Badrodin
Lebih Pantas daripada Budi Gunawan
Imam Syafi’i ; Direktur Pemberitaan Jawa
Pos TV (JTV),
Pernah lolos 12 besar seleksi Kompolnas
|
JAWA
POS, 20 Februari 2015
KEPUTUSAN Presiden Jokowi membatalkan pelantikan Komjen
Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri sangat melegakan. Sebagai gantinya, Jokowi
menyerahkan nama Komjen Pol Badrodin Haiti kepada DPR untuk menjalani fit and proper test sebelum dilantik
menjadi Kapolri.
Keputusan presiden itu diharapkan bisa segera mengakhiri
perseteruan laten antara KPK dan Polri. Sebab, pada saat bersamaan, presiden
mengumumkan penonaktifan sementara dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan
Bambang Widjojanto, yang dijadikan tersangka oleh Polri. Mereka diganti tiga
pejabat pelaksana tugas pimpinan KPK, yakni Taufiequrachman Ruki, Indriyanto
Seno Adji, dan Johan Budi.
Penunjukan Badrodin sebagai calon tunggal Kapolri
pengganti Budi Gunawan dinilai sudah tepat. Badrodin adalah jenderal bintang
tiga polisi paling senior di antara calon Kapolri lainnya yang diajukan
Kompolnas kepada presiden. Badrodin seangkatan dengan calon Kapolri lainnya,
Komjen Pol Dwi Priyatno. Keduanya sama-sama lulusan Akpol 1982. Namun,
Badrodin yang lahir pada 24 Juli 1958 lebih tua daripada Dwi yang lahir 12
November 1959. Badrodin juga menyandang gelar Adhimakayasa sebagai lulusan
terbaik di angkatannya.
Secara struktural, jabatan Badrodin saat ini juga lebih
tinggi daripada Dwi. Badrodin adalah orang nomor dua (Wakapolri), sedangkan
Dwi adalah pejabat nomor tiga (Irwasum/inspektur pengawasan umum) Polri.
Calon Kapolri lainnya pasca penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK
adalah Kabaharkam (Kepala Badan Pertahanan dan Keamanan) Komjen Pol Putut Eko
Bayu Seno (lulusan Akpol 1984), Kepala BNN (Badan Nasional Narkotika) Komjen
Pol Anang Iskandar (lulusan Akpol 1982), Sekretaris Utama Lemhannas Komjen
Pol Suhardi Alius (lulusan Akpol 1985), serta Kabareskrim (Kepala Badan
Reserse Kriminal) Komjen Pol Budi Waseso (lulusan Akpol 1984).
Nama Badrodin sempat tidak diunggulkan dalam bursa calon
Kapolri karena dua alasan. Pertama, mantan Kapolda Jatim tersebut paling
mendekati masa pensiun jika dibandingkan dengan calon Kapolri lainnya. Polisi
kelahiran Jember, Jatim, tersebut purnatugas pada Juli tahun depan. Sisa masa
jabatan yang pendek itu dinilai tidak efektif bagi Badrodin untuk membenahi
institusi Polri jika dipilih menjadi TB-1 (Tribrata Satu). Alasan kedua,
Badrodin tidak diperhitungkan menjadi calon kuat Kapolri karena namanya juga
sempat disebut-sebut sebagai salah satu pemilik rekening gendut perwira
polisi.
Tiga Syarat buat Badrodin
Kini situasinya berubah. Badrodin mendapat blessing in disguise. Presiden Jokowi
akhirnya mengumumkan pencalonan dirinya sebagai Kapolri menggantikan Budi
Gunawan. Sebagian pihak beranggapan, nama Badrodin dimunculkan sebagai jalan
tengah Jokowi untuk mengatasi kisruh cicak versus buaya jilid III. Namun,
penulis menilai, sosok Badrodin bisa lebih pantas memimpin Polri ketimbang
Budi Gunawan dengan tiga syarat.
Pertama, Badrodin harus benar-benar klir dari tuduhan memiliki
rekening gendut. Dia sudah berkali-kali membantah dan menjelaskan kepada
media massa, termasuk kepada penulis, mengenai tudingan tersebut. Penjelasan
sepihak itu tidak cukup. Harus ada clearance resmi dari KPK dan PPATK.
Mekanisme itu lazim dilakukan terhadap calon Kapolri pada masa Presiden SBY.
Syarat kedua, masa pensiun Badrodin yang tinggal 17 bulan
harus betul-betul dimanfaatkan untuk melakukan konsolidasi di tubuh Polri.
Badrodin harus tegas terhadap anak buahnya yang tidak profesional. Tidak
seperti yang terlihat selama ini, –ketika menjadi Plt Kapolri– Badrodin
terkesan diam dan membiarkan anak buahnya melakukan balas dendam dan
kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.
Penulis yakin, Badrodin yang hobi tinju bisa sangat tegas
jika sudah resmi dilantik presiden menjadi Kapolri. Sejumlah perwira tinggi
polisi bercerita kepada penulis, ’’Selama
ini Pak Badrodin tampak loyo karena wewenangnya sebagai Plt Kapolri tidak
jelas.’’
Badrodin harus mencontoh ketegasan Bimantoro dalam
menghadapi dualisme kepemimpinan di tubuh Polri. Bimantoro yang waktu itu
menjadi Kapolri dipecat Presiden Gus Dur dan digantikan Chairuddin Ismail.
Banyak jenderal polisi yang merasa muak atas konflik yang terjadi antara
Polri dan KPK saat ini. Kapolri baru kelak harus bisa membebaskan korps
Bhayangkara dari politik-politikan dan kubu-kubuan yang bisa memecah belah
pimpinan kepolisian.
Kabarnya, Badrodin dipilih Jokowi juga karena alasan lebih
tegas daripada Komjen Dwi. Selama ini, Dwi dikenal sebagai pejabat polisi
yang kalem. Polisi kelahiran Purbalinggga, Jateng, tersebut lebih banyak
guyonnya kala memimpin rapat. Karena itu, Dwi dinilai kurang ‘’greng’’ untuk
membenahi Polri dalam masa transisi seperti sekarang ini. Jabatan sebagai
Wakapolri sekaligus Plt Kapolri bisa menjadi modal besar bagi Badrodin untuk
segera membenahi Polri.
Syarat ketiga, Badrodin harus membersihkan anak buahnya yang
membuat hubungan Polri dan KPK terus memanas serta tambah runyam. Salah
satunya, jika resmi menjadi Kapolri, Badrodin harus memindahkan Komjen Budi
Waseso dari posisi strategis sebagai Kabareskrim. Masih banyak
jenderal polisi yang lebih pantas menduduki jabatan itu. Misalnya, Kapolda
Jatim Irjen Pol Anas Yusuf yang pernah menjadi Wakabareskrim Mabes Polri.
Kini Komjen Badrodin Haiti harus menunggu persetujuan DPR
sebelum resmi dilantik menjadi Kapolri. Dia mesti menjalani uji kepatutan dan
kelayakan di depan para wakil rakyat. Jika lolos, Badrodin harus bisa
membuktikan bahwa dirinya memang lebih pantas dipilih daripada calon Kapolri
lainnya.
Saat ini, publik rindu dengan sosok polisi yang bersih dan
profesional. Publik melihat Polri masih saja main-main dengan kasus yang
ditangani. Bahkan, acap kali personel polisi juga dibingungkan oleh sikap
para pemimpin mereka yang saling bertentangan. Polisi harus seperti ikan laut. Meski hidupnya di air laut, tetapi
tetap tidak terasa asin. Polisi yang tugasnya berdekatan dengan kejahatan
jangan sampai ikut-ikutan berperilaku kriminal. Semoga... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar