Matematika
dan Defisiensi Pendidikan
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 05 Januari 2015
APABILA suatu
kali kita mengajak anak ke kebun binatang dan meminta mereka menghitung
jumlah semua binatang dalam kandang monyet, burung kakaktua, ular, dan buaya,
tentu kita tak minta mereka memilih lebih dulu menghitung jumlah jenis
binatangnya atau jumlah binatang di tiap kandang. Pembelajaran macam itu
tidak saja menciptakan kebingungan, tetapi lebih jauh lagi menyesatkan cara
anak kita mengomprehensi secara utuh kenyataan/ kehidupan di sekelilingnya.
Matematika,
saya kira, juga bukanlah harga mati dari sebuah dasar penalaran yang berbasis
antara lain pada diferensiasi makna atau definisi antara simbol praksis dan
teoretis. Apalagi sesatnya anggapan umum yang menyatakan matematika adalah
dasar pengetahuan, landasan dari kapasitas nalar atau logika seseorang, untuk
bisa memiliki kapabilitas menjelaskan apa pun deretan fakta atau fenomena di
sekeliling kita.
Tampaknya ada
semacam premis dasar yang telah bergeser menjadi semacam keyakinan yang
sekian lama kemudian bernuansa mitis, bahkan mistis, yang menempatkan
matematika sebagai ”ratu” atau ”ibu” ilmu pengetahuan. Keyakinan ini
diperkuat Roger Bacon, yang dengan tegas menyatakan, tak ada hal apa pun di
dunia ini dapat kita pahami tanpa memiliki pengetahuan tentang matematika.
Kemafhuman
umum yang sudah jadi mitos ini sudah selayaknya dikoreksi. Nalar, bahkan
logika dalam pengertian logosentrisme (Eropa) Oksidental sekalipun,
sebenarnya sudah sejak lama memosisikan matematika hanya sekadar bagian dari
bangunan pemikiran atau kerja akal-intelektual kita. Tidak hanya karena
matematika butuh presisi bahasa yang ”kaku” (rigor) sehingga lumpuh dalam mengapresiasi kelenturan hidup,
tetapi juga—seperti dikatakan Popper—ia hanya menghasilkan semacam
hipotesis-deduktif, yang karena kodratnya itu ia cocok dengan ilmu pasti yang
dipenuhi oleh ”dugaan-dugaan” (conjectures).
Tidak
mengherankan jika seorang Margot Asquith—salah satu wanita paling cerdas yang
pernah dilahirkan di Inggris abad ke-20—menyatakan, sisi matematikal dalam
pikirannya seperti notasi buruk dari piano yang rusak. Bahkan jauh pada masa
lalu, pada masa purba filsafat Yunani, Plato yang hidup mendahului Euclides,
salah satu nenek moyang terbesar dalam matematika (geometri, setidaknya)
sudah berkomentar bahwa ia hampir tidak pernah kenal seorang pun matematisian
yang punya kemampuan untuk melakukan penalaran.
Dalam bahasa
yang satirik, JW v Goethe menganalogikan matematika seperti orang Perancis,
yang mengubah apa pun ke dalam bahasanya sendiri lalu menjelaskan artinya
dalam makna yang berbeda. Atau secara sarkastik, pionir fiksi fantastis asal
Irlandia, Lord Dunsay, memandang matematika seperti anggur yang segera
kehilangan nikmatnya begitu Anda meminumnya secara berlebih. Dan, saya kira,
akhirnya, Einstein-lah yang perlu kita camkan bersama saat ia mengatakan,
”Sejauh-jauh matematika merujuk kenyataan ia tak pasti, dan apabila pasti, ia
tidak merujuk kenyataan.”
Bum! Mitos
matematika sebagai dasar nalar memahami hidup remuk oleh dewa ketidakpastian
penggemar biola, kucing, dan cangklong itu. Meyakini matematika sebagai modal
utama kita berpikir logis, tidak hanya seperti menunggang kuda dengan satu
pedal, tetapi juga membuat sebagian hidup kita menderita kekosongan permanen.
Generasi buta
Bagaimana
posisi, peran, dan fungsi matematika dalam kehidupan kita bernalar atau
bersosiokultural di atas hanyalah sebagian dalam persoalan dunia pendidikan
di negeri kita. Persoalan itu adalah anak-anak atau generasi muda kita
ternyata dididik untuk menggunakan satu cara yang tidak adekuat untuk
memahami eksistensi dan (kenyataan) hidup di sekelilingnya. Lantaran cara itu
tidak cukup komprehensif untuk mampu mencerap hikmah dari semua dimensi yang
terendam dalam eksistensi atau realitas yang mencakupnya.
Akibatnya
tercipta satu jurang lebar berisi kehampaan (adab) yang luar biasa. Di mana
dalam praksis hidup, ia bisa menjadi lubang jebakan yang mengerikan bagi
anak-anak negeri ini ketika mereka terpenggal-penggal dalam upaya memahami
makna atau hikmah keberadaan dan hidupnya di dunia ini. Sebuah keadaan yang
telah menjadi kenyataan—sekurangnya setengah abad terakhir—dan melahirkan
generasi-generasi dengan sebagian mata (fisik, intelektual, dan batin)-nya
cacat. Sebagai dampak lanjutan, sekurangnya dua generasi muda negeri ini
mengalami semacam kerancuan akut akan nilai-nilai luhur dan moralitas yang
menjadikannya manusia atau sebuah bangsa.
Inilah yang
saya sebut sebagai defisiensi atau kekosongan dalam dunia pendidikan kita,
yang harus saya nyatakan berlangsung bahkan sejak pendidikan anak usia dini
(PAUD) hingga level posdoktoral. Situasi itu terjadi ketika modul-modul,
silabus, hingga kurikulum bersama semua peralatan keras pendidikannya semata
mengacu pada yang ada dan telah dipraktikkan oleh sistem pendidikan di
(Eropa) Barat, notabene pendidikan berbasis adab dan budaya kontinental.
Itulah pendidikan yang dilandasi oleh satu rasionalisme atau sistem logika
yang positivistis-materialistis, yang matematika juga menjadi variabel kunci
di dalamnya.
Defisiensi
itu terjadi ketika sistem pendidikan tersebut, pertama, mendasarkan dirinya
pada dominasi tunggal atau kedigdayaan (hanya) salah satu elemen dari kodrat
kemanusiaan kita: akal! Maka, orang Indonesia yang banyak mengandalkan ”rasa”
akan mengalami kegagalan eksistensial karena ia berlawanan dengan modus
eksistensial yang oleh Ambroce Bierce, penyair ternama AS awal abad ke-20,
dipelintir jadi adagium yang sinistik, ”Aku berpikir aku berpikir, karena itu
aku pikir aku ada.”
Kedua,
materialisasi pengetahuan, terutama ketika ia menjadi ilmu ilmiah (sains),
meluputkan kita dari kemampuan untuk melihat dimensi nonfisis atau nonnatural
dari setiap obyek, subyek, atau fenomena yang ada di sekitar hidup kita.
Sebuah kesadaran yang belakangan kian meruang di tingkat global, tentang
”kenyataan-kenyataan” yang ada di luar, di atas, ”meng-atas-i”, atau hyper
dan supra dari yang ”natural”.
Ketiga,
jurang atau kesenjangan di atas pada akhirnya membuat kita invalid, bahkan untuk
mengenali dan memahami kenyataan kemanusiaan kita dalam konteks-konteks
lokal, baik yang tradisional atau primordialnya.
Kurikulum ideologis
Maka,
akhirnya, defisiensi pendidikan ini pun melahirkan manusia-manusia yang
defisien: manusia cacat yang tidak lengkap karena absennya beberapa variabel
kunci dalam cara kita mengomprehensi diri dan realitas hidupnya. Manusia
defisien inilah yang akan mengalami frustrasi atau depresi eksistensial
ketika harapan dan keinginan para orangtua atau sistem yang ”meng-orangtua”
(paternalistik) ditimbunkan, lalu jadi tekanan bahkan represi bagi anak-anak
muda kita. Wajar jika kemudian gadgets dari teknologi modern bersama semua
program, perangkat lunak, atau fitur-fiturnya menjadi ”orangtua” yang lebih
memahami mereka, atau sekurangnya menjadi teman dalam keyatimpiatuan kultural
mereka.
Defisiensi
pendidikan seperti ini akan selamanya mengalami kegagalan dalam menengarai
potensi atau kapasitas dari subyek dan obyek didiknya. Itu karena hampir
semua subyek dan obyek tersebut sebenarnya menyimpan semacam kecerdasan yang
tak dapat diukur standar atau acuan-acuan ilmiah atau akademis. Kecerdasan
yang, katakanlah, tradisional atau primordial, yang tak hanya diremehkan dan
dilecehkan, tetapi juga distigmatisasi begitu negatifnya sebagai sebuah
kelampauan, kepurbaan yang padat dengan mistik dan klenik.
Sementara
sesungguhnya kecerdasan terakhir ini telah memberi bukti dalam sejarah
bagaimana daya kerja, kreativitas, dan produktivitasnya tidak saja
mengimbangi, tetapi bahkan mampu melampaui atau menundukkan kecerdasan
modern, yang ilmiah, yang matematis, yang kontinental itu. Katakanlah sebuah
misal, bagaimana sistem pendidikan kita setengah abad belakangan mampu
menciptakan figur-figur besar yang dibesarkan lebih oleh kecerdasan
primordialnya (otodidak) ketimbang kecerdasan modernnya, macam M Yamin,
Soekarno, Adam Malik, Agus Salim, Hamka, Mochtar Lubis, hingga Ali Moertopo,
Soeharto, bahkan Gus Dur. Fenomena mutakhir seperti Jokowi yang hanya
”insinyur kehutanan” sebagai formasi akademik/ilmiahnya?
Tampaknya
harus mulai kita sadari, defisiensi pendidikan ini bukan sekadar ”kebebalan
kontinental” dari para pengambil kebijakan pendidikan kita (yang rata-rata
wajib ber-”guru besar” dalam format pendidikan kontinental itu, yang mengabaikan
”sistem” atau metode pengajaran tradisional maritim kita), tetapi sistem
pendidikan kita itu sesungguhnya sangat dipengaruhi kepentingan-kepentingan
politis dan ideologis tertentu. Kepentingan yang berlatar jauh, di mana
sejarah ilmu mengajarkan bagaimana pengakuan dan diseminasi dari sebuah ilmu
sebenarnya berlangsung melalui pertempuran politik, di mana ideologi sembunyi
di dalamnya.
Senaif atau
sespekulatif apa pun proporsi pamungkas ini taklah buruk jika menjadi bahan
pertimbangan atau pencarian alternatif bagi bangsa dan generasi-generasi yang
memikul tanggung jawabnya di masa nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar