Prospek
Perbankan 2015
Paul Sutaryono ;
Pengamat
Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI,
Pengawas Yayasan Bina Swadaya,
Alumnus MM UGM
|
KORAN
SINDO, 03 Januari 2015
Tahun
2015 telah di depan mata. Bagaimana prospek perbankan nasional pada 2015?
Sektor apa yang paling gurih untuk digarap bank nasional? Tak dapat
disanggah, tahun depan akan sarat dengan tantangan.
Pertumbuhan
ekonomi nasional masih bakal melambat. Sekiranya bank sentral Amerika Serikat
(AS) The Federal Reserve alias The
Fed jadi menaikkan suku bunga yang kini mencapai 0,25% menjadi minimal 1%
pada 2015, maka BI Rate yang baru saja naik dari 7.50% menjadi 7,75% amat
dicemaskan akan naik lagi. Likuiditas pun bakal kian ketat sehingga prospek
perbankan nasional belum akan lebih cerah.
Pada
akhir 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan efektif yang berarti persaingan di
sektor perdagangan bakal lebih terbuka dan sengit. Meskipun sektor keuangan
seperti perbankan dan pasar modal baru akan efektif 2020, bank nasional wajib
berbenah diri. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera melakukan
konsolidasi perbankan melalui merger dan akuisisi. Bahkan OJK telah menggodok
cetak biru (blue print) sektor jasa
keuangan yang bertajuk Master Plan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI).
Gurihnya Kredit Mikro
Lantas,
sektorapayangpaling basah untuk digarap bank nasional? Usaha kredit mikro,
kecil dan menengah (UMKM) terutama kredit mikro. Mengapa demikian? Pertama,
peluang masih terbuka lebar. Regulator sering mengimbau bank nasional agar
mampu menembus perbankan internasional dengan membuka kantor di luar negeri.
Seolah bank nasional diminta ambil strategi menyerang seperti dalam laga
sepak bola.
Eit,
tunggu dulu. Jangan hanya menyerang tetapi bank nasional juga harus mampu
bertahan. Nah, untuk itu bank nasional jangan melupakan peluang bisnis yang
selama ini kurang dirawat padahal menghasilkan rezeki yang legit. Apa itu?
Kredit mikro. Bagaimana prospek usaha mikro? Data Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah mencatat bahwa terdapat 55.206.444 unit usaha pada 2012.
Hal
ini terdiri dari usaha mikro 54.559.969 (98,83%), usaha kecil 602.195 (1,09%)
dan usaha menengah 44.280 (0,08%) unit. Dengan bahasa lebih bening, peluang
bisnis kredit mikro begitu luas. Belum banyak bank nasional papan atas yang
melirik sektor sederhana tetapi penuh pesona ini. BRI salah satunya yang
setia menggarap kredit mikro. Tengok saja, pada kuartal III 2014 BRI sanggup
mencetak laba bersih tertinggi Rp18,16triliunmelesat 18% dibandingkan dengan
periode yang sama 2013.
Kredit
mikro itu telah menyumbang cukup signifikan 31,97% dari total kredit BRI.
Kinerja unggul itu jauh meninggalkan Bank Mandiri, BCA dan BNI. Laba bersih
Bank Mandiri mencapai Rp14,45 triliun naik 12,89% dibayangi BCA Rp12,20
triliun melejit 17,70% dan BNI Rp7,61 triliun menebal 16,40%.
Padahal
laba bersih sebagian bank nasional papan menengah justru menipis. Laba bersih
Bank Danamon menurun 30% menjadi Rp2,11 triliun, CIMB Niaga menurun 28,5%
menjadi Rp2,29 triliun, Bank Permata mengempis 6,06% menjadi Rp1,24 triliun
dan Bank Bukopin merosot 8,29% menjadi Rp676,60 miliar. Langkah membumi BRI
itu ternyata telah dibayangi bank lain.
Bank
Mandiri mampu memacu pertumbuhan kredit mikro 31,4% atau Rp32,70 triliun.
Pertumbuhan itu akan lebih digenjot melalui mobil mitra usaha (Mobil MU) yang
diluncurkan akhir November 2014 agar lebih mampu melakukan penetrasi pedesaan
dan perkebunan. Bank Danamon pun telah mengucurkan kredit mikro Rp19,7
triliun. Kedua, sumber pendapatan bunga bersih (net interest margin/NIM).
Tak
dapat disangkal lagi, kredit mikro merupakan sumber NIM tinggi lantaran
menawarkan margin yang sangat tebal. NIM BRI naik 8,25% per September 2013
menjadi 8,78% per September 2014. Angka itu jauh di atas NIM kelompok bank
persero 5,12% dan rata-rata industri yang justru menipis dari 5,46% menjadi
4,21% pada periode yang sama. Sementara NIM bank-bank di ASEAN berkisar 2-3%.
Artinya,
peluang bisnis di dalam negeri masih sangat basah. Ketiga, tidak begitu
sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Kredit mikro itu dikenal sebagai
sektor yang tidak begitu sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Dengan bahasa
lebih tegas, berapapun kenaikan suku bunga kredit ya tetap akan diambil. Maka
menjadi tidak mengherankan ketika suku bunga kredit mikro masih bertengger di
sekitar 30%.
Kelak
manakala suku bunga kredit mikro naik karena BI Rate naik dari 7,50% menjadi
7,75%, kredit mikro tetap berjaya. Amati saja suku bunga rata-rata kredit
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang selama ini rajin mengelola kredit mikro.
Statistik
Perbankan Indonesia (SPI) mencatat suku bunga rata-rata BPR menipis dari
29,61% per Agustus 2014 menjadi 29,55% per September 2014 untuk kredit modal
kerja dan dari 25,49% menjadi 25,47% untuk kredit konsumsi. Sementara itu,
suku bunga ratarata kredit investasi justru menebal dari 25,89% menjadi
25,97%. Oleh sebab itu, OJK akan menetapkan batas atas premi risiko (risk premium) khusus untuk kredit
mikro.
Siap Siaga
Namun,
ingat, bank nasional wajib pula menjaga rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) supaya tetap
rendah. SPI menunjukkan NPL bank umum naik dari Rp58,61 triliun (1,86%) per
September 2013 menjadi Rp81,68 triliun (2,29%) per September 2014. Itu
peringatan keras bagi bank nasional untuk meningkatkan kualitas kredit.
Bagaimana
kiatnya? Memperkaya pengetahuan dan keterampilan analis kredit (credit officer/CO) sehingga
menghasilkan analisis yang akurat. Bank nasional pun perlu meningkatkan
jumlah pemasar yang andal untuk mampu mencapai target tinggi dan menggalakkan
penagih agar pembayaran angsuran selalu lancar. Apalagi, wong cilik itu lebih patuh dalam memenuhi kewajibannya.
Alhasil,
kredit mikro bakal menjadi primadona pendapatan bank nasional. Dengan
mengucurkan kredit mikro, bank nasional otomatis telah ikut memberdayakan
ekonomi rakyat agar lebih perkasa. Peningkatan penyaluran kredit mikro akan
menekan tingkat pengangguran terbuka yang kini mencapai 5,70% per Februari
2014. Bank nasional pun bakal meraih laba signifikan. Sungguh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar