Era
Baru Produk Industri Kehutanan
Bambang Hendroyono ; Dirjen Bina Usaha Kehutanan
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2015
`I
don't want to buy your timber, cause they're from illegal logging. I will
only buy your timber cheap. Your timber is illegal. I will buy your timber
only when my audit proves that your timber is legal'.
ITULAH kondisi yang dihadapi
pengusaha produk perkayuan Indonesia di akhir 1990 hingga awal 2000-an. Sulit
bagi pengusaha kita memasarkan produknya, dan jika ada pasar yang
menerimanya, mereka hanya membelinya dengan harga rendah karena predikat illegal logging. Para pembeli produk
kayu itu memaksakan menyewa tim audit untuk mengaudit pelaku industri
perkayuan Indonesia dengan standar sesuka mereka sendiri! Audit yang
diistilahkan scooping itu membebani eksportir sebesar US$3/m3.
Pendekatan melalui penegakan hukum
berhasil menekan kasus illegal logging yang pada 2006 mencapai 1.700 kasus,
jauh berkurang hingga mencapai kurang dari 100 kasus per tahun pada 2010 dan
seterusnya. Pendekatan per baikan tata kelola kehutanan untuk pemberantasan
pembalakan liar dilaksanakan melalui sertifi kasi pengelolaan hutan lestari
dan verifikasi legalitas kayu. Aturan wajib sertifi kasi bagi pengusaha
kehutanan dan pelaku industri perkayuan itu yang semula semata untuk
memperbaiki tata kelola kehutanan, belakangan juga untuk memperbaiki reputasi
produk perkayuan Indonesia di pasar kayu dunia.
Mimpi buruk segera berakhir.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan No 64/2012 yang diperbarui
dengan Peraturan No 81/2013 mengatur ekspor produk industri kehutanan hanya
bisa dilakukan industri/ eksportir yang memegang sertifi kat legalitas kayu. Adapun
skema sertifi kasi wajib yang diterapkan diatur Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (Kementerian LHK) dan diberlakukan sejak akhir 2009, dikenal
sebagai Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Peraturan Mendag No 64/2012 mulai
berlaku 1 Januari 2013 bagi kebanyakan produk industri berbahan baku kayu
seperti plywood, kayu gergajian, wood-working, flooring, pintu, pulp, dan
kertas. Senin (29/12), pemerintah melalui Kementerian Perdagangan,
Kementerian LHK, serta Kementerian Perindustrian mengeluarkan Permendag No
97/M-DAG/ PER/12/2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Ketentuan Ekspor
Produk Industri Kehutanan, dan Peraturan Menteri LHK No P.95/Menhut-II/2014. Permendag
No 97/M-DAG/ PER/12/2014 itu menggantikan Permendag No 64/2012 yang
diperbarui dengan Permendag No 81/2013.
Kondisi
hutan Indonesia
Melalui peraturan yang baru itu,
mulai 1 Januari 2015, sertifikasi diberlakukan menyeluruh bagi seluruh produk
perkayuan termasuk mebel kayu atau furnitur. Ini merupakan era baru produk
industri kehutanan Indonesia. Bagi Indonesia, hutan dan kehutanan dipandang
sebagai amanat UUD 1945 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Perundangan itu menegaskan hutan dimanfaatkan dengan asas manfaat dan
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan koordinasi.
Menurut data statistik, luas hutan
Indonesia mencapai lebih dari 125 juta hektare (ha) yang berarti lebih dari
66% luas daratan Indonesia. Kawasan hutan dimaksud yakni hutan konservasi
17%, hutan lindung 24%, dan hutan produksi hampir 74 juta ha atau 59% luas
total hutan. Sekitar 17 juta ha dari hutan produksi ialah hutan yang bisa
dikonversi untuk pembangunan seperti transmigrasi dan pertanian/ perkebunan.
Dari hutan produksi itu, perizinan
pemanfaatannya dialokasikan bagi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
hutan alam sejumlah 274 unit dengan luas 20,64 juta ha, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman sejumlah 263 unit dengan luas
10,27 juta ha, dan izin usaha lain seluas 2 juta ha bagi 464 unit usaha
seperti hutan tanaman rakyat (HTR), hutan tanaman hasil reboisasi (HTHR),
hutan kemasyarakatan (HKm), dan hutan desa (HD).
Sejak dikeluarkan pada 2009, SVLK
wajib berlaku bagi usaha kehutanan serta industri pengolahan kayu. Dalam
kerangka sistem SVLK, peranan pemerintah hanyalah regulator.Kementerian LHK
menerbitkan peraturan termasuk kriteria dan standar verifikasinya sebagai
hasil konsultasi multipihak. Adapun Kementerian Perdagangan mengatur regulasi
dalam tata cara ekspor bagi industri eksportir besertifikat legalitas kayu (SLK).
Komite Akreditasi Nasional (KAN) mengakreditasi lembaga audit yang mengaudit
unit usaha hutan dan industri pengolahan kayu. Lembaga penilai/verifikasi
yang terakreditasi melakukan audit. Semua proses itu dipantau saksama oleh
pemantau independen kehutanan dari LSM dan pemerhati sehingga kredibilitas
SVLK bisa terjamin. Untuk biaya pelaksanaan audit SVLK bervariasi, Rp6,6 juta
(industri rumah tangga)-Rp28,8 juta (industri skala besar).
Sampai saat ini, hampir seluas 20
juta ha unit kelola hutan telah mendapat sertifi kat pengelolaan hutan
lestari. Sekitar 1 juta ha lagi masih proses sertifikasi. Selain itu, sekitar
1.200 unit industri mendapat sertifikat legalitas, 200-an unit masih proses
audit. Sepanjang Januari-November 2013, produk industri kehutanan yang sudah
wajib diekspor dengan dokumen V-Legal (panel wood, wood working, pulp,
kertas, bangunan pra-fabrikasi) bernilai US$5,1 miliar dari pemantauan SILK.
Adapun data untuk cakupan produk yang sama pada periode sama
(Januari-November) 2012 menunjukkan nilai US$4,7 miliar.
Artinya, pada 2013 ada kenaikan
ekspor 9,8% dari tahun sebelumnya. Pada periode sama tahun ini, nilai ekspor
produk yang sama pun meningkat 5,1% dari 2013 dan nilainya mencapai US$5,5
miliar. Artinya, SVLK justru meningkatkan kinerja ekspor produk industri
kehutanan.
Dengan Permendag No 97/
M-DAG/PER/12/2014 pada 24 Desember 2014 dan
Peraturan Menteri LHK No
P.95/MenhutII/2014, yang diterbitkan Senin (29/12), pemerintah bahkan
menyederhanakan SVLK untuk industri kecil menengah (IKM).Intinya, mengatur
penyertaan dokumen deklarasi ekspor bagi IKM pemilik eksportir terdaftar
produk industri kehutanan (ETPIK) yang belum memiliki SLK saat melakukan
ekspor sebagai pengganti dokumen V-Legal.
Pemerintah intinya akan mendorong
sertifikasi bagi sisa IKM furnitur (mebel) yang kini belum besertifikat
dengan membantu pembiayaan dalam rangka meningkatkan kinerja ekspor. Menurut
data Kemendag, hanya 1.200-an IKM pemilik ETPIK furnitur yang belum
besertifikat (SLK). Dengan dukungan para pemangku kepentingan dan ditunjang
kebijakan baru Kementerian LHK, sertifikasi legalitas kayu bagi 1.200-an
pemilik ETPIK furnitur dimaksud ditargetkan untuk dapat diselesaikan dalam
waktu enam bulan ke depan.
Tantangan ke depan, pemerintah
perlu melanjutkan upaya promosi SVLK ke berbagai pasar utama kayu dunia
sambil mendorong negara konsumen kayu Indonesia, seperti Tiongkok menerbitkan
peraturan perundangan yang nondiskriminatif yang menghambat masuk kayu ilegal
ke negara tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar