Bekerja
Sama demi Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog
Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
PERATURAN Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian
Dalam Negeri dan Perpres No 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ternyata lebih dimaknai
sebagai perbedaan sekaligus perebutan kewenangan atas desa. Padahal, yang
mendesak justru kolaborasi segenap kementerian demi desa.
Modusnya, berupa penerbitan aturan pada tingkat menteri
yang berdiri sendiri sembari mencakup wewenang kementerian lain. Surat Edaran
Menteri Desa PDTT tentang penggunaan dana desa bersinggungan dengan pembinaan
keuangan desa oleh Kemendagri. Sebaliknya Peraturan Menteri Dalam Negeri No
114/2014 tentang pembangunan desa lebih cocok diterbitkan bersama Kemendesa
PDTT.
Prioritas kedua
Beragam kalangan boleh meromantisasi merekahnya desa
seirama penetapan UU No 6/2014 tentang desa, tetapi realitasnya Presiden
Jokowi berkonsentrasi pada pangan, energi dan infrastruktur (Kompas, 30
Januari 2015). Tambahan celah fiskal hingga Rp 230 triliun untuk 2015 saja
mengindikasikan peluang terciptanya kesejahteraan rakyat melalui terobosan
tiga sektor.
Saat pembangunan sektoral dioperasikan, wilayah desa dan
kawasan kerja sama antardesa menjadi lokasi proyek dan kemunculan dampaknya
hingga jangka panjang. Menduduki prioritas kedua, dalam dua tahun desa perlu
bersiap diri menerima proses besar pelaksanaan sektor-sektor utama. Pada
mulai tahun ketiga desa ganti mengantisipasi peningkatan kesejahteraan
warganya.
Sesuai mandat UU No 6/2014 Pasal 79 dan 83 serta Perpres
No 11/2015 Pasal 22, Kemendagri menyiapkan kapasitas pemerintahan desa untuk
memadukan pembangunan sektoral dengan kebutuhan desa. Adapun Kemendesa PDTT
memberdayakan warga desa hingga mampu mengapitalisasi manfaat pembangunan
menjadi kesejahteraan rumah tangga sesuai dengan mandat UU No 6/2014 Pasal 78
dan 80 serta Perpres No 12/2015 Pasal 10 dan 13.
Kerja sama maksimal
Duo Perpres No 11/2015 dan Perpres No 12/2015 sangat mirip
usulan akhir Oktober 2014 dari Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa (kini Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa). Membanding dengan
konsep dalam UU No 6/2014 tentang desa, Kemendagri mengelola penataan dan
pembinaan pemerintahan desa.
Mandat UU No 6/2014 Pasal 1-77, 79-93, 96-115
dioperasionalkan dalam Perpres No 11/2015 sebagai wewenang pada pengelolaan
keuangan dan aset desa. Wewenang berikutnya fasilitasi penataan desa,
pemilihan kepala desa, perangkat desa, dan pelaksanaan penugasan urusan pemerintahan.
Berikutnya wewenang penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa. produk
hukum desa, serta evaluasi perkembangan desa. Wewenang selanjutnya pada
kelembagaan desa, dan kerja sama pemerintahan.
Kemendesa PDTT mendapatkan mandat UU No 6/2014 Pasal 1-4,
78-95, 112-115 untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat.
Operasionalisasi dalam Perpres No 12/2015 berupa kewenangan pemberdayaan
masyarakat desa dan pengelolaan pelayanan sosial dasar. Selanjutnya wewenang
pengembangan usaha ekonomi desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tepat guna, dan pembangunan sarana prasarana desa. Wewenang yang berkaitan
dengan pembangunan kawasan pedesaan mencakup perencanaan pembangunan,
sarana/prasarana, dan ekonomi kawasan.
Perpres No 11/2015 condong berkenaan dengan pemerintahan
desa atau meliputi adagium dikotomis yang muncul pada UU No 6/2014:
(pemerintah) ”membangun desa”. Sebaliknya Perpres No 12/2015 mengetengahkan
warga desa melalui adagium (warga) ”desa membangun”.
Dikotomi tersebut perlu dilebur dalam praksis. UU No
6/2014 sendiri secara inheren mensyaratkan kerja sama kedua kementerian,
terutama berkaitan dengan kehadiran pemerintah desa dan warga dalam
musyawarah desa untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan
(Pasal 79-82). Badan Usaha Milik Desa dimiliki pemerintah desa, tetapi
dijalankan oleh warga desa terpilih (Pasal 87-90). Perwujudan kawasan sebagai
bentuk kerja sama antarbeberapa pemerintah desa dan pihak lain memerlukan
persetujuan warga lewat musyawarah desa (Pasal 83-85).
Memandang desa sebagai komunitas selalu menautkan
pemerintah dan warganya. Memang UU No 6/2014 dikritik
meluaskan wewenang pemerintah desa sembari alpa menuliskan
pasal pemberdayaan masyarakat. Namun, PP No 43/2014 tentang desa telah
panjang lebar mengoperasionalkan pemberdayaan menjadi pendampingan warga.
Oleh sebab itu, alih-alih menerbitkan peraturan dan edaran
menteri yang cenderung sepihak, menegaskan diri, bahkan acap kali saling
merenggut wewenang kementerian lainnya, akan lebih produktif bagi kedua
kementerian untuk lebih banyak menerbitkan peraturan bersama antarmenteri.
Kerja sama kedua kementerian telah mendesak guna memulai pembangunan desa.
Kesepakatan keduanya dibutuhkan untuk menetapkan kegiatan pembangunan bersama
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan perencanaan pendanaan
dengan Kementerian Keuangan.
Soliditas keduanya mutlak untuk berhubungan dengan Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa di provinsi dan kabupaten/kota. Yang lebih
penting, kedua kementerian harus selalu duduk bersama kementerian lain yang
mengalokasikan kegiatan di tingkat desa. Di antaranya prioritas jangka
menengah untuk pembangunan kilang minyak dan gas bumi, bendungan hingga
saluran irigasi, pelabuhan, jalur kereta api, jalan besar berikut
percabangannya ke desa.
Jangan dilewatkan pertanyaan penting lain: bagaimana
pengelolaan kelurahan? Berbagai UU dan aturan di atas alpa membahasnya.
Padahal, statistika kelurahan menunjukkan pelemahan layanan dari fasilitas
ekonomi, pendidikan dasar dan kesehatan dalam satu dekade terakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar