Bung
Karno Menghadapi Korupsi
Asvi Warman Adam ; Visiting Research Scholar pada CSEAS
Kyoto University
|
KOMPAS,
10 Februari 2015
Presiden Soekarno tidak mewariskan harta benda berlimpah
tatkala ia wafat pada 1970. Ketika ia membangun Stadion Senayan, yang ia
pikirkan adalah prestasi olahraga bangsa tanpa pernah mengharapkan ada
persentase proyek yang mengalir ke kantongnya. Bahkan, Patung Dirgantara yang dibuat pada masa peralihan kekuasaan pada
1965 dibiayai sebagian dengan uang pribadi Soekarno.
Majalah Time tidak pernah mengulas tentang kekayaannya dan
keluarga. Ketika meninggalkan Istana Merdeka pada 1967, ia hanya membawa
pakaian seadanya. Memang ada gratifikasi yang mungkin belum diatur waktu itu,
seperti jam Rolex, yang ditinggalkannya begitu saja di istana.
Korupsi dan individu
Setelah pemerintahan kembali ke Jakarta (1950-1965),
terdapat dua fase penegakan hukum, khususnya korupsi, yang berbeda. Pertama,
ketika korupsi dianggap sebagai kejahatan individual walaupun dilakukan tokoh
partai. Kedua, pemberantasan korupsi dikaitkan dengan keberadaan kekuatan
politik.
Pada tahap pertama, ketika Jaksa Agung dijabat Soeprapto (1950-1959),
hukum benar-benar ditegakkan. Soeprapto, yang lahir di Trenggalek, Kediri, 27
Maret 1897, bukan kader partai, oleh sebab itu ia tidak mengaitkan
kepentingan partai dengan suatu keputusan pengadilan.
Bukan hanya tokoh nasionalis seperti Roeslan Abdulgani
yang diperiksa, juga kalangan lain.
Dari kelompok Islam tersua KH Masykur (mantan Menteri Agama dalam kasus
dugaan korupsi kain kafan dari Jepang), Letnan Jusuf Hasyim (dugaan membantu
DI/ TII), Kasman Singodimejo (kasus penghasutan di depan umum).
Dari golongan kiri tercatat kasus DN Aidit (pencemaran
nama baik Bung Hatta), Sidik Kertapati (dugaan makar). Dari partai sosialis
adalah mantan Menteri Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo diperiksa karena kasus
pencemaran nama baik.
Dari etnisitas Tionghoa terdapat Lie Kiat Teng (mantan
Menteri Kesehatan) dan Ong Eng Die (mantan Menteri Keuangan); keduanya dalam
kasus dugaan penyalahgunaan jabatan.
Tokoh daerah yang diadili adalah Sultan Hamid Algadrie II
(dalam kasus makar yang melibatkan Westerling). Wartawan senior yang ketika
itu pernah diperiksa pengadilan adalah Asa Bafagih, Mochtar Lubis, BM Diah,
dan Naibaho (Pemimpin Redaksi Harian Rakyat). Orang asing yang diadili adalah
Schmidt dan Jungschlager.
Yang patut dicatat adalah kasus Roeslan Abdulgani, yang
pada 16 April 1957 didenda Rp 5.000 karena terbukti ”lalai” membawa uang
titipan seorang pengusaha sebesar 11.000 dollar AS ke luar negeri. Sebelum
kasus itu disidangkan, Soeprapto mendapat nota dari Perdana Menteri Ali
Satroamidjojo agar kasus ini dipetieskan.
Soeprapto berkeberatan. Dalam pertemuan kabinet terbatas,
Ali mengulang permintaannya agar Soeprapto mendeponir kasus ini. Alasannya, pemerintah sedang
menghadapi berbagai persoalan besar seperti pemberontakan di Sumatera.
Pengusutan kasus pelanggaran kecil dari seorang tokoh penting partai besar
dan seorang menteri luar negeri hanya akan menambah beban pemerintah.
Soeprapto menegaskan bahwa semua masalah dalam negeri adalah tanggung jawab
pemerintah dan tidak ada hubungannya dengan kasus Roeslan.
Sekalipun Ali dan Soeprapto sama-sama bersikap koersif
dalam rapat kabinet, seusai rapat sikap keras itu hilang. Soeprapto menaruh
hormat kepada Ali dan mengobrol tentang soal lain seperti tidak pernah
terjadi apa-apa.
Sehabis sidang kabinet itu, Soeprapto bertemu dengan
Presiden Soekarno. Presiden juga menyarankan untuk menghentikan perkara ini.
Kata Soekarno, Roeslan itu jujur dan baik dan sekalipun didenda cuma 50 sen,
itu akan merusak nama baiknya. Soeprapto menjawab bahwa dia lebih memperhatikan kepentingan umum
daripada kepentingan seorang pejabat. Akhirnya Roeslan divonis membayar denda
Rp. 5.000.
Roeslan Abdulgani adalah seorang tokoh besar Indonesia.
Seorang pahlawan yang telah mengorbankan beberapa jari tangannya ketika
terjadi aksi militer Belanda pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta.
Roeslan dalam sidang pengadilan dengan tegas mengatakan
bahwa ia tidak tahu bahwa amplop yang dititipi itu berisi uang, padahal waktu
itu ada larangan membawa dollar ke luar negeri dalam jumlah banyak. Akhirnya
denda pengadilan itu dibayar oleh panitia rehabilitasi nama baik Roeslan yang
mengumpulkan uang dari masyarakat yang bersimpati kepada Cak Roeslan.
Korupsi dan partai politik
Pada era demokrasi liberal (1950-1959) pemerintahan silih
berganti, tetapi masyarakat percaya, pengadilan memberikan keputusan hukum
yang terbaik. Baru setelah SOB, keadaan darurat perang, ditetapkan oleh pihak
militer pada 1957, pengadilan sipil secara berangsur-angsur kehilangan
otoritas.
Pada 1957, pemerintahan Soekarno membentuk badan
pemberantasan korupsi yang bernama Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Jenderal Abdul
Harris Nasution. Pada 1963, Nasution melakukan Operasi Budhi yang mengusut
perusahaan negara dan lembaga lainnya yang rawan korupsi, termasuk BUMN hasil
nasionalisasi yang menempatkan perwira militer sebagai pemimpinnya.
Dalam operasi itu, Mayor Jenderal Soeharto (kemudian
menjadi presiden kedua RI) termasuk yang diperiksa. Ketika itu Soeharto
menjadi Pangdam Diponegoro yang akhirnya ”disekolahkan” ke Seskoad. Pada
1963, perimbangan kekuatan politik terbelah antara PKI dan Angkatan Darat
serta Presiden Soekarno di atasnya. Masyumi dan PSI sudah dibubarkan.
Pengusutan yang dilakukan Operasi Budhi itu dianggap akan melemahkan tentara yang
pada gilirannya akan menguntungkan PKI. Itu menjadi salah satu alasan Operasi
Budhi dihentikan dan selanjutnya pemberantasan korupsi mengalami stagnasi.
Pengalaman sejarah Bung Karno mengajarkan
bahwa pemberantasan korupsi dapat dilakukan jika pelakunya dianggap sebagai
individu walaupun pemimpin partai, tetapi menjadi berbahaya apabila dikaitkan
dengan eksistensi atau prestise sebuah kekuatan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar