Sabtu, 10 Januari 2015

Senyap

Senyap

Musyafak  ;   Staf di Balai Penelitian dan Pengembangan  Agama Semarang
KORAN TEMPO,  08 Januari 2015

                                                                                                                       


Film Senyap (The Look of Silence) garapan Joshua Oppenheimer layak masuk dalam kaleidoskop sejarah 2014. Film dokumenter berlatar sejarah kelam pembantaian 1965 tersebut melengkapi sudut pandang bagaimana kita memahami sekaligus memaknai sejarah berdarah yang terjadi hampir setengah abad lalu.

Namun ikhtiar “meluruskan sejarah” yang telah dibengkokkan oleh rezim Orde Baru itu masih berhadap-hadapan dengan tekanan kelompok-kelompok tertentu yang tak ingin kebenaran tersebut tersibak terang. Buktinya, acara pemutaran film Senyap di beberapa kampus pada Desember lalu dilarang dan dibubarkan paksa, seperti terjadi di Malang, Yogyakarta, ataupun Padang. Bahkan Lembaga Sensor Film pun melarang pemutarannya, keputusan yang kemudian disesalkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (viva.co.id).

Diakui atau tidak, kata “komunis” masih menjadi label haram jadah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kata “komunis” begitu nyinyir didengar telinga dan kerap diucapkan secara sinis. Komunisme sebagai sebuah paham dalam ilmu sosial-humaniora dipandang secara sempit sebagai gerakan pemberontakan semata sebagaimana gerakan PKI yang dinarasikan sekehendak Orde Baru. Hari ini, orang masih keukeuh menganggap paham komunis tidak boleh berkembang di Indonesia. Agama, juga Pancasila, kerap dijadikan dalil politis untuk membonsai pemikiran-pemikiran komunisme.

Senyap berbeda dengan karya Oppenheimer sebelumnya, Jagal (The Act of Killing) yang menceritakan peristiwa pembantaian PKI dari sudut pandang para pelaku. Senyap mengisahkan pedih-perih sebuah keluarga korban tragedi pembantaian massal yang zaman gelap 1960-an yang berlatar di Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Adi Rukun, tokoh dalam film itu, melihat kebencian mendalam sang ibu terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan sang kakak bernama Ramli. Sekian lama sang ibu hidup di dalam kenangan pahit yang tak berhenti merambat, juga kebencian yang kian menambat di sanubarinya.

Adi menemui para “tukang jagal” saat itu yang masih hidup, di antaranya Inong (komandan pembantaian tingkat desa). Di satu sisi, para mantan pembunuh merasa tidak berdosa dan tidak bertanggung jawab atas penjagalan yang dilakukannya. Dalihnya, pembantaian itu dilakukan sebagai laku membela negara. Di lain sisi, keluarga mantan penjagal itu enggan dikaitkan dengan peristiwa pembantaian PKI tersebut. Justru kata maaf dari mereka kepada Adi menjadi momentum resolusi sosial antara keluarga pelaku dan keluarga korban pembantaian.

Sayang, jika misi rekonstruksi hubungan sosial antara korban dan pelaku pembantaian PKI yang diusung Senyap dilewatkan oleh kalangan penentang film itu. Senyap adalah upaya kultural untuk menyembuhkan luka sosial yang selama ini belum selesai diobati dengan langkah-langkah politik. Kedua sekuel karya Oppenheimer, Jagal dan Senyap, bisa dipahami sebagai ikhtiar “mendialogkan sejarah” agar perspektif generasi terkini lebih lebar dalam memandang sejarah 1965 beserta akibat-akibat yang ditimbulkan.

Senyap memberi tahu kita bahwa korban tidaklah tunggal, yakni orang-orang yang dibunuh atau keluarga yang ditinggalkan. Namun pada waktu yang sama, para Jagal juga korban dari propaganda sebuah rezim yang berhasil memperalatnya untuk memuluskan jalan ke tampuk kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar