Abolisionist
atau Retentionist
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
|
KORAN
SINDO, 18 Februari 2015
Tekanan terhadap Indonesia mengenai keputusan untuk
melakukan hukuman mati ternyata tidak berhenti saat eksekusi gelombang
pertama dilakukan kepada para terpidana mati narkoba beberapa minggu yang
lalu.
Tekanan terhadap Indonesia ketika menghukum mati terpidana
gelombang kedua menjadi semakin besar dan menarik perhatian dunia. Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, melalui juru bicaranya,
meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati kepada para terpidana
narkoba.
Tekanan tersebut juga semakin intensif dengan ancaman dari
Australia untuk melarang warganya ke Bali. Mereka juga mengancam akan
melakukan penarikan duta besar seperti yang dilakukan Brasil dan Belanda.
Bila ancaman tersebut benar- benar terwujud, apakah jalan keluar yang
diantisipasi oleh pemerintah?
Saat ini pemerintah menekankan bahwa keputusan menghukum
itu adalah keputusan hukum positif di Indonesia, dan intervensi dari negara-
negara tersebut sama artinya dengan mengganggu kedaulatan. Presiden Joko
Widodo juga mengatakan tekanan tersebut adalah wajar karena setiap pemerintah
perlu melakukan upaya maksimal menyelamatkan warganya.
Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo lebih tertarik
melihat tekanan tersebut dari kacamata politik praktis dan bukannya
mempertimbangkan nilai (value) dari
opsi-opsi yang diusulkan atau membuka dialog seputar tuntutan yang masuk
tersebut. Jawaban senada juga disampaikan instansi terkait seperti
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, kepolisian, bahkan
Kementerian Luar Negeri.
Pemerintah sepatutnya dapat memberi keterangan kepada
masyarakat negara sahabat, khususnya negara-negara yang menentang hukuman
mati, dengan lebih jelas. Setiap negara sahabat yang memiliki kebijakan
penghapusan hukuman mati memiliki alasan-alasan tersendiri yang dapat menjadi
titik tolak untuk diskusi.
Masyarakat Eropa, khususnya, telah memiliki pemahaman dan
keterlibatan dalam diskusi mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati, karena
hal itu sudah menjadi bagian dari pendidikan mereka. Penderitaan yang dialami
selama Perang Dunia II dan trauma kekejaman Nazi di bawah Hitler telah
menjadi dasar yang kuat bagi mereka untuk menempatkan hak hidup dan demokrasi
sebagai tujuan bernegara.
Diskusi tentang hukuman mati berada dalam konteks semangat
tersebut. Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat selalu terbagi antara
kelompok yang memberikan dukungan dan yang menolak, bahkan di antara negara
yang menentang hukuman mati sekalipun. Masih ada warga negara di
negara-negara tersebut yang mendukung hukuman mati.
Sama seperti warga negara di negara yang menerapkan
hukuman mati, masih ada masyarakat yang memperjuangkan untuk menentangnya.
Perdebatan ini telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang
lalu. Apa yang membedakan adalah pembaruan argumentasi dan buktibukti yang
diajukan dari masing-masing pihak untuk menegaskan posisi mereka terhadap
hukuman mati.
Pertanyaannya
kemudian apakah Indonesia saat ini sedang menuju arah penghapusan hukuman
mati (abolisionist) atau mendukung hukuman mati (retentionist). Posisi ini
sangat mendasar dan sayangnya sejak transisi demokrasi dimulai sejak 1998
kita tidak pernah tegas memilih sikap yang mana, belakangan justru ruang
dialognya tertutup.
Apabila sebutan negara yang menjatuhkan sanksi atas sebuah
tindakan kejahatan dengan pencabutanhakhidupseseorang, minimal ada beberapa
pertanyaan umum yang perlu dijawab oleh pemerintah. Pertama, apakah sudah
dipertimbangkan tindakan terpidana tersebut dapat direhabilitasi sehingga
ketika kembali ke masyarakat ia akan mematuhi hukum?
Rehabilitasi biasanya dilakukan dengan memberikan
keterampilan atau konseling kepada pelaku kejahatan sehingga mereka menyadari
kesalahannya. Kedua, apabila rehabilitasi tidak berhasil apakah terhadap
terpidana dapat dilakukan incapacitation . Pendekatan ini pada dasarnya
adalah mencegah terpidana untuk melakukan kejahatan yang serupa di masa
mendatang.
Cara yang dilakukan bergantung pada jenis tindak
kejahatannya. Contoh, para pelaku kejahatan seks di India saat ini akan
dikebiri yang membuat dorongan seks mereka menjadi berkurang. Pada abad ke-18
dan 19, Inggris merelokasi para tahanan yang dianggap kejam ke Australia dan
Amerika. Pada zaman Orde Baru, para tahanan politik diasingkan ke Pulau Buru.
Dalam kasus terpidana narkoba di Indonesia, metode ini
tampaknya tidak dapat berjalan dengan baik karena kejahatan sudah sangat
sistematis dan terorganisasi. Sistem lembaga pemasyarakatan kita masih belum
profesional dan diduga masih penuh dengan praktik korupsi.
Contohnya adalah Ola, terpidana mati yang mendapat grasi,
ditemukan mengelola jaringan kejahatannya kembali di dalam penjara.
Ironisnya, apabila menggunakan alasan ini untuk menghukum terpidana mati,
kita justru akan dipermalukan karena menunjukkan betapa lemahnya sistem
peradilan kita.
Ketiga, apabila rehabilitasi tidak berhasil maka apakah
hukuman bisa dilakukan secara retributif atau diberikan hukuman setimpal
dengan kejahatannya. Dalam kasus hukum mati yang telah kita laksanakan,
biasanya terkait dengan kejahatan pembunuhan terencana yang melibatkan korban
masif dan terbukti dilakukan dengan sadis. Persoalannya bahwa mengukur sebuah
tindakan kejahatan tertentu dengan hukuman tertentu adalah sangat politis dan
kontekstual.
Di China, korupsi adalah kejahatan yang diganjar hukuman
mati. Sebelum direvisi, mempelajari metode pencurian masuk dalam kategori
tindakan yang pantas dihukum mati. Keempat, apakah kejahatan yang diganjar
hukuman mati memiliki maksud untuk memberikan efek jera? Saat ini posisi
pemerintah sama dengan posisi negara-negara lain yang masih memberlakukan
hukuman mati, yakni bahwa hukuman itu diperlukan untuk menimbulkan efek jera.
Salah satu sumber sering dikutip oleh Presiden Joko Widodo
adalah hasil penelitian BNN pada 2008 yang menyebutkan angka-angka korban
akibat kejahatan narkoba selama ini. Namun, hasil penelitian itu
dipertanyakan beberapa pihak, salah satunya adalah Claudia Stoicescu, seorang
kandidat doktor dari University of Oxford yang sedang melakukan penelitian di
Jakarta.
Ia mengatakan bahwa metodologi dan definisi yang digunakan
dalam penelitian tidak mengikuti kaidah standar penelitian internasional
sehingga hasilnya pun dipertanyakan. Di tingkat internasional, PBB merujuk
hasil penelitian National Research Council di Amerika yang telah mengadakan
kajian dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang mendukung dan menolak
hukuman mati.
Mereka menyimpulkan
bahwa hasil penelitian tersebut, baik yang mendukung maupun menolak hukuman
mati sebagai inconclusive (tidak sahih) sehingga tidak dapat dijadikan
rujukan dalam persidangan. Hasil- hasil penelitian tersebut tentu akan
menggugurkan argumen para diplomat ketika berdialog dengan wakil pemerintah
atau masyarakat negara sahabat yang menentang hukuman mati.
Dan apabila kita tetap menggunakan argumen tersebut untuk
membela kebijakan, tentu kredibilitas kita akan turun. Pertanyaan lain yang
juga harus dijawab adalah bagaimana sikap dukungan hukuman mati ini dapat
menolong 200-an tenaga kerja kita di luar negeri yang terancam hukuman mati.
Banyak di antara mereka yang terancam hukuman mati terkait
dengan alasan PBB untuk menentang hukuman mati seperti sistem hukum yang tidak
adil, tidak terbuka, tidak adil, mahal, apabila terjadi kesalahan tidak dapat
dikoreksi. Alasan-alasan tersebut harus dihadapi oleh pemerintah dan jangan
sampai ada kesan dari negara lain bahwa kita menarik diri dari perdebatan
tersebut.
Dengan kata lain, pilihan untuk mendukung atau menolak
hukuman mati menuntut sebuah penjelasan yang terbuka ilmiah dari pemerintah,
karena kita hidup dalam pergaulan internasional yang menggantungkan diri pada
norma-norma tertentu. Kita dapat memiliki norma yang berbeda ataupun setuju
dengan norma-norma yang ditawarkan oleh negara- negara lain.
Namun syaratnya, norma yang kita pegang teguh telah lebih
baik. Norma itu juga harus sesuai dengan perkembangan dunia saat ini baik
ekonomi maupun politik, di mana saat ini pergaulan negara-negara tidak lagi
dibatasi oleh batas fisik garis batas kedaulatan tetapi hukum dan norma
internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar