Laporan Iptek, Lingkungan, dan Kesehatan
Sukinah
Melawan Dunia
Ahmad Arif ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
18 Desember 2014
”SAYA pilih Gubernur Ganjar Pranowo dalam pilkada.
Ternyata tak memihak kami. Saya juga memilih Pak Jokowi dalam pemilu. Apa
kami juga akan dikhianati?”
Gugatan
itu disampaikan Sukinah dari Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kecamatan
Rembang, Jawa Tengah, dalam ”Rembug Warga” yang diadakan komunitas Sedulur
Sikep di Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, akhir Agustus 2014. Perempuan
petani tak lulus SD itu salah satu pemimpin perlawanan terhadap badan usaha
milik negara PT Semen Indonesia yang hendak membangun pabrik semen baru.
Setengah
tahun terakhir, bersama puluhan perempuan, Sukinah berkemah di jalan masuk
lokasi pembangunan pabrik. Setelah sejumlah ancaman dan teror, Kamis (27/11),
tenda mereka dirobohkan polisi. Beberapa perempuan mengaku dipukuli saat
menghadang truk perusahaan semen.
Kasus
Rembang adalah ujian awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, terkait
dengan konflik agraria dan sumber daya alam yang menghadapkan warga dengan
korporasi. Kasus serupa berpotensi merebak di banyak daerah, seperti terjadi
setahun terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Beberapa
konflik selama 2014 antara lain penggusuran dan penangkapan delapan warga
Karawang, Jawa Barat, yang bersengketa dengan PT Agung Podomoro Land. Kasus
lain, penangkapan enam warga adat Tungkal Ulu di Taman Suaka Margasatwa
Dangku, Sumatera Selatan.
Di
Kalimantan Tengah, kekerasan dan penembakan menewaskan satu orang, buntut
sengketa tanah antara warga dan PT Agro Bukit. Di Kalimantan Barat, lima
warga Desa Batu Daya yang berkonflik dengan perusahaan sawit PT Swadaya Mukti
Prakarsa juga dianiaya. Warga Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi
Selatan, yang berkonflik dengan PTPN XIV mengaku diintimidasi polisi.
Konflik
yang merebak itu sebenarnya sinyal ketidakadilan dalam pembangunan.
Pertumbuhan pembangunan nasional dalam kurun 2008-2013 memang 5,86 persen.
Angka itu tergolong tinggi di tengah melambatnya laju pertumbuhan ekonomi
dunia. Namun, ketimpangan melebar, dengan terus naiknya Indeks Gini Indonesia
2004-2013. Bahkan, Indeks Gini tahun 2013 yang mencapai 0,413 adalah
tertinggi sejak 1964.
Ukuran
yang dikembangkan ahli statistik Italia, Corrado Gini (1912) itu untuk
mengetahui kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kian tinggi Indeks Gini, kian
tinggi kesenjangan.
Pada
sisi lain, Indeks Lingkungan Hidup Indonesia tak kunjung membaik. Berdasarkan
data yang dikembangkan Yale University, ILH Indonesia 2014 di peringkat
ke-112 dari 178 negara. Ketersediaan sumber air bersih di peringkat ke-141.
Dari
kombinasi dua faktor itu, terlihat ketidakadilan ganda. Mereka yang miskin
dapat bagian kue pembangunan paling sedikit, tetapi menanggung dampak
lingkungan terbesar. Pembangunan pabrik semen skala besar akan menggusur
petani lokal dan mengancam sumber air. Semua itu memperlebar jurang
stratifikasi sosial dan memperburuk mutu lingkungan.
Pola lama
Tampilnya
Presiden Joko Widodo yang dinilai memihak ekonomi rakyat sempat menerbitkan
harapan. Namun, setelah bentrokan dengan aparat kepolisian, akhir November
2014, keyakinan Sukinah dan para petani di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah,
mulai luntur.
Persoalan
itu memang warisan rezim lama. Izin pembangunan pabrik semen milik PT Semen
Indonesia dan analisis mengenai dampak lingkungan diberikan Gubernur Jawa Tengah
Bibit Samad Riyanto, 2012.
Ganjar
Pranowo, yang menggantikan Bibit, awalnya mengesankan sikap netral.
Belakangan, semakin terlihat inklinasinya. Ia menyarankan warga menggugat ke
pengadilan tata usaha negara (Kompas,
8/7).
Pada
pertemuan di Semarang, awal Juli lalu, Asisten III Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah Joko Sutrisno mengatakan, pabrik semen ada di kawasan budidaya.
Pernyataan itu bertentangan dengan Peta Zona Konservasi Air Tanah yang dibuat
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah, yang menyebut lebih dari 90
persen total luas CAT Watuputih merupakan zona perlindungan imbuhan air.
Badan Geologi juga menyatakan hal sama meskipun keputusan boleh-tidaknya
menambang bukan kewenangan mereka.
PT Semen
Indonesia bisa saja telah memenuhi prosedur legal prosedural, seperti
dikemukakan Direktur Utama PT Semen Indonesia Dwi Soetjipto (Kompas, 19/8). Namun, amdal dikritik
telah menjadi instrumen melegalkan ekspansi kapital. Pada kasus Rembang,
amdal PT Semen Indonesia dinilai mengabaikan data lapangan, terutama terkait
keberadaan ponor, mata air, dan goa dengan sungai bawah tanah dan satwa
langka.
Sekalipun
kekerasan terhadap warga yang menolak tambang semen tak semasif era Orde
Baru, paradigma pembangunan Indonesia tak jauh bergeser. Terminologi ”anti
pembangunan” terus dipakai mengintimidasi warga. Pemerintah juga berlindung
di balik regulasi yang jelas bias kepentingan kapital.
Kepentingan global
Konflik
pabrik semen di Rembang tak lepas dari persaingan sistem ekonomi global.
Seperti disampaikan Agung Wiharto, General
Manager of Corporate Secretary PT Semen Indonesia, ”Kalau kami tak membangun pabrik baru, banyak perusahaan lain
membangun di Indonesia, termasuk perusahaan asing” (Kompas, 20/8).
Rezim
sebelumnya telah mengundang banyak perusahaan semen untuk menambang
pegunungan karst di Indonesia, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan
Papua. Sebagian perusahaan itu berasal dari luar negeri, khususnya Tiongkok.
Kenapa hal ini terjadi?
Tiongkok,
produsen semen terbesar di dunia (56 persen produksi semen global), hendak
menutup sebagian pabrik mereka karena mencemari lingkungan. Tiongkok akan
mengonservasi kawasan karst-nya dalam mekanisme perdagangan karbon. Jadi,
ekspansi pabrik semen di Indonesia, termasuk di Rembang, merupakan bagian strategi
ekonomi-politik global untuk ”buang kotoran”, sekaligus mengekstraksi sumber
daya alam negara lain. Jadi, konflik sumber daya alam di Rembang punya
dimensi berlapis. Sukinah harus berhadapan dengan kekuatan besar, termasuk
kekuatan industri raksasa global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar