Selasa, 20 Januari 2015

Terimakasih Pak Jokowi, Tetapi…

Terimakasih Pak Jokowi, Tetapi…

Denny Indrayana  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
DETIKNEWS,  19 Januari 2015

                                                                                                                       


Keputusan Presiden Jokowi untuk menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri tentu layak diapresiasi, meski tetap dengan catatan. Apresiasi harus diberikan karena: keputusan itu diambil di tengah tekanan politik yang pasti datang dari segala arah mata angin. Saya pernah bekerja di lingkungan istana, jadi sedikit-banyak saya mengerti bahwa dinamika pengambilan keputusan strategis di Istana sering rumit, sulit, dan penuh tekanan.

Jangan pernah membayangkan, karena Presiden adalah the biggest boss, maka dia pasti bebas dari berbagai tekanan. Justru sebaliknya, karena posisinya sebagai the number one, semua tekanan masalah, semua desakan politik itu akan berujung di pundak sang Presiden. Padahal tidak semua tekanan itu ke arah yang benar, seringkali juga ke penjuru yang keliru. Maka, seorang Presiden yang baik adalah: yang punya kemampuan untuk mengambil keputusan yang benar, dan mampu bertahan dari tekanan yang keliru, meskipun dengan segala resiko politiknya, yang mungkin saja berakibat fatal.

Kita semua mafhum, Presiden Jokowi dikepung dari segala arah terkait pergantian Kapolri ini. Seorang rekan di lingkaran dalam mengatakan, para “broker politik” sedang menagih kontribusinya di Pilpres 2014 kepada Presiden. Cilakanya, tagihan itu berwujud pada pencalonan Kapolri yang terindikasi kuat bermasalah dalam komitmen pemberantasan korupsi. Maka, dengan berempati atas besarnya tekanan politik kepada Presiden Jokowi tersebut, pujian wajib diberikan kepada Beliau ketika memilih keputusan sejalan dengan harapan publik yang benar, yaitu tidak melantik Budi Gunawan. Meskipun, tentu saja putusan demikian tetap mengandung masalah.

Kita paham, dalam pengambilan keputusan yang sarat kepentingan, kebijakan kompromistis seringkali tidak terhindarkan. Tidak jarang itulah solusi terbaik yang tersedia di antara semua opsi solusi yang ada. Namun, dengan tetap memberikan apresiasi atas kebijakan Presiden Jokowi tersebut, izinkan saya memberikan catatan kritis atas keputusan kompromistis demikian, yang biasanya jauh dari ideal.

Jika ditarik mundur ke belakang, seharusnyalah sedari awal Komjen Budi Gunawan tidak diajukan Presiden Jokowi selaku calon Kapolri. Kita tahu benar, KPK telah memberikan warna merah kepada calon menteri yang diseleksi Jokowi. Kita juga mendengar, meski tidak terkonfirmasi karena rahasia, salah satu yang diberi catatan bermasalah adalah Budi Gunawan. Maka, menjadi persoalan mendasar, ketika Presiden Jokowi tetap mengusulkan nama yang bersangkutan sebagai calon tunggal di DPR.

Sehingga, ketika masalah pencalonan Kapolri ini kemudian menjadi persoalan politik-hukum yang rumit, terutama setelah KPK menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka, penyebab utamanya adalah blunder Presiden Jokowi sendiri, yang tidak mampu lepas dari tekanan politik untuk mengusulkan Komjen Budi Gunawan. Karena berangkat dari kesalahan mendasar demikian, maka tidak heran kalau koreksi kebijakan yang dilakukan Presiden Jokowi tetaplah problematik.

Misalnya, kalau kebijakan ideal yang dilakukan, seharusnya Presiden Jokowi sedari awal menarik pencalonan Budi Gunawan. Yaitu seketika itu juga saat KPK menetapkannya menjadi tersangka kasus korupsi. Sehingga Presiden tidak kemudian terjebak pada dilema kesulitan menarik pencalonan yang bersangkutan karena DPR sudah terlanjur menyetujui pencalonan Budi Gunawan. Soal penarikan calon ini pernah terjadi ketika Presiden SBY mengganti pencalonan Panglima TNI Ryamizard Ryacudu – yang diusulkan Presiden Megawati – sebelum DPR terlanjur menyetujui. Meskipun situasinya tidak persis sama, poin saya adalah: penarikan kembali calon pejabat yang diusulkan Presiden ke DPR pernah terjadi, dan tidak ada persoalan dari sisi hukum tata negara.

Namun, karena kebijakan itu tidak dilakukan, maka Presiden menjadi lebih sulit untuk membatalkan pencalonan Komjen Budi Gunawan. Karena UU Polri tidak mengatur penarikan sang calon Kapolri setelah mendapatkan persetujuan DPR.

Pada kondisi demikian, seharusnya Presiden tegas saja dengan tidak melantik dan membatalkan pencalonan Budi Gunawan. Toh, secara ketatanegaraan, sebelum ada penerbitan Keppres dan pelantikan, yang bersangkutan tetap belum Kapolri definitif, tetapi masih dalam proses pencalonan, yang tentu saja tetap wajar wajar jika dibatalkan jika ditemukan persoalan mendasar, dalam hal ini adalah penetapannya sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

Apalagi, sebagai dasar hukum untuk membatalkan pencalonan Budi Gunwan yang telah disetujui DPR, Presiden Jokowi dapat menggunakan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di dalam UU baru tersebut kewenangan diskresi pejabat lebih diberikan dasar pijak. Pasal 1 angka 9 UU tersebut mengatur, “Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”. Lebih lengkap tentang apa, bagaimana, syarat, ruang lingkup dan lain-lain terkait diskresi ini ada dalam Bab 6 UU tersebut. Berdasarkan kewenangan diskresi itulah, Presiden Jokowi berwenang mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya aturan penarikan calon kapolri oleh Presiden setelah adanya persetujuan DPR.

Setelah membatalkan pencalonan Komjen Budi Gunawan, Jokowi mempunyai pilihan lebih luas untuk langsung mengajukan calon kapolri baru lagi ke DPR, atau tetap selama beberapa waktu, paling tidak sampai dengan masa pensiun di Oktober 2015, menugaskan Sutarman tetap sebagai Kapolri. Soal Budi Gunawan sendiri ada pilihan untuk yang bersangkutan lebih fokus kepada kasus hukumnya di KPK dengan menonaktifkan yang bersangkutan dari jabatannya, sesuai ketentuan yang ada dalam pasal 12 ayat (1) huruf e UU KPK.

Sedangkan pilihan Jokowi untuk mengangkat Komjen Badrodin Haiti selaku Pelaksana Tugas Kapolri sebenarnya menyisakan masalah-masalah ketatanegaraan, yaitu:

Berbeda dengan pembatalan pencalonan Kapolri oleh Presiden setelah ada persetujuan DPR yang tidak ada aturannya, maka soal pengangkatan pelaksana tugas Kapolri sudah diatur dalam UU Polri, dan karenanya Presiden tidak bisa menggunakan kewenangan diskresi dalam hal ini. Pasal 11 ayat (5) UU Polri mengatur, “Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Dengan aturan yang jelas demikian, terlihat bahwa kebijakan memberhentikan permanen Jenderal Sutarman sebagai kapolri lalu mengangkat Badrodin Haiti selaku Plt Kapolri adalah tindakan yang tidak sesuai dengan UU Polri. Pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sengaja diatur agak rinci dalam UU, agar institusi Polri tidak mudah disalahgunakan oleh Presiden. Karena itu, kalaupun keadaan mendesak dalam Pasal 11 ayat (5) itu yang dijadikan dasar oleh Presiden Jokowi, harusnya tidak ada pemberhentian permanen pada Sutarman, dan Badrodin Haiti selaku Plt Kapolri tetap dimintakan persetujuan kepada DPR. Jika tidak, maka dalam hal pemberhentian Kapolri dan pengangkatan Plt Kapolri ini, Presiden Jokowi telah melanggar UU Polri. Belum lagi jika ditambah pertanyaan, bukankah Plt Kapolri yang dipilih, sebagaimana Budi Gunawan, juga terkait persoalan rekening gendut?

Sebagai catatan tambahan, meskipun tidak langsung terkait Kapolri, proses penggantian Kabareskrim Komjen Suhardi Alius kepada dengan Komjen Budi Waseso juga harus dipaparkan di sini. Tidak sulit menyimpulkan bahwa pergantian mendadak tersebut adalah akibat dari gonjang-ganjing pencalonan Budi Gunawan yang bermasalah. Amat disayangkan, Presiden Jokowi akhirnya menyetujui proses tersebut, yang berpotensi memperumit koordinasi antara KPK dan Polri yang telah berjalan baik di era Komjen Suhardi. Jangan sampai pengangkatan Plt Kapolri dan Kabareskrim tersebut menjadi pintu masuk ketegangan baru antara KPK dan Polri.

Dengan catatan-catatan kritis demikian, sebaiknya Presiden Jokowi segera melakukan langkah-langkah perbaikan. Langkah meminta persetujuan pengangkatan Plt Kapolri kepada DPR mengandung risiko, yaitu jika DPR menolaknya. Saya lebih memilih dan menyarankan, Presiden tidak hanya menunda pelantikan Budi Gunawan selaku Kapolri, tetapi secara tegas membatalkannya, lalu memulai lagi proses seleksi calon Kapolri dari awal. Kali ini libatkan secara penuh bukan hanya Kompolnas dan Mabes Polri, tetapi juga KPK dan PPATK. Pastikan semua proses berlangsung secara transparan, akuntabel dan benar.

Proses pemilihan Kapolri baru tersebut harus segera dilakukan. Tidak baik membiarkan institusi sepenting Polri dipimpin oleh Plt terlalu lama. Apalagi saat ini soliditas Polri dapat terganggu karena seakan-akan ada tiga orang bintang empat di mabes, yaitu: Jendral Sutarman yang baru akan pensiun di bulan Oktober, Plt Kapolri Badrodin Haiti dan Calon Kapolri Terpilih Budi Gunawan. Maka mempercepat proses terpilihnya Kapolri definitif adalah kewajiban Presiden Jokowi.

Itulah apresiasi, catatan-catatan kritis dan masukan saya. Semoga Presiden Jokowi, yang saya pilih dalam Pilpres 2014 lalu, terus dikaruniai kesehatan dan kekuatan untuk memimpin bangsa ini dan memilih Kapolri yang jelas-jelas bersih dari korupsi. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar