentang
agresi itu dengan perang gerilya sampai titik darah penghabisan. Karena di
mata HMI pascakemerdekaan, Indonesia harus tegak, berdiri sekuat tenaga,
walaupun nyawa taruhannya.
Pascareformasi bergulir pada 1998, kala gemuruh negara
agama sedang gencar, HMI tetap tampil untuk menjaga dan menegakkan NKRI. Itu
manifestasi komitmen keindonesiaan yang dimiliki HMI. HMI tetap setia dengan
NKRI, menolak mendirikan negara agama dan meneguhkan pilar berbangsa dan
bernegara: NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Meskipun HMI merupakan organisasi yang menjadikan Islam
sebagai sumber motivasi, nilai dan inspirasi dalam ideologi pergerakannya,
paradigma keislaman HMI berintegrasi dengan spirit keindonesiaan sehingga
tidak ada dikotomi esensial antara nilai ajaran keislaman HMI dan ideologi
Pancasila dalam bingkai NKRI. Komitmen itu sudah dicontohkan HMI tatkala
gonjang-ganjing penerapan asas tunggal Pancasila pada 1985. HMI akhirnya
setuju bahwa Pancasila sebagai asas ideologis yang tidak bertentangan dengan
Islam. Sejak itulah HMI terus bersenyawa dengan NKRI dalam pantulan gagasan
dan pemikiran cahaya keikhlasan berjuang untuk Indonesia tanpa mendebat
kembali relasi antara agama (Islam) dan negara.
Persoalan bahwa negara Indonesia yang masyarakatnya plural
--baik etnis, agama, maupun budaya-- sangat rentan konflik karena memiliki
banyak celah yang memungkinkan disusupi maksud jahat. Maka dari itu, semua
elemen sosial, agama, dan negara harus bekerja sama menjaga dan menyelamatkannya.
Mengingat kian masifnya fenomena gerakan radikalisme agama
pada era global ini perlu diantisipasi lebih terorganisasi. Sangatlah penting
bagi HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua dan terbesar di Indonesia
untuk mengambil peran sentral meredam gerakan radikalisme agama yang semakin
mengkhawatirkan. Paradigma keislaman HMI yang mengedepankan Islam rahmatan
lil ‘alamin --Islam yang moderat, toleran, dan antikekerasan-- bisa dijadikan
referensi dalam menetralisasi pemahaman atau penafsiran sempit dan dangkal
tentang Islam.
Adanya sekelompok orang yang ingin mendirikan khilafah
Islamiyah di Indonesia merupakan ancaman serius. Sebab, gerakan radikalisme
agama merupakan ideologi yang penanggulangannya tidak bisa hanya menangkap
pelaku an sich, tapi proses internalisasi nilai-nilai universalitas agama
Islam --Islam yang mengedepankan akhlakul
karimah, wisdom, kearifan menjauhi kekerasan dan bahkan antikekerasan--
harus terus disosialisasikan agar masyarakat terhindar dari pemahaman dan
perilaku keagamaan yang mencoreng sendi-sendi ajaran luhur agama Islam.
Gejala penyelewengan terhadap penafsiran agama bukan hanya
tanggung jawab pemerintah, tapi juga tugas kesejarahan HMI yang
meluruskannya. Bagi HMI, Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika
adalah keputusan final segenap warga bangsa Indonesia. Dan, apa pun gerakan
yang mengatasnamakan agama, lebih-lebih Islam, jelas bertentangan dengan
esensi ajaran agama.
Semoga di hari kelahirannya ini, HMI tetap istiqamah berkiprah menjadi katalisator
perubahan untuk kemaslahatan umat dan bangsa sehingga HMI dapat terus
mengayuh sacree mission-nya dalam
memandu tugas kebangsaan dan keumatan. Dirgahayu
Ke-68 HMI! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar