WAWANCARA
Babak
Penutup bagi Indonesia
Joshua Oppenheimer ; Sutradara Film
|
KOMPAS,
08 Februari 2015
Udara dingin yang disertai hujan salju di akhir Januari
tidak menyurutkan semangat peserta menghadiri kelas master bersama Joshua
Oppenheimer, sutradara film ”The Look
of Silence” (”Senyap”), pada Festival Film Internasional Goteborg, yang
berakhir 2 Februari lalu. Sekitar 200 kursi yang disediakan penuh terisi.
Tanya jawab yang berlangsung selama 1,5 jam memenuhi keingintahuan peserta
seputar pembuatan film Senyap.
Pesan terpenting yang ingin disampaikan dalam film ini,
kata Oppenheimer, adalah never again. ”Jangan sampai terjadi lagi di mana pun
atau pada siapa pun. Jangan sampai lagi ada impunitas yang didukung sistem
politik dan dirayakan,” ujarnya.
Nasib sang pemain, Adi Rukun, beserta keluarganya juga
menjadi pertanyaan banyak hadirin. Apakah keselamatan mereka terjamin? ”Satu
tahun sebelum film ini ditayangkan, keluarga itu telah dipindahkan ke tempat
yang aman. Kami telah mempersiapkan segala kemungkinan,” kata Oppenheimer.
Film Senyap begitu menyedot perhatian penonton festival
sehingga karcis sudah habis terjual sebelum jadwal penayangan. Tepuk tangan
panjang mengiringi setiap akhir pertunjukan. Namun, itu bukan berarti
pertanda gembira. Seorang pria yang duduk di kursi sebelah bahkan
berkali-kali menyusut air matanya. Reaksi ”bagaimana mungkin kita sampai
tidak mengetahuinya”, muncul di sana-sini,
Ketika Senyap kemudian dinobatkan sebagai film dokumenter
terbaik (Dragon Award Best Nordic
Documentary), publik sudah menduga. Padahal, di ajang ini Oppenheimer
harus berkompetisi dengan tujuh film yang tak kalah kuat, di antaranya Every Face Has a Name karya Magnus
Gertten yang mengisahkan mereka yang lolos dari maut di kamp konsentrasi
Nazi.
Dewan juri menilai Senyap
berhasil memecah penghalang antara dokumenter dan fiksi dengan membuka ruang
bagi kilas balik sejarah, dan menginspirasi rekonsiliasi.
Bagi pembaca yang belum sempat menonton Senyap, film ini
merupakan sekuel dari film The Act of
Killing (Jagal) yang menjadi nomine penghargaan Oscar tahun 2014. Jagal
mendokumentasikan kesaksian para pembantai yang membunuh warga yang dituduh
komunis di Deli Serdang pada periode 1965-1966. Dalam Senyap, adik seorang
korban pembantaian, Adi Rukun, mencari kejelasan tentang kematian sang kakak,
Ramli. Ia pun dipertemukan dengan para pembantai.
Oppenheimer yang mengaku kini sulit untuk bisa datang
kembali ke Indonesia karena berbagai intimidasi yang dihadapi membutuhkan
waktu 10 tahun untuk menyelesaikan Jagal dan Senyap. Pada 29 Desember 2014,
Lembaga Sensor Film (LSF) dalam suratnya menolak seutuhnya film tersebut
untuk dipertontonkan kepada khalayak umum atau bioskop.
Berikut perbincangan Kompas dengan Joshua Oppenheimer di
Goteborg, Swedia.
Kedua film ini banyak memperoleh
penghargaan internasional yang prestisius. Apa maknanya bagi Anda?
Setiap penghargaan menguatkan dampaknya bagi Indonesia.
Asvi Warman Adam dalam artikelnya menyebutkan, perhatian internasional
setidaknya memaksa diskursus di Indonesia karena untuk pertama kali dunia
luar menyadari hal itu. Dengan demikian, perdebatan tidak bisa lagi sepenuhnya
diset oleh pemerintah. Ini berarti harapan.
Sewaktu The Act of Killing menjadi nomine penghargaan
Oscar, Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan, ini pertama kali setelah
film itu diputar 1 tahun 4 bulan. Bagi saya pernyataan itu sangat positif
karena pemerintah mengakui ada pelanggaran kemanusiaan dan mengatakan perlu
rekonsiliasi. Satu hal yang baru dinyatakan kembali sejak pertama kali
dilontarkan oleh pemerintahan Gus Dur. Tapi, kalau menyebut ini sebagai film
buatan asing, tunggu dulu. Kalau kita melihat credit title di akhir film
Jagal, ada 60 orang Indonesia yang terlibat di situ, termasuk ko-sutradara
yang semuanya disebut anonim. Jelas ini bukan film buatan asing.
Apakah pesan never again dari film
tersebut sudah tersampaikan?
Ini baru permulaan. Dari sejumlah penayangan dilaporkan
sudah 53.000 orang yang menonton. Ruang yang sudah dibuka ini menunjukkan
betapa terbelahnya masyarakat yang satu dengan yang lain. Lalu bagaimana kita
menjembatani itu? Melalui kerendahhatian seperti yang ditunjukkan Adi, juga
yang dicontohkan oleh putri dari seorang pembantai yang meminta maaf. Sungguh
indah. Ia menemukan martabat kemanusiaannya dengan memohon maaf atas nama
sang ayah. Ini menunjukkan bahwa proses penyembuhan itu mungkin terjadi. Kita
butuh proses dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berupa sejumlah pengakuan
kolektif bahwa ini adalah salah, bahwa perilaku premanisme, intimidasi yang
sudah selama beberapa dekade didiamkan, dinyatakan terlarang. Dan ini memang
harus diperjuangkan.
Apakah ini dimaksudkan sebagai
sebuah film politik?
Anda tidak bisa memisahkan individu dari masyarakatnya.
Terkait pembantaian massal, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah
individu atau sistem politik? Individu tidak akan eksis tanpa masyarakat,
begitu juga sebaliknya. Kita adalah satu entitas kolektif. Film apa pun yang
mengangkat cermin kemanusiaan secara inheren adalah politik, tapi juga
sekaligus manusiawi dan universal.
Bagaimana Anda melihat reaksi pro
dan kontra di Indonesia. Apakah ini sudah diperkirakan?
Sepertinya begitu. Ketika Komisi Nasional HAM dan Dewan
Kesenian Jakarta memutar film ini dan dihadiri sekitar 2.000 orang, juga
ketika Adi dikenalkan di panggung dan memperoleh 10 menit standing ovation,
itu membuat 500 penayangan lainnya juga dihadiri banyak orang. Dan itu semua
membuat Anda penuh harap. Tapi, apa yang terjadi belakangan (penghentian
penayangan) sudah diperkirakan. Komnas HAM sudah men-submit film itu kepada
LSF, tak ada respons. Mereka baru merespons ketika polisi dari Malang
men-submit film itu ke LSF, dan kemudian LSF melarang penayangan film itu.
Menyakitkan
Anda mengatakan telah melewati
pergulatan yang sangat menyakitkan ketika membuat film ini. Itu dikarenakan
materinya atau karena telah ”memunculkan” situasi yang menyakitkan?
Keduanya. Saya rasa pembuatan The Act of Killing (Jagal) memang menyakitkan, sedangkan The Look of Silence lebih
mengkhawatirkan karena saya khawatir dengan keselamatan kami semua, khususnya
para kru. Tapi, proses dalam The Look
of Silence merupakan proses penyembuhan (healing). Itu sebuah cara untuk mengucapkan selamat tinggal.
Sebuah cara untuk membuat babak penutup, babak 10 tahun terakhir dalam
kehidupan saya. Mereka adalah keluarga dan kru yang sangat saya cintai. Itu
seperti sebuah perpisahan panjang.
Materi The Act of
Killing memang menyakitkan, tapi saya dipaksa untuk tidak tergetar dan
tetap membuka hati, khususnya untuk Anwar Congo (salah satu pembantai).
Persoalannya, tak ada yang selama ini pernah mendengarkan Anwar. Cara dia
membual (boasting) ketika melakukan
pembantaian adalah cara untuk meyakinkan dirinya bahwa dia adalah pahlawan
sehingga ia bisa lari dari rasa salah. Tidak ada yang pernah mendengarkan apa
makna hal itu bagi dirinya. Berkali-kali ia mengatakan sering mimpi buruk. Tapi,
tak ada yang pernah bertanya, apa mimpinya, apa yang membuatnya takut, apakah
ia merasa bersalah?
Jadi, upaya boasting
yang dilakukan selama bertahun-tahun merupakan upaya untuk meyakinkan
dirinya, untuk menutupi jeritan hatinya. Dan ketika saya datang dan
mendengarkan, Anwar mulai berbicara lebih jujur, dan muncullah rasa sakit
itu. Saya ikut merasakan rasa sakit Anwar itu, tapi Anwar tetap ingin
melanjutkan. Tentu saja saya bergulat dengan situasi seperti itu. Dan kadang
saya juga merasa bersalah dengan situasi semacam itu.
Bagaimana Anda mengatasinya?
Saya mendapat dukungan dari para kru yang luar biasa, para
kru Indonesia adalah orang-orang yang menakjubkan. Ko-sutradara saya adalah
orang yang sangat mencintai pepohonan. Dia membawa saya jalan-jalan dan
mengajari saya tentang pepohonan. Dia berbicara tentang pohon dengan penuh
rasa kasih, dan hal itu sangat menenangkan dan menghibur. Mengingatkan
mengapa kemanusiaan itu begitu berarti. Karena film bukan untuk menyalahkan,
film ini berbicara tentang kita semua.
Puitik
Setelah menyaksikan film ini,
penonton umumnya merasa sedih yang sangat sakit. Namun, Anda menyebutnya
puitik?
Banyak puisi yang menyedihkan. Saya rasa puisi yang
terindah selalu tentang kesedihan. Salah satu satu favorit saya adalah puisi
The Waste Land karya TS Eliot. Salah satu puisi yang sangat menyedihkan tapi
visioner. Membuat kita melihat tentang kebenaran fundamental di dunia. Salah
satu yang menginspirasi The Act of Killing adalah karya Dante, Inferno,
sebuah puisi panjang. Salah satu alasan mengapa film ini puitik karena dalam
hampir semua dokumenter saya tentang HAM selalu diakhiri dengan sebuah
harapan. Setidaknya penonton yang keluar dari ruangan merenung bahwa sesuatu
sudah dilakukan.
Saya akan membuat puisi itu sebagai in memoriam terhadap
kesenyapan yang menghancurkan. Saya ingin menghormatinya melalui sinema
puisi, mengingat tak ada lagi yang bisa kita tegakkan untuk semua yang telah
dihancurkan, tak ada yang bisa mengembalikan dekade-dekade yang hilang pada keluarga
Rukun. Karena itu, film ini adalah sebuah puisi, melihat pada jurang
kesenyapan. Meminta kita untuk berupaya mendengarkan suara-suara lirih yang
mungkin datang dari kesenyapan itu. Seperti juga adegan ketika ibu Adi
melihat kacang yang bergerak di telapak tangannya. Itu merupakan metafora
tentang harapan, tentang sesuatu yang akan muncul. Saya berharap itu adalah
rekonsiliasi yang kita tunggu-tunggu.
Bagaimana reaksi publik di Amerika
Serikat (AS)?
Film ini baru diputar di festival-festival. Sejauh ini,
reaksinya sangat baik. Sangat kuat. Ketika saya hadir bersama Adi di AS,
orang-orang begitu antusias menyambut Adi. Setiap kali dia hadir dalam
penayangan film, Adi selalu memperoleh standing ovation. Hal itu sedikit atau
banyak merupakan penyembuhan untuk Adi atas penderitaan yang dialami dia dan
keluarga selama 50 tahun, bagaimana ia dan keluarga distigmatisasi tidak
bersih lingkungan.
Apakah publik AS menyadari
pemerintah mereka secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam tragedi
itu?
Rakyat AS memiliki kenangan terbatas atas apa yang terjadi
di Indonesia. Tapi, kami mengerti bahwa AS terlibat dan pemerintah kita
terlibat dalam menggerakkan kekerasan atas nama korporasi multinasional di
sejumlah negara di dunia. Kami (AS) punya sejarah di Amerika Latin, di
Vietnam, di Filipina, dan cukup banyak yang berpendapat bahwa AS berperang di
Irak karena minyak. Saya pikir masyarakat di sini menyadari itu. Di film ini
pun kita lihat bagaimana perusahaan Goodyear memperbudak pekerja dan
membiarkan pekerjanya dibunuh, seperti juga perusahaan Jerman menggunakan
pekerja dari Auschwitz. Kenyataan ini sangat memukul penonton AS. Pada
pemutaran ketiga The Look of Silence di AS, seorang putri dari eksekutif
Goodyear menangis tersedu-sedu setelah melihat film ini. Dia sangat terpukul.
Sejauh mana Anda melakukan
intervensi dalam pembuatan film ini? Sejauh mana sutradara dibenarkan
melakukan intervensi dalam film dokumenter?
Tidak ada batasnya. Pembuat film memiliki tanggung jawab
untuk bertindak sejauh yang dibutuhkan untuk mengungkapkan kebenaran
terpenting, untuk mengeksplorasi pertanyaan terpenting. Kami juga bertanggung
jawab untuk tidak mencederai siapa pun, untuk menjaga keselamatan siapa pun.
Sebagai contoh dalam adegan The Act of Killing, sewaktu Herman memeras orang di pasar, saya
berpikir bagaimana saya harus memfilmkan ini, dengan juga mempertimbangkan
rasa takut yang dialami pemilik toko setiap hari. Setelah pengambilan gambar
selesai, kami sampaikan kepada pemilik toko bahwa kami akan membayar berapa
pun yang diambil oleh Herman. Langkah ini diambil untuk mencegah pencederaan
apa pun bentuknya. Anda selalu bertanggung jawab untuk melakukan intervensi.
Adalah bohong jika Anda mendokumentasikan realitas yang preexisting. Di dalam
film Anda selalu menciptakan realitas. Anda juga bertanggung jawab bertindak
sejauh yang dibutuhkan untuk mengekspresikannya sekuat mungkin.
Jika melihat kembali perjalanan 10
tahun terakhir Anda, apa yang Anda lihat? Apa yang Anda rasakan?
Saya dihadapkan pada sejumlah aspek menyakitkan yang
membuat kita menjadi manusiawi. Juga pada sejumlah kebenaran fundamental,
bukan tentang Indonesia, melainkan tentang masyarakat. Saya juga dihadapkan
pada hal-hal yang menakutkan, keterbukaan, kejujuran, dan cinta yang mungkin
dilakukan. Dan itu membuat Anda tidak takut untuk terus bergerak maju karena
Anda telah berhasil mengalahkan rasa takut yang membuat Anda tidak mau
melihatnya. Setidaknya Anda kini bisa menatapnya langsung. Saya harap film
ini bisa berdampak sama terhadap para penonton Indonesia. Saya juga ingin
berbagi rasa hormat dengan para kru, saya merasa istimewa memperoleh
kepercayaan mereka. Saya rasa, sangat jarang seni bisa membuat perbedaan.
Film ini juga mengubah cara pandang saya. Saya lebih mudah
untuk memaafkan, seperti simpati saya yang dalam untuk Anwar meskipun bukan
simpati terhadap apa yang dia lakukan.
Kuatkah dampaknya terhadap
kehidupan pribadi Anda?
Sangat menguras, sampai saya harus pindah ke Denmark untuk
mengedit film ini karena Denmark yang membiayainya. Saya juga terus bermimpi
buruk selama hampir satu tahun. Sangat berat. Tapi, saya tidak pernah
menyesal. Saya juga perlihatkan film ini kepada orangtua saya. Saya ingin
mereka melihat sesuatu yang dalam tentang diri saya yang mungkin tidak pernah
mereka ketahui sebelumnya. Mereka sangat menyukainya, dan itu sangat berarti
bagi saya. Saya juga memiliki keluarga kedua di Indonesia yang sangat saya
cintai. Sungguh sedih bahwa situasi ini membuat saya tidak bisa datang dan
mengunjungi mereka.
Film berikutnya akan seperti apa?
Akan bercerita tentang ketakutan, kerakusan, penipuan
diri. Tidak akan dibuat di Indonesia dan tidak terkait Indonesia. Banyak yang
bertanya, mengapa saya tidak membuat sekuel ketiga. Di luar kesulitan teknis
pembuatannya, saya berpikir bahwa apa yang selanjutnya terjadi di Indonesia
adalah milik masyarakat Indonesia. Film pertama sudah membuka ruang. Film
kedua menunjukkan sejumlah kemungkinan untuk rekonsiliasi. Babak ketiga
adalah milik masyarakat Indonesia. (Myrna Ratna) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar