Jumat, 09 Januari 2015

Dilema Birokrasi Satu Pintu

Dilema Birokrasi Satu Pintu 

Antonius Tarigan  ;   Bekerja di Bappenas; Saat Ini Sedang Mendalami ”Pengembangan Kapasitas Keuangan Daerah”
KOMPAS,  08 Januari 2015

                                                                                                                       


BEBERAPA waktu lalu, Presiden Joko Widodo meminta para gubernur segera membangun pelayanan perizinan satu pintu (one stop service) untuk investor. Jika tidak, dana alokasi khusus akan dihapus untuk daerah yang bersangkutan, termasuk mengurangi jumlah dana alokasi umum (DAU).

Sebagai mantan pengusaha, Jokowi memang tahu seluk-beluk perizinan di daerah. Birokrasi pelayanan yang berbelit-belit membuat investor tidak mudah berusaha di Indonesia.

Laporan Global Competitiveness Report 2012-2013 menunjukkan, inefficient government bureaucracy di Indonesia tertinggi dalam daya saing bisnis. Bobotnya, 15,4 persen lebih besar dari masalah korupsi (14,2 persen) serta infrastruktur (8,7 persen). Akibatnya, Indonesia hanya menempati posisi ke-50 dari 144 negara pada 2013, sedangkan Malaysia di posisi ke-25, Thailand ke-38, Tiongkok ke-29, Jepang ke-10, dan Singapura ke-2.

Pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) bukanlah kebijakan baru di Indonesia. Kebijakan ini telah dimulai sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 dan berkembang setelah UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik ditetapkan.

Dengan PTSP, pemohon perizinan tidak perlu lagi mengurus berbagai surat dan dokumen di dinas berbeda dengan lokasi kantor yang berbeda pula. Harapannya PTSP membuat perizinan lebih mudah, murah, dan cepat.

Namun, kualitas PTSP belum menggembirakan. Dalam pelaksanaannya masih terdapat istilah ”satu pintu banyak meja”, ”satu pintu banyak jendela”, atau ”satu pintu banyak kunci”.

Satu pintu banyak meja berarti masuk dalam satu kantor, tetapi banyak dinas yang harus ditemui. Satu pintu banyak jendala berarti satu kantor, tetapi berkas dan dokumen harus dibawa ke dinas terkait di luar. Satu pintu banyak kunci berarti satu kantor perizinan, tetapi tanda tangan persetujuan perlu kewenangan instansi lain. Misalnya, pemerintah kabupaten/kota harus meminta rekomendasi dari pemerintah provinsi hingga pusat.

Kendala lapangan

PTSP di daerah menghadapi beberapa permasalahan. Pertama, tidak semua kepala daerah/kepala dinas mau melimpahkan kewenangannya ke kepala PTSP. BKPM (2013) mencatat baru 41 persen pemerintah daerah yang mendelegasikan kewenangannya ke kepala PTSP. Alasannya, beberapa izin terkait dinas spesifik, seperti kesehatan dan lingkungan, yang dianggap perlu rekomendasi dinas terkait.

Kedua, keterbatasan sumber daya manusia. Idealnya PTSP memiliki staf teknis, seperti ahli penilaian amdal, kesehatan, sipil, dan transportasi. Namun, jumlah staf tersebut umumnya berada di dinas/instansi asalnya dan bukan di PTSP.

Ketiga, status kelembagaan PTSP yang beragam. Ada yang berbentuk badan, dinas, dan kantor, dengan implikasi yang berbeda-beda.

Jika berbentuk dinas dan badan biasanya mudah berkoordinasi dengan dinas/badan lain karena levelnya setara. Apabila dalam bentuk kantor menjadi sulit berkoordinasi karena level yang berbeda. Parahnya apabila PTSP masih bersifat ”unit” yang ditempelkan di kelembagaan lain.

Keempat, disharmoni regulasi PTSP dan ego sektoral. Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri No 20/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pelayanan Terpadu di Daerah. Setelah itu terbit Perpres No 27/2009 tentang PTSP di Bidang Penanaman Modal.

Kedua peraturan tersebut membingungkan pemerintah daerah mengingat banyak yang tumpang tindih dalam kedua peraturan itu. Dampaknya, pemerintah daerah seperti memiliki ”dua jenderal”, yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk koordinasi, pembinaan, hingga pengawasan PTSP di daerah.

Situasi di atas perlu menjadi catatan agenda Jokowi-JK agar sebaiknya tidak hanya mengancam 12 persen pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang belum mendirikan PTSP, tetapi juga berupaya meningkatkan kualitas PTSP. Kerjanya dimulai dengan harmonisasi regulasi yang mengatur PTSP sehingga dualisme regulasi dan pelaksanaannya tidak perlu terjadi, termasuk peraturan perundangan sektoral.

Salah satunya memutuskan dualisme peran Kemendagri dan BKPM. Langkah tersebut juga dibarengi dengan percepatan penyerahan kewenangan perizinan dari kepala daerah ke kepala PTSP sehingga 100 persen kewenangan itu di tangan PTSP. Ini akan berhasil jika dibarengi dengan penguatan dalam struktur kelembagaan di daerah, baik peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun distribusi staf yang adil untuk PTSP.

Langkah kerja, kerja, dan kerja pada dasarnya sejalan dengan Nawacita Jokowi-JK, yakni membuat pemerintah tak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan tepercaya.

Hal itu khususnya pada reformasi birokrasi yang berkelanjutan pada perbaikan kualitas pelayanan publik. Sudah seharusnya pemerintah memilih prioritas kebijakan yang tepat agar memang masyarakat merasakan benar kualitas pelayanan publik yang saat ini sedang ditunggu gebrakannya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar