Arah
Reformasi Golkar
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri
Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU)
Indonesia
|
KOMPAS,
27 Februari 2015
Harian Kompas (12/2) memuat berita ringkas: kubu Aburizal
Bakrie, selaku lawan kubu Agung Laksono, tak menghadiri sidang mahkamah
partainya. Namun, dengan pertanyaan: ”Mengapa kita tidak langsung melihat
bahwa ’krisis’ internal ini sebagai isyarat perlunya ’reformasi’ radikal
Golkar?” Keringkasan itu punya makna tertentu.
Studi Mashashi Nishira, Golkar and the Indonesian
Elections of 1971 (1971), memberikan petunjuk unsur ”kiri” dalam konsep
Golkar. Dalam usaha mencari alternatif partai politik, Presiden Soekarno pada
1956 menemukan perwakilan golongan dalam struktur politik parlemen negeri
Tionghoa-Komunis itu. Angkatan Darat (AD) menemukan hal yang sama di parlemen
Ceko pada 1959. Karena itu, melalui Keputusan Presiden 1960, utusan
golongan-golongan masuk ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR). Inilah cikal bakal Golongan Karya (Golkar).
Apa pasal Golkar justru menjadi kekuatan ”kanan”?
Jawabannya: ”Kebetulan sejarah” dan struktur kontestasi politik tipikal yang
dilahirkannya. Dalam konteks pertama, sejak kehancurannya akhir 1920-an dan
kegagalan pemberontakannya di Madiun pada 1948, kekuatan ”kiri” mulai bangkit
sejak Januari 1951, ketika empat serangkai (DN Aidit, MH Lukman, Njoto, dan
Sudisman) mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak
itu, catat Rex Mortimer dalam Indonesian Communist under Sukarno: Ideology and
Politics, 1959-1965 (1974), kekuatan PKI tumbuh cepat dengan 150.000 anggota
pada 1952 dari hanya 7.000 tahun sebelumnya. Ketika berhasil membentuk sayap
organisasi perempuan, buruh, tani, dan pemuda pada 1954, PKI telah
mentransformasikan diri menjadi ”gerakan sosial-politik dan ekonomi”.
Kedua, inilah yang melahirkan struktur kontestasi politik
”segitiga” tipikal masa itu: PKI yang ”kiri”, Soekarno yang ”tengah”(?), dan
AD yang ”kanan”. Karena terdesak, AD sebagai kekuatan ”kanan” merapat kepada
golongan fungsional itu. Tindakan inilah yang disebut sejarawan senior,
Taufik Abdullah, dalam Indonesia Towards Democracy (2009) sebagai golden gate
(pintu emas) ”bagi kaum militer berpartisipasi di dalam politik secara
langsung dan resmi”. Langkah politik AD ini sistematis. ”Melalui
golongan-golongan ini,” tulis Nishihara, ”AD mengontrol federasi buruh anti
PKI (SOKSI) yang terdiri dari 25 organisasi mewakili pekerja dan
pejabat-pejabat pemerintah yang mengelola perkebunan dan industri. Pada
Oktober 1964, dengan SOKSI sebagai intinya, kelompok kekaryaan ini mendirikan
Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar di bawah naungan AD. Beberapa saat
kemudian Kosgoro, MKGR, dan beberapa lainnya .... turut bergabung.” Pada
waktu itu Golkar lahir sebagai kekuatan ”kanan”.
Hasil sampingan
Sifat ”kanan” Golkar, dengan demikian, adalah ”hasil
sampingan” struktur kontestasi politik tipikal Indonesia masa itu.
Kesintasan Golkar selanjutnya ditentukan sifat ”kanan”
ini. Mengapa? Karena yang tampil pascarezim Soekarno pada 1967 juga bersifat
”kanan”, yaitu rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang mendasarkan
diri pada asumsi pertumbuhan ekonomi dan menstransformasikan diri menjadi
agent of capital accumulation. Sejak itu keintiman negara dengan modal atau
kekayaan menjadi realitas politik-ekonomi. Dalam Indonesia: The Rise of Capital (1988), Richard Robison melihat
eksistensi dan kekuasaan negara Orde Baru turut ditunjang akumulasi kapital
ini.
Sebagai agent of capital accumulation, jelas negara tak
mempunyai akar sosial-budaya. Karena itu, dengan menjadikannya sebagai
peserta pemilu, Golkar berkembang menjadi ”akar politik” negara untuk menjaga
dan mempertahankan legitimasinya. Untuk itu, Ryaas Rasyid, dalam Golkar & Democratization in Indonesia
(2008), melihat Golkar sebagai salah satu elemen state formation, yaitu
seperti ditegaskan Bahtiar Effendy, kekuatan yang mengukuhkan rezim Orde Baru
dan membuat pemerintah mampu memerintah.
Inilah konteks, mengapa Golkar menjadi partai politik
berlandaskan modal- material. Dalam arti, eksistensi Golkar tak bisa
dipertahankan tanpa memiliki akses ke dalam sumber-sumber kekayaan. Di
samping sokongan modal dari klien negara, Golkar ”memiliki” sumber kekayaan
tetap: Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN). Kekayaan ini
terdistribusikan ke seluruh Indonesia dalam bentuk pembangunan sarana fisik:
gedung, infrastruktur publik, lembaga-lembaga pendidikan, pusat-pusat
kesehatan, dan lain-lain.
Walau secara resmi distribusi kekayaan ini adalah
realisasi tugas negara, secara politik berarti political goods and services. Dalam tulisannya ”Tradition, Mobilization and Development
in Indonesia” (1973), Mohd A Nawawi mengartikan frasa ini sebagai
pertanda pelaksanaan tugas negara melalui kemampuan memobilisasikan sumber
daya yang tersedia. Dalam arti kata lain, inilah yang disebut sebagai effective and penetrative state oleh
Linda Weiss & John Hobson dalam State
and Economic Development (1975).
Akan tetapi, proses dan hasil pembangunan fisik itu secara
sepihak diindentikkan dengan keberhasilan ”pembangunan Golkar”. Di sini,
sebagai elemen state formation
negara Orde Baru, secara politik Golkar bukan saja bisa bertindak sebagai
”distributor kekayaan”, melainkan juga pemberikan ”sanksi” terhadap
komunitas-komunitas yang menolaknya. Sejak 1980-an hingga pertengahan
1990-an, seperti saya saksikan, beberapa daerah di Aceh dan Sumatera Barat di
mana Golkar mengalami kekalahan, tak mengalami pembangunan fisik. Sebagian
besar tumpuan popularitas politik Golkar, dengan demikian, adalah gabungan
persebaran kekayaan negara melalui pembangunan fisik dan ”hak menghukum”
rakyat yang tak mendukungnya dengan tak merekomendasikan distribusi kekayaan
negara ke wilayah mereka.
Watak Golkar setelah Soeharto
Pada saat yang sama ada proses lain yang berkinerja
melalui kewenangan negara yang menentukan watak Golkar pasca-Soeharto. Ini
terungkap dari dialog-dialog Ginandjar Kartasasmita dalam bukunya Managing Indonesia’s Transformation: An
Oral History (2013) dengan Moerdiono. Walau sama-sama ”nasionalis”,
Ginandjar tak setuju dengan Moerdiono yang menyamakan ”pribumi” dan
”nonpribumi”. Ginandjar melihat krisis dan konflik sosial Mei 1998 adalah
akibat dari sikap negara menyamaratakan tindakan negara atas ”pribumi” dan
”nonpribumi”.
Oleh karena itu, ketika Ginandjar memegang wewenang
negara, baik sebagai Menteri Muda untuk Promosi Produk Dalam Negeri awal
1980-an, Ketua BKPM (1985-88), maupun Menteri Pertambangan dan Energi
(1988-93), ia memanfaatkan fungsi wealth
dispenser (pembagi kekayaan) negara dengan ”memihak” kepada
kelompok-pengusaha pribumi. ”Kita perlu mendukung pengusaha pribumi,” ujar
Ginandjar, ”seperti Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, Jusuf Kalla, Fadel Muhammad,
Wiwoho Basuki, Iman Taufik, Abdul Latief, Siswono Yudohusodo, Chairul Tanjung
untuk memperlihatkan that it is not
just Chinese who can be successful in business in independent and modern
Indonesia.”
Tindakan ”memihak” salah satu elemen negara pada 1980-an
inilah yang memunculkan kaum konglomerat ”pribumi”, di mana Aburizal Bakrie
menjadi tokoh paling menonjol. Tanpa Ginandjar, mungkin tak pernah ada
konglomerat ”pribumi”. Sebab, pada 1974, Menteri Perdagangan Radius Prawiro,
dikutip Robison, dengan tegas menyatakan bahwa negara tidak akan menolong
pengusaha ”pribumi” melalui fasilitas. ”Attempts
will be focused upon eliminating attitudes of dependence on facilities and
stressing persistence in specific lines of business.”
Namun, di dalam konteks politik, tindakan Ginandjar ini
adalah ”pemihakan ganda”. Meski tak ada yang menyanggah bahwa mereka adalah
”pribumi”, tak ada juga yang menyanggah sebagian besar mereka adalah anggota
Golkar. Inilah yang menentukan watak Golkar pasca-Orde Baru, yakni ketika kontrol
negara melemah, kaum konglomerat reproduksinya, yang telah telanjur besar dan
mengontrol kekayaan dengan otonom, memanfaatkan kekayaan itu untuk mengusai
kekuasaan politik. Inilah yang terjadi di dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla
(2004-2009) dan Aburizal Bakrie (2009-2015) ketika kekayaan mendominasi
partai itu.
Perkembangan ini tentu problematik terhadap Golkar dan
dunia politik Indonesia. Politik berdasarkan pada kekayaan menciptakan
kepemimpinan oligarki. Ini membuat Golkar mandek karena secara struktural
rotasi kepemimpinan bergulir pada tokoh atau golongan yang sama dan
menghalangi lahirnya pemimpin muda idealis dan reformis. Akibatnya, kualitas
kader yang tereproduksikan jenis kepemimpinan ini hanya sekelas pengikut.
Dan, yang terpenting, semua ini menghalangi transformasi orientasi ke arah
partai didasarkan dukungan rakyat.
Inilah alasan struktural reformasi Golkar, yaitu keharusan
membongkar kepemimpinan berdasarkan kekayaan guna memberikan jalan
terciptanya partai didasarkan dukungan rakyat. Yang diperlukan untuk itu
adalah sebuah peralihan kepemimpinan yang lebih otentik, reformis, dan
demokratis. Otentisitas ini hanya terjadi jika pemimpin Golkar jatuh kepada
kader-kader muda yang belum berkubu dan bergelimang efek destruktif politik
berdasarkan kekayaan.
Apa arti reformasi Golkar ini bagi dunia politik
Indonesia? Di sini kita harus mencermati sistem politik Indonesia pasca-Orde
Baru hingga masa Jokowi dewasa ini, yaitu ketakseimbangan pola interaksi
peran dan fungsi antara lembaga-lembaga eksekutif, kepresidenan (termasuk
kabinet), dengan legislatif DPR dan DPD, serta yudikatif (Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi) dengan partai-partai politik. Ketakseimbangan ini
terdapat pada fakta bahwa tanpa diisi kalangan yang direproduksikan partai-partai
politik, lembaga eksekutif dan legislatif (terutama DPR) adalah ”tempat
kosong”. Partai-partai politik, dengan demikian, adalah kekuatan riil politik
yang kekuasaannya menyelusup ke dalam jantung wewenang negara. Meski Megawati
atau Surya Paloh tak punya kekuasaan resmi dalam negara, sebagai ”pemilik
partai” (PDIP-P dan Nasdem), keduanya bisa mendesak presiden menempatkan
orang pilihan dalam kabinet atau mengganti wakilnya di DPR.
Karena gugus kekuasaan di dalam sistem politik dewasa ini
didominasi Golkar dan PDI-P, secara teoretis keputusan-keputusan resmi negara
adalah cerminan ekspresi kehendak keduanya. Dalam konteks Golkar, dengan para
pemilik modal yang dominan di dalamnya, maka saluran ekspresi kekuasaan ke
dalam lembaga-lembaga itu bersifat capitalist-biased. Pada saat yang sama,
dalam konteks PDIP, fakta bahwa presiden dan wakil presiden bukan dalam
posisi ”pemilik partai”, melainkan hanya reproduksinya. Untuk itu, meminjam
frasa Samuel Huntington, ambisi personal berpotensi memengaruhi tindakan
resmi negara. Presiden dan wakilnya, di pihak lain, walau memegang wewenang
eksekutif tertinggi pada esensinya lemah. Sebab, karena bukan ”kepemilikan
partai”, keduanya adalah ”minoritas” dalam ”politik partai politik”—yaitu
interaksi, kerja sama, dan persaingan antarpartai—maupun di dalam ”politik
parlemen”.
Potensi gabungan ekspresi kekuasaan capitalist-biased dan ambisi personal ini langsung atau tidak
akan memengaruhi kualitas program lembaga kepresidenan dalam melaksanakan
tugasnya demi kepentingan rakyat banyak. Dalam konteks inilah peran Golkar
yang telah ”tereformasikan” dan telah bersifat partai politik berbasis rakyat
menjadi strategis memimpin reformasi sistem dan dunia politik Indonesia
secara keseluruhan. Slogan yang perlu berkembang: membenahi sistem politik Indonesia harus dimulai dari pembenahan
Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar