Minggu, 25 Januari 2015

Memberadabkan Kembali Negara

Memberadabkan Kembali Negara

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 24 Januari 2015

                                                                                                                                     


SEBUAH tulisan di Kompasiana (17/1), berjudul Rumah Kaca Abraham Samad memantik kontroversi. Penulisnya menceritakan adanya pertemuan yang dilakukan Abraham dengan petinggi partai politik terkait proses pencalonannya sebagai cawapres pada Pilpres 2014.Abraham disebut-sebut melakukan pendekatan dengan petinggi PDIP dalam enam pertemuan rahasia untuk dijadikan cawapres Jokowi.

Abraham sudah mengklarifikasinya dengan menganggap tulisan tersebut fitnah. Menurut juru bicara KPK Johan Budi, tak ada yang salah bagi komisioner untuk melakukan pertemuan dengan siapa pun. Yang penting adalah substansi pertemuan tersebut. Senada dengannya mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan pertemuan tersebut sebuah kewajaran. Hanya, menurutnya, tak baik bagi seorang penegak hukum untuk memberikan janji-janji (Metrotvenews.com, 22/1).

Berselang waktu kemudian Plt Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, justru membenarkan tulisan tersebut. “...bahwa banyak pertemuan yang dilakukan sekurang-kurangnya dengan para petinggi kedua parpol (PDIP dan NasDem) dalam kaitan dengan pencalonan Abraham Samad sebagai calon wakil presiden,“ kata Hasto di eks kantor tim sukses pemenangan Jokowi-JK, Jalan Cemara, Jakarta Pusat (22/1). Ia pun sudah menyiapkan bukti-bukti antara lain berupa foto-foto pertemuan yang akan di sampaikannya di Komisi Etik.

Belum reda kontroversi `rumah kaca', sebuah kejut an mencuat terkait penangkapan mendadak terhadap Komisioner KPK, Bambang Widjojanto (BW) oleh Badan Reserse Kriminal Polri (23/1). BW diduga menyuruh saksi memberikan keterangan palsu di persidangan MK terkait kasus pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2011.BW dianggap memiliki konflik kepentingan dengan pasangan calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Tapanuli Tengah nomor urut tiga, Dina Riana Samosir dan Hikmal Batubara, karena pernah menjadi kuasa hukum pasangan tersebut. Namun, penangkapan BW dianggap menabrak prosedur karena ia belum pernah diperiksa sebelumnya. Dalam pertemuan di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo pun menegas kan tak boleh ada saling gesek di antara KPK dan Polri (Metro tvnews.com, 23/1).

Publik khawatir

Mirisnya, fenomena di atas terjadi di tengah hujan lebat dukungan publik terhadap marwah komisi antirasywah.Publik dengan akal warasnya tentu tak ingin KPK yang selama ini memiliki kewenangan super terseret dalam pusaran pragmatis. Kita tahu spirit dasar terbentuknya KPK di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri ialah mendesain sebuah lembaga super body yang memiliki kewenangan investigasi yang steril dari intervensi politik apa pun (Widyoko, 2012: 237).

Pada saat itu lembaga penegak hukum konvensional yang ada masih kesulitan untuk menjalankan fungsinya. KPK pun hadir ketika struk tur negara modern memfasilitasi produksi, distribusi dan konsumsi material (fulus, barang, jasa) berada sepenuhnya dalam otoritas politik atau dalam kewenangan penyelenggara negara. Pada kekuasaan yang bersifat akumulatif ini, terjadi resiprokal kepentingan di kalangan birokrasi, swasta, lembaga politik maupun peradilan lewat berbagai pola upeti, balas jasa, manipulasi suara maupun metode-metode buruk lain untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan.

Dengan dituntun oleh maksim kesejahteraan diri/parsial, kalangan tersebut mendesain monopoli kewenangan koruptif dan diskresi rawan korupsi untuk membangun jaringan yang rapi dan terstruktur agar hubungan transaksi ilegal dapat berlangsung jangka panjang demi keberlangsungan karier kriminal mereka (Lambsdorf, 2007). Itu sebabnya pencegahan habitus korupsi butuh ketekunan dan militansi karena ia telah menginternalisasi di tubuh negara sebagai sebuah way of life (cara hidup) yang mendapat pembenaran oleh kinerja institusi hukum dan partisipasi publik yang belum maksimal.Kini, pedang antikorupsi yang sudah diasah bertahun-tahun oleh KPK sedang diuji ketajaman dan objektivitasnya. 

Mungkin sebagian kita tidak memercayai `demam' reputasi bisa diidap KPK dengan jejak rekam orang-orang yang piawai hukum dan berintegritas. Namun, KPK berisi manusia biasa juga. KPK membutuhkan afirmasi dan pengawalan publik untuk menunjukkan sejauh mana posisinya dalam sentra pemberantasan korupsi masih on the track.

Yang pasti, fenomena di atas membantu kita untuk memungut dua hikmah penting. Pertama, maraknya indikasi politisasi hukum dalam berbagai kasus korupsi merupakan kelemahan dari spirit pemberantasan korupsi kita yang selalu merujuk pada `tekanan' good governance (Khan, 2006 dan Putra 2009). 

Pemberantasan korupsi dijadikan sebagai proyek yang menekankan efisiensi, efektivitas, dan kemurnian kompetisi dalam pasar. Korupsi harus ditekan agar tercipta ruang bagi terja minnya investasi. Korupsi diberantas bukan karena memang ia dapat merusak moral termasuk kohesivitas dan modal sosial, tetapi supaya investor dapat dengan mudah menanamkan investasinya sehingga bisa memberikan profit bagi negara (kekuasaan) termasuk bagi kaum prokapitalis.

Akibatnya, gerak penindakan korupsi tidak pernah mampu mengembalikan kerugian negara secara maksimal karena dilakukan secara tidak tulus dan diskriminatif. Banyak produk hukum yang terlihat sumbing dan menggerogoti rasa keadilan publik karena lebih mencerminkan kepentingan ideologis dan politik. Ke depan, selain dibutuhkan institusionalisasi pencegahan, eliminasi korupsi juga butuh transformasi gerakan kolektif akar rumput yang mengontrol dan menekan elite struktur kekuasaan untuk menjalankan prinsip pemerintahan yang bersih. Ia semacam patungan keringat seluruh elemen masyarakat untuk melawan berbagai praktik ketidakadilan dalam pelayanan publik yang merupakan embrio lahirnya korupsi. Dengan demikian, habitus korupsi tidak sekadar menjadi kesadaran mekanik, tetapi menjadi sebuah kesadaran kolektif yang berdaya tahan lama.

Sinergis

Kedua, segala persekongkolan kepentingan yang coba disembunyikan kelak akan tersibak juga di tengah arus besar demokrasi yang kian kencang mencari titik pelembagaannya. Karena itu, dua dugaan kasus di atas perlu dicarikan solusi yang cepat dan bijak. Dalam kontroversi `rumah kaca' perlu diungkap seterang-terangnya agar tak ada dusta di antara para pejabat publik dan politisi. Sebab jika tidak, ia bisa menjadi bola salju liar yang berpotensi melahirkan kegaduhan dan perseteruan di antara lembaga negara.Saran Editorial Media Indonesia (22/1), terkait perlunya komisi etik, untuk mengungkap seterang-terangnya dugaan pelanggaran tersebut sangat tepat agar masalah ini tidak menjadi bola liar di tengah masyarakat yang tengah gundah.

Bagaimanapun semangat pemberantasan korupsi tidak boleh dipadamkan. KPK, Polri, dan kejaksaan tanpa spirit egosektoral, beserta seluruh elemen rakyat perlu merajut sebuah sinergisitas baru untuk memberadabkan negara dengan menyelamatkan bangsa ini dari perangai patologis korupsi. Nilai kebaikan dan etis hanya bisa terwujud jika para pucuk pimpinan di tiap-tiap lembaga negara mampu mengendalikan diri serta memberikan teladan yang positif dalam mengelola fungsi dan tanggung jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar