Sabtu, 24 Januari 2015

Ulah Migran di Negeri Voltaire

Ulah Migran di Negeri Voltaire

Aboeprijadi Santoso  ;   Wartawan di Amsterdam
KORAN SINDO, 23 Januari 2015

                                                                                                                                     


Penjaga pompa bensin asal Aljazair di Desa Dumartin, dekat Bandara Charles de Gaulle, itu ogah diwawancarai koran Le Parisien. "Aku tak peduli ulah mereka," ujarnya tentang tiga teroris yang membantai sepuluh redaktur dan dua agen polisi pada mingguan satire Charlie Hebdo. Lalu, dengan nada keras, dia mengumpat: "Dua belas mati?! Anda tahu berapa ribu orang mati setiap hari di Libya, berapa ratus ribu di Suriah, dan entah berapa lagi di tempat lain."

Ungkapan itu bak sepotong cermin dari sebuah gambar besar. Paris juga ibu kota dari sebuah imperium dengan tangan-tangan kuasa yang ikut bermain di berbagai pergolakan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Nasib Palestina dan Gaza, aniaya ala Abu Ghraib, dan-yang terbaru-lautan pengungsi Suriah dan Libya menjadi simbol-simbol tragedi kekinian yang berkontras tajam dengan kejayaan peradaban masa silam. Kontras-kontras yang dihayati seperti itulah yang, menurut sejarawan Karen Armstrong, mengendap dalam sanubari dan melatarbelakangi ulah kekerasan kelompok-kelompok muslim radikal-seperti juga di kalangan migran di Eropa.

Di atas semua itu, Aljazair merupakan pengalaman pasca-kolonial tersendiri. Di Prancis mereka merupakan warisan dari perang pembebasan pada 1950-an dan kemelut politik pasca-kolonial yang traumatik. Bukan kebetulan, empat dari lima pelaku teror di Paris itu, termasuk seorang perempuan yang lolos, adalah asal Aljazair. Kaum Aljir-Prancis inilah bagian terbesar (5 juta) dari migran muslim terbesar (6 juta dari 60 juta penduduk Prancis) di Eropa.

Tujuh tahun silam, sosiolog Prancis, Olliver Roy-yang saya tulis di kolom ini (Tempo, 7 April 2008)-mencari latar belakang rangkaian teror di Eropa pada proses akulturasi migran yang gagal. Kini, krisis Suriah dan Irak menjadi pukulan balik, memusnahkan harapan yang tersisa pada "Musim Semi Arab", menyulut api baru di Afrika Utara dan Tengah, serta mengakibatkan dua juta pengungsi tumpah-ruah di seluruh kawasan. Dalam kurun hanya dua tahun, semua itu memperkenalkan sebuah fenomena baru: Eropa yang "merapat" ke kancah pergolakan membuat penguasa Eropa pusing dan masalah integrasi migran jadi kedaluwarsa.

Ratusan dari mereka memilih menjadi mujahidin-dalam istilah Barat: jihadist, yang hilir-mudik dari Eropa lewat Turki menuju ajang perang di Alepo, Suriah Utara, serta ladang minyak Kurdi dan Irak. Eropa dengan demikian menyediakan sumber daya baru yang menciptakan kekuatan politik sejak para migran muslim radikal menukar kegalauan mereka selaku minoritas dalam penghidupan yang marginal di Eropa, dengan komitmen juang dan aksi untuk kelompok-kelompok Al-Qaidah, Al-Nusra atau demi cita-cita dari suatu konglomerat politik yang mereka namakan "Khilafah ISIS" (Negara Islam Suriah dan Levant). Paling sedikit 900-an sukarelawan-cum-mujahidin dari Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, dan Prancis telah terjun ke medan perang. Sebagian kembali, sebagian tewas di sana. Keempat pelaku teror di Paris itu pun semuanya terlibat persiapan dan infrastruktur "misi" tersebut.

Walhasil, kelompok migran itu tak lagi terbenam dan terhina di satu dunia, melainkan bangkit serentak di dua dunia. Apa boleh buat, selaku minoritas besar, mereka tak terwakili di parpol, di parlemen, maupun melalui media massa Prancis. Tapi mereka menyimpan kepedulian di kedua dunia mereka. Mirip kakak-adik Tsarnaev yang mencium sikon Chechnia dan Dagestan sebelum mengguncang maraton di Boston, Amerika Serikat, dua tahun silam, Kouachi bersaudara di Paris itu pun bukan serigala-serigala liar yang bergerak sorangan (lone wolves), melainkan bagian dari suatu keterlibatan berjarak-jauh (long-distance engagement) yang intens. Boleh jadi, mereka bukan bagian dari gerakan sektarian dan ekstremis yang sama. Namun, meski dibesarkan di Eropa, keterlibatan berjarak itu "membebaskan" mereka dari kemarginalan di bawah ketiak Republik Prancis.

Mingguan Charlie Hebdo, yang hidup dengan satire, mengolok-olok penguasa, politikus, dan setiap figur otoritas, termasuk paus, nabi, dan siapa pun yang diperlakukan "sakral" berkat otoritasnya, menjadi sasaran. Bagi anak-cucu Voltaire dan Emile Zola, kemerdekaan itu tak bisa ditawar-tawar-sekalipun asas yang sakral bagi yang satu bisa melahirkan provokasi bagi yang lain, meski itu pun tak selalu (dan tak perlu) bermakna penghinaan. Tragisnya, benturan antara kartunis yang berdalih kebebasan berekspresi dan mereka yang membajak nama agama itu menjadi niscaya ketika kedua pihak berimajinasi tentang sebuah sosok simbolik yang sama, "Mahomet", yang sesungguhnya tak seorang pun tahu seperti apa wujud sebenarnya. Dengan kata lain, benturan itu tak perlu terjadi karena dia sebenarnya terjadi atas dasar ilusi belaka.

Dunia tak serta-merta menyamakan ulah para teroris itu dengan "Islam" dan waspada bahwa parade "kebebasan berbicara" itu menyimpan banyak hipokrisi. Hipokrisi dari seruan "Je Suis Charlie" (Saya Charlie) di Paris, tapi membiarkan teror negara, menindas demokrasi dan kemerdekaan berbicara di negeri sendiri, hingga hipokrisi yang mengabaikan tangan-tangan mereka yang memainkan intervensi politik dan bisnis senjata di kawasan-kawasan Timur Tengah dan Afrika, yang pada gilirannya turut menyulut bara di Paris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar