Pejuang,
Alat Kekuasaan, dan Demokrasi
Iwan Santosa ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 05 Januari 2015
SEJARAH
mencatat, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran
lembaga intelijen. Di bawah kepemimpinan Zulkifli Lubis, lembaga intelijen
Indonesia turut menjadi salah satu tulang punggung perjuangan kemerdekaan
Indonesia dalam kurun 1945-1949.
Namun,
setelah Republik Indonesia kokoh berdiri, berbagai agenda politik dan
kepentingan merasuki lembaga intelijen. Saat itu mulai muncul juga istilah
”intel Melayu”.
Sejarawan
Bonnie Triyana mengatakan, Kolonel Zulkifli Lubis dengan lembaga Badan
Rahasia Negara Indonesia (Brani) berjibaku mencari kertas untuk penerbitan
media dan propaganda kontra Belanda semasa perang kemerdekaan RI.
”Bahkan,
kertas untuk koran Merdeka pimpinan BM Diah dipasok lembaga intelijen kita.
Semua dikerjakan tanpa pamrih untuk membuktikan Indonesia masih eksis seiring
dengan perjuangan para diplomat Indonesia di New York dan penjuru dunia
lain,” kata Bonnie.
Namun,
lanjutnya, masalah mulai timbul seusai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh
Belanda pada Desember 1949. Saat itu, faksi-faksi politik Indonesia tidak
lagi memiliki musuh bersama. Seperti diungkapkan Peter Kasenda dalam buku
berjudul Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD, saat itu, kelompok
intelijen-militer mulai bermain dalam pelbagai petualangan. Hal itu mulai
dari peristiwa Oktober 1952 ketika Angkatan Darat mengepung Istana,
PRRI/Permesta, hingga upaya pembunuhan terhadap Bung Karno di Cikini yang
dituding terkait dengan Zulkifli Lubis.
Pada
1952-1958, matra militer dan kepolisian masing-masing memiliki lembaga
intelijen sendiri dan tidak ada lembaga yang menjalankan koordinasi fungsi
intelijen. Untuk mengatasi hal ini, tahun 1958, dibentuk Badan Koordinasi
Intelijen (BKI). Soebandrio lalu mengubah BKI menjadi Biro Pusat Intelijen
(BPI) sekaligus memimpin lembaga itu.
Setelah Orde
Lama berakhir, pemerintahan Orde Baru mendirikan Komite Intelijen Negara pada
1966 dengan dipimpin Brigjen Yoga Soegomo. Kelak, lembaga itu menjadi Badan
Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan kini dikenal dengan Badan Intelijen
Negara (BIN).
Era Orde Baru
mendudukkan lembaga intelijen, terutama Bakin, menjadi alat kekuasaan. Orde
Baru dengan efektif memanfaatkan jejaring intelijen untuk memperkuat
kekuasaan dan menyingkirkan lawan politik. Salah satu warisan Orde Baru pada
dunia intelijen adalah dikenalnya istilah ”intel Melayu” yang menimbulkan
citra agen intelijen yang serampangan dalam bertindak di tengah masyarakat.
Menapaki era
Reformasi yang berlandaskan pada hukum dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia (HAM), perubahan mulai berjalan di lembaga intelijen.
Munir
Namun,
Krisbiantoro dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras) mengingatkan, kasus pembunuhan aktivis HAM Munir pada 2004 diduga
melibatkan lembaga BIN.
”Dalam
persidangan dengan terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto dalam perkara
pembunuhan Munir, Direktur Garuda (saat itu) Indra Setiawan mengaku menerima
surat tugas Pollycarpus selaku agen BIN ke kantor Garuda. Nama, lembaga BIN
juga disebut dalam rekaman telepon antara Pollycarpus dan Indra yang dibuka
di persidangan,” papar Krisbiantoro.
Krisbiantoro
menambahkan, dalam berita acara pemeriksaan Budi Santoso yang merupakan
bawahan Muchdi PR (Deputi V BIN pada saat Munir terbunuh) juga disebutkan,
Budi Santoso melihat Pollycarpus di kantor BIN dan sempat menerima surat
tugas Pollycarpus ke Garuda. Hal ini karena Muchdi minta Budi Santoso
mengecek surat tugas tersebut. ”Namun, Budi Santoso tidak pernah dihadirkan
di sidang pengadilan dengan alasan bertugas di Pakistan,” katanya.
Dalam vonis
hakim terhadap Pollycarpus, lanjut Krisbiantoro, juga tidak disebutkan
keterlibatan lembaga BIN dalam perkara itu. Isi putusan tersebut hanya
menyatakan, ada tindak pidana penyertaan dalam kasus pembunuhan Munir dan
Pollycarpus tidak bertindak sendiri.
Politik
Anggota DPR
periode 2009-2014, Susaningtyas Nefo Kertopati, mengatakan, dalam rezim
pemerintahan, kepala lembaga intelijen menjadi salah satu posisi vital.
Sebelum
Pemilu Presiden 2014 berlangsung, Kepala BIN Letjen (Purn) Marciano Norman
menegaskan, BIN merupakan lembaga sipil dan semakin manusiawi dalam kerja
intelijen yang terdiri dari mengumpulkan data, melakukan analisis, dan
memberikan masukan kepada penggunanya, yakni Presiden RI. Keberhasilan Pemilu
2014 adalah bukti suksesnya kerja intelijen, termasuk BIN sebagai lembaga
koordinator.
Namun,
pengamat keamanan dari The Habibie Centre, Bawono Kumoro, mengingatkan, reformasi
intelijen harus tetap dikawal. Ia berharap BIN tak menjadi alat untuk
kepentingan politik tertentu. Pimpinan BIN harus mempunyai jarak terhadap
semua golongan sehingga bisa jernih menyaring informasi dan mempunyai rekam
jejak yang bebas dari dugaan pelanggaran HAM.
Harapan ini
muncul karena lembaga intelijen diduga cenderung menjadi alat bagi siapa pun
yang menjadi presiden. Lembaga intelijen bukan alat untuk memberikan dasar
strategis kebijakan bagi upaya memperjuangkan nasib bangsa Indonesia.
”Pimpinan BIN
selama ini cenderung dipilih karena kedekatan dengan presiden. Sebagai
contoh, AM Hendropriyono yang dekat dengan Megawati Soekarnoputri terpilih
memimpin BIN saat Megawati jadi presiden. Demikian pula mantan Kapolri
Jenderal (Purn) Sutanto diangkat jadi Kepala BIN oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang merupakan rekan seangkatannya saat di Akademi Militer.
Marciano Norman juga cukup dekat dengan Yudhoyono,” tambah Bawono.
Guna
mewujudkan lembaga intelijen yang diharapkan, Bonnie mengusulkan dibentuknya
komisi intelijen di DPR seperti di Senat AS. Dengan demikian, kerja intelijen
bisa dipertanggungjawabkan dan masyarakat mengerti bahwa sudah terjadi banyak
reformasi di lembaga itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar