Rabu, 21 Januari 2015

Darurat Neraka Narkoba

Darurat Neraka Narkoba

Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Banda Aceh
MEDIA INDONESIA, 20 Januari 2015

                                                                                                                       


KETIKA akhir tahun lalu saya diminta menjadi pembicara pada penyuluhan antinarkotika dan obatobat terlarang (narkoba) di salah satu kecamatan di Aceh Utara, saya anggap itu sebagai panggilan intelektual. Meskipun narkoba bukan kajian utama saya, demi mengingat pentingnya masalah tersebut, sikap itu harus diambil. Pesan-pesan akademis dan moral harus sampai ke masyarakat agar jangan sampai menyentuh barang haram itu.
Awalnya saya sempat heran ketika seorang antropolog Italia, Silvia Vignato, tahun lalu melakukan kajian tentang ganja di Aceh. Namun kemudian saya mengerti, antropologi juga harus menjelaskan fenomena narkotika. Ke depan penting juga menyusun satu mata kuliah khusus tentang narkoba, seperti mata kuliah antropologi kebencanaan dan konflik.
Serambi ganja
Aceh sendiri sangat lekat dengan narkoba. Masih ingat pada akhir awal 90-an, ketika ditemukan ladang ganja di Aceh Tenggara? Penemuan itu menjadi rekor ladang ganja terbesar bahkan di Asia Tenggara.Sejak saat itu ingatan tentang Aceh tidak hanya Serambi Mekah atau Serambi Kekerasan (Verandah of Violence)--seperti judul buku yang dieditori Anthony Reid, tapi juga `Serambi Ganja'.
Setelah hampir 30 tahun, masalah ganja di Aceh tidak semakin berkurang, tapi mewabah dan menginspirasi banyak tempat. Penemuan perdagangan narkoba di beberapa perguruan tinggi seperti di Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Nasional di Jakarta beberapa waktu lalu juga menyebut daerah Aceh sebagai penyuplai.
Di Aceh sendiri masalah itu semakin kompleks. Kerusakannya telah menembus lembaga penegakan hukum, bukan hanya struktur sosial masyarakat. Kerusakan generasi muda akibat narkoba juga semakin memprihatinkan. Data resmi Polda Aceh, jumlah narapidana narkoba sepanjang 2013 ada 1.017 orang, mulai sebagai pengguna hingga pengedar, baik kelas teri maupun kakap.Pada tahun itu ada lebih dari 10 ribu masyarakat Aceh terjerat narkoba.
Prediksi saya, jika menghitung kejahatan senyap (silent criminal) seperti narkoba itu, menggunakan analisis permukaan gunung es, secara riil bisa jadi ada 10 kali lipat orang yang telah terjerat narkoba atau 100 ribu orang. Bahkan jika angka itu dikali empat pun (400 ribu orang) tidak hiperbolis. Pengalaman saya selama ini berinteraksi di tengah masyarakat menemukan banyak kasus narkoba yang telah menimpa mahasiswa, termasuk sesama dosen.
Kapolda Aceh mengaku sepanjang 2014 telah memecat 42 anggotanya akibat terlibat kasus narkoba. Sebagian besar sebagai pengedar dan pelindung perdagangan barang jahat itu. Bahkan disebutkan, ada 300 anggota Polda Aceh pernah mengonsumsi narkoba, yang ditunjukkan dari tes urine. Jika aparat penegak hukum sudah sedemikian parah terlibat narkoba, apalagi masyarakatnya. Bukankah polisi juga berasal dari masyarakat? Ke depan kepolisian harus melakukan proses perekrutan lebih ketat agar tidak menerima `sampah' sebagai calon polisi. Rubbish in, rubbish out!
Gerakan teologis
Untuk aspek kerusakan menyemesta itu, tidak ada cara lain kecuali melakukan pendekatan mendasar yaitu agama. Dalam Alquran seperti yang tersebut di Surah An Nisaa ayat 43, Al Baqarah ayat 219, dan Al Maidah ayat 90, digunakan istilah khamar untuk narkoba. Khamar didefinisikan sebagai barang yang memiliki manfaat tapi lebih besar kerusakan dan dosanya. Khamar menjadi sebab terhalangnya seseorang melaksanakan salat karena syarat seseorang melakukan ibadah salat harus dalam keadaan sadar, tidak mabuk.
Ayat-ayat itu menemukan justifikasi pada hadis nabi bahwa pendefinisian khamar ialah segala sesuatu yang menghilangkan kesadaran atau menutup akal (sattar al-aql). Dengan motif (illat) itu, khamar ialah sega la hal yang menutup akal atau memabukkan, baik dalam bentuk cair maupun padat, baik diminum, diisap, maupun disuntikkan yang tujuannya di luar kepentingan medis.
Hal itu sesuai dengan definisi UU No 35 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, `Narko tika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sin tetis maupun semisintetis, yang dapat me nyebabkan pe nurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini'.
Jika melihat aspek kedaruratan narkoba melebihi minuman keras, perlu mengeluarkan fatwa lebih tegas (qath'i) bahwa semua zat yang merusak akal ialah haram mutlak (hurmah li dzatihi), baik untuk konsumsi, produksi, ataupun perdagangan. Dampak kerusakan akibat ganja, sabu-sabu, kokain, dan morfin sangat besar pada psikologis dan fisiologis, yang telah dianggap sebagai kekejian dan perbuatan setan (rijsun min amalin as-syaithan).
Tangkap kakap, jangan teri
Kehadiran UU No 35 Tahun 2009 semakin meneguhkan peran Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga penyelidikan dan penyidikan pemberantasan narkoba.Namun, keberadaan BNN seperti juga KPK untuk fenomena korupsi harus memberikan tantangan bagi kepolisian yang selama ini dianggap impoten memberantas kasus itu.
UU itu memberikan afirmasi bahwa seharusnya pengedar yang dihukum dan bukan pengguna. Para pengguna apalagi untuk usia produktif dan sekolah harus diang gap korban akibat proses penga wasan sosial yang lemah. Korban seharusnya direhabilitasi dan tidak dipidana yang membuat mereka semakin rusak ketika melewati proses `pemasyarakatan' di penjara.
Namun, untuk para pemain dan pedagang, hukuman yang tepat bagi mereka ialah hukum maksimal demi memenuhi rasa keadilan dan kedaruratan yang telah terjadi. Kita bisa belajar dari kasus Fredi Budiman, bandar besar yang telah berkali-kali dihukum tapi tak pernah jera. Bahkan di balik penjara ia masih mengendalikan impor ekstasi 1,4 juta butir dari Tiongkok pada 2012. Ketika diisolasi ke penjara Nusakambangan, ia masih sempat menyeludupkan paket narkoba di dalam pakaian. Bahkan ketika ia dipenjara di Cipinang, ia masih bisa menyuap kepala sipir untuk pesta narkoba dan seks bersama pacarnya. Untuk kasus 1,4 juta ekstasi hukumannya telah meningkat menjadi hukuman mati.
Begitu pula kasus bandar dari Aceh, Faisal. Ia gembong narkoba yang telah divonis 10 tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat pada November 2013 lalu. Kasusnya terungkap melalui penyelidikan panjang BNN. Ketika ia tertangkap oleh aparat BNN sempat mencoba menyuap Rp10 miliar, tapi mereka bergeming.
Namun, Faisal tidak hanya dihukum penjara, tapi juga penyitaan aset kekayaan yang mencapai Rp38 miliar melalui pemberlakuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) No 8/2010. Saat ini ia sedang mengupayakan peninjauan kembali (PK). Untuk sementara ia `berhasil' meminta pemindahan lokasi hukuman, dari Jakarta ke Aceh.
Tentu kita tunggu bagaimana drama penegakan hukum ini ke depan. Kita tunggu apakah vonis hukuman mati yang sudah diberikan kepada Fredi bisa segera dilaksanakan. Demikian pula status hukuman Faisal, apakah akan mengalami reduksi atau tidak.
Di tengah belum baiknya kinerja pemerintahan Jokowi-JK, untuk kasus narkoba kita pantas memberikan apresiasi positif. Sikap pemerintah segera mengeksekusi mati enam mafia narkoba pada 18 Januari lalu di Nusakambangan ialah sikap terpuji. Upaya dari Raja Belanda dan Presiden Brasil Dilma Rousseff meminta pembatalan hukuman mati kepada warganya tidak direspons Jokowi. Bahkan kabar terbaru pemerintah Belanda dan Brasil telah menarik duta besar mereka dari Indonesia.
Keteguhan ini harus tetap dijaga. Tidak ada toleransi untuk penjahatpenjahat besar, baik warga sendiri apalagi warga asing. Hukum tidak boleh tajam ke bawah ke masyarakat kecil, tapi tumpul ke atas ke para godfather narkoba. Merekalah para pencipta penderitaan bagi generasi tumbuh kita, yang menjadikan kehidupan mereka seperti neraka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar