Kemarahan
yang Membutakan
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 04 Januari 2015
Rasa marah
yang menggebu adalah ungkapan dorongan agresi. Ungkapan ini sebenarnya dapat
dijadikan tantangan bagi diri kita untuk lebih memahami siapa diri kita
sebenarnya. Rasa marah menuntut kita secara berkelanjutan menyalahkan orang
lain yang kita anggap sebagai penyebab masalah. Namun, rasa marah biasanya
gagal membangkitkan kebahagiaan dalam diri kita. Kita merasa punya tugas
untuk membuat orang lain berubah sesuai dengan kehendak kita, yaitu dalam
sikap, cara berpikir, merasakan, dan berperilaku.
Kita juga
tidak bisa membiarkan dan menerima dengan sikap pasif apa yang dilakukan
orang yang kita cintai. Dalam kenyataannya sikap ”hidup dan membiarkan
kehidupan berjalan begitu saja” bisa menjadi pertanda dari kondisi posisi
kita sedang berada dalam proses ”penurunan harkat jati diri” kita.
Dengan kata
lain, kita gagal memperjelas apa yang tidak kita inginkan dalam relasi yang
terjalin dengan pasangan tercinta. Isu terpenting dalam hal ini adalah
bagaimana cara kita untuk memperjelas posisi kita.
Rasa marah
Sebagai
contoh kasus adalah Ani, yang saat ini sedang menjalani konseling psikologi.
Ia benar-benar marah dengan sikap acuh tak acuh suami terhadap kesehatan
dirinya.
Menurut Ani,
suaminya mendapat perawatan medis yang kurang baik untuk penyakit yang cukup
serius pada kakinya, dan Ani merasa bahwa tidak ada usaha suami untuk mencari
dokter yang lebih baik.
Dengan
disertai amarah, Ani yang kebetulan seorang dosen mengungkap dan
menginterpretasikan perilaku dan perasaan suami dengan menyatakan, ”Kamu,
menghancurkan dirimu sendiri seperti yang ayahmu lakukan. Kamu menghindar
karena takut menerima kenyataan tentang penyakitmu, andai pergi ke dokter
yang akan lebih cermat memeriksamu.”
Sebagai
respons, si suami justru memperkeras sikapnya, tidak mau konsul ke dokter
lain, dan tegas menolak berobat lanjut.
Dapat kita
bayangkan bagaimana iklim relasi mereka. Ani keras bicara dan mendorong suami
untuk berobat, suami lebih keras lagi bertahan untuk menolak anjuran Ani.
Akhirnya, Ani
menyadari caranya mengingatkan suami tidak efektif sama sekali. Ani jadi
yakin bahwa kesehatan suaminya sangat bergantung penuh pada suami sendiri,
karena itu risiko sang suami sendirilah jika terjadi sesuatu yang lebih
serius dengan penyakit kakinya. Dengan kata lain, itu adalah kerjaan suaminya
dan bukan tanggung jawab Ani.
Namun, di
sisi lain, Ani juga harus berpikir serius tentang kemarahannya kepada suami.
Artinya, Ani bisa memanfaatkan perasaan marah tersebut untuk membuat dirinya
lebih yakin akan posisinya dan ia yakin bahwa ia tidak bisa hidup dengan
status yang tidak jelas bagi dirinya.
Ubah strategi
Untuk itu,
Ani mulai melakukan perubahan penting dalam cara menjalin relasi dengan
suaminya, Ani mengungkap bagaimana perasaannya sendiri dan mulai tidak
mengkritik suami atau menginstruksikan sesuatu kepada suami.
Ayah Ani
meninggal saat Ani berusia 12 tahun karena penyakit degeneratif yang
dideritanya, dan menurut cerita ibunya, ayah Ani enggan berobat dan
mencoba-coba obat herbal pilihan sendiri. Tanpa memperhatikan sikap suami
yang cenderung menghancurkan dirinya sendiri atau mengelak melakukan upaya
berobat dengan serius, Ani menyarankan suami untuk mencari pertolongan medis
dengan alasan demi mempertimbangkan kekhawatiran Ani.
Ani kemudian
menjelaskan bagaimana ketakutan dan kecemasannya terhadap penyakit yang
diderita suaminya, yang membuat Ani tidak mampu lagi melakukan kegiatan
kesehariannya sebagai dosen dengan penuh konsentrasi. Ia juga tidak bisa
berlagak seolah tidak terjadi apa pun dalam dirinya.
Dalam hal ini
Ani sama sekali tidak menyalahkan suami, tetapi ia berkata, bahwa ia tahu apa
yang terbaik suami lakukan demi kesehatannya. Ani meminta suaminya untuk
menghargai intensitas ketidaknyamanan oleh karena penyakit yang diderita
suami. Ani sama sekali tidak menyalahkan sikap suami walaupun ia tahu betul
apa yang harus dilakukan suaminya, melainkan hanya sekadar berbagi perasaan
tentang penyakit suaminya saja.
Akhirnya,
demi pertimbangan akan ketidaknyamanan perasaan istrinya, suami Ani
menyetujui untuk berobat ke dokter lain. Jadi perubahan sikap suaminya bukan
dipicu oleh keinginannya sendiri untuk berobat ke dokter lain, namun atas
dasar pertimbangan perasaan negatif yang selama ini diderita Ani.
Dengan
demikian, jika kita menggunakan kemarahan untuk menyusun suatu pernyataan
tertentu, tidak seorang pun dapat berargumentasi dengan apa yang kita
pikirkan dan apa yang kita rasakan.
Mungkin kita
bisa tambahkan pernyataan kita dengan ungkapan sebagai berikut: ” Ya, memang
bisa saja menurut Anda apa yang saya pikir dan rasakan tidak masuk akal dan
terkesan irasional, namun itulah cara pandang saya tentang permasalahan
tersebut.”
Tentu saja
cara tersebut belum tentu akan serta-merta mengubah perilaku orang lain,
tetapi kita bisa coba sebagai salah satu alternatif cara menyiasati kemarahan
demi perubahan cara orang lain dalam bersikap terhadap kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar