Menghukum
Mati Koruptor
Mardiansyah SP ; Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI) Jakarta;
Kader Partai Perindo
|
KORAN
SINDO, 01 Januari 2015
Ungkapan China yang mengatakan hanya ada dua tempat yang tidak
mengenal suap, yaitu neraka dan Hakim Bao, boleh jadi benar adanya. Indonesia
misalnya, sejak reformasi digulirkan 1998 sampai kini memasuki usia yang
ke-12 ternyata masih belum lepas dari gurita suap, kolusi, nepotisme, dan
korupsi.
Perihal korupsi oleh para koruptor sesungguhnya dipicu oleh
adanya kekuasaan dengan kewenangan diskretif yang tak terkontrol disertai
dengan lemahnya pengawasan, atau lazim kita kenal dengan power tends to
corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.
Akhir-akhir ini, berbagai pendapat dan ulasan pemikiran makin
marak menyoroti penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia bahkan
langsung merujuk pada penerapan hukuman mati seperti di China. Kita ketahui
bahwa dalam sejarah perjalanan bangsa China memang banyak diwarnai dengan
penerapan hukum dan aturan yang silih berganti dalam setiap dinasti.
Menurut Ivan Taniputera dalam History of China (2009) dikenal
adanya reformasi pemerintahan Dinasti Qin yang dicetuskan oleh Shang Yang.
Sebagai penganut legalisme, Shang Yang menerapkan hukum dengan tegas sebagai
landasan pembangunan negara tanpa pandang bulu sesuai dengan undang-undang
yang berlaku. Lebih jauh, penerapan hukuman yang tegas sampai pada hukuman
mati juga bisa dipelajari pada masa Dinasti Song (Hakim Bao Zheng).
Namun, apa sesungguhnya yang bisa kita petik dari kisah hukuman
mati dalam sejarah China tersebut? Ada dua hal penting yang perlu disadari
dan dipahami kita di Indonesia bahwasanya hukuman mati tersebut bisa berlaku
dan berjalan efektif karena adanya dua hal, yaitu: (1) kepastian hukum yang
diterapkan adil bagi siapa saja; (2) sosok pemimpin dan kepemimpinannya yang
menakhodai penegakan hukum tersebut.
Ketegasan hukum Shang Yang maupun Bao Zheng tidak lepas dari
kuatnya sosok penegak hukum yang inheren dalam setiap proses kepemimpinan
mengambil keputusan, baik dalam memberikan hukuman maupun imbalan/penghargaan
(reward and punishment). Kalau
demikian alur pikir yang kita gunakan, lalu bagaimana seyogianya proses
penghukuman bagi koruptor di Indonesia? Sampai pada menghukum matikah?
Efek Jera Hukuman
Perilaku koruptif yang telah membudaya di Indonesia tidak lain
disebabkan oleh hilangnya efek jera yang semestinya ditimbulkan dari proses
menghukum. Teori deterence (efek jera) sebagai doktrin sistem peradilan
pidana di Indonesia menjelaskan tiga hal yang menyebabkan suatu hukuman
memiliki efek jera: Pertama, kesegeraan suatu tindakan (salarity); kedua, spesific deterence yang menegaskan kepastian
suatu perbuatan (certainty); dan
ketiga, pembebanan (severaty) yang
memberikan hukuman secara adil sesuai dengan perbuatannya.
Demikian halnya hukuman
mati bagi koruptor, setidaknya dapat memenuhi tiga unsur di atas sehingga
proses menghukum dimaknai sebagai rangkaian tindakan dari awal sampai akhir
(keseluruhan proses prosedural dan substansial) yang dapat menimbulkan efek
jera. Indonesia bersama 55 negara lainnya yang masih menerapkan hukuman mati
(menurut Amnesty International and hands off Cain, 2007) perlu mengkaji lebih
dalam tentang penerapan hukuman mati untuk para koruptor.
Pasalnya, sepanjang permasalahan utama kepastian hukum belum
mampu diwujudkan, menghukum mati seseorang hanya akan ditafsirkan sebagai
tindakan kejam tidak manusiawi yang belum memberikan dampak jera bagi orang
lain dan masyarakat. Belum lagi, untuk memahami hukuman seharusnya diletakkan
pada kerangka utuh rangkaian proses baik secara prosedural maupun
substansial.
Bukan semata seseorang diproses, lalu berakhir dengan target
dijatuhi hukuman, tapi juga proses-proses substansial yang menyertainya
seperti sanksi moral dan sosial dari lingkungan masyarakat. Pemahaman
“menghukum” secara utuh inilah yang patut dikembangkan dan dimaknai oleh
publik sehingga proses dihukum akan memberi efek pembelajaran bagi yang
menjalaninya sekaligus menimbulkan efek jera bagi orang lain (general deterence).
Jadi makin jelaslah, kejeraan suatu hukuman akan sangat
tergantung dari tingkat kepastian hukum yang mampu diwujudkan. Tanpa
kepastian, mustahil hukuman apapun yang diberikan (termasuk hukuman mati)
akan membawa efek jera.
Kepemimpinan Menghukum
Mati
Diskursus penanggulangan korupsi melalui salah satunya penerapan
hukuman mati tidaklah semudah yang diwacanakan dapat terealisasi. Dari segi
aturan Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, para
koruptor dimungkinkan dikenai ancaman pidana hukuman mati.
Namun, dalam implementasinya tidak bisa serta-merta digunakan
karena masih menyisakan perdebatan panjang yang harus diselesaikan terlebih
dahulu. Meski dari ranah legal formal hukuman mati bagi koruptor
dimungkinkan, alangkah baiknya perdebatan itu kita arahkan pada ranah yang
lebih konstruktif, yakni akar permasalahan perilaku korupsi itu sendiri.
Apa sebab masyarakat begitu kuat menginginkan korupsi
diberantas, bahkan sekalipun dengan cara menghukum mati? Mengapa masyarakat
sangat membenci perilaku koruptif seakan-akan terpuaskan bila pelakunya sudah
dihukum mati? Tentu saja jawaban tidak an sich untuk memberikan efek jera.
Tetapi lebih dari itu, yang dalam pemahaman saya mungkin saja menghukum mati
para koruptor adalah salah satu bentuk “pelarian” masyarakat (way out for the hope) yang telah
jengah, jenuh dan letih atas potret penegakan hukum kita di Indonesia.
Publik berpikir bahkan menjustifikasi bahwa dengan menghukum
mati koruptor akan lahir setidaknya secercah harapan baru keluar dari kemelut
penegakan hukum yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakadilan. Dalam
konteks memformulasikan harapan publik tersebut, kepemimpinan mewujudkan
kepastian hukum menjadi kuncinya.
Hukuman mati hanya mungkin diterapkan di Indonesia oleh adanya
kepastian hukum yang lebih dulu diwujudkan melalui kepemimpinan yang kuat. Di
tingkatan legislatif, kepemimpinan politisi DPR dan DPD dalam mendorong
kepastian hukum amat menentukan pilihan politik bangsa ini terhadap penerapan
hukuman mati.
Di bagian lain pada tataran eksekutif, kepemimpinan pemerintah
dalam hal ini Presiden juga memegang peranan penting dalam menjamin kepastian
hukum agar dapat menjawab “kegundahan” masyarakat yang sudah apatis terhadap
upaya dan proses penegakan hukum selama ini. Lantas, kalau boleh
berandai-andai Indonesia masa depan di kala kepastian hukum sudah mampu
ditegakkan, masih perlukah hukuman mati untuk sang koruptor? Mari kita
renungi bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar