Segera
Akhiri Perseteruan!
Frans Magnis-Suseno; Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
|
KOMPAS,
03 Desember 2014
Lima
bulan sesudah pemilihan presiden, tiga bulan sesudah DPR baru mulai berjabat,
dan enam minggu sesudah presiden ketujuh Republik Indonesia dilantik,
kehidupan politik bangsa Indonesia tetap terganjal. Terganjal karena DPR
pilihan rakyat lumpuh terkunci dalam konfrontasi total antara partai-partai
Koalisi Merah Putih (KMP) dan partai-partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Padahal, konfrontasi total yang dimulai sesudah Joko Widodo (Jokowi)
dipastikan akan menjadi presiden baru sudah mulai mencair. Pimpinan MPR dan
DPR, semuanya orang KMP, telah menjamin pelantikan presiden yang mulus.
Pendekatan sabar-positif Jokowi ternyata membawa hasil.
Paling
mengesankan, orang yang paling berhak merasa tersinggung dengan munculnya
Jokowi, yakni Prabowo Subianto, mau bertemu Jokowi, menghadiri pelantikannya,
dan, amat tepat, mengatakan bahwa ia akan mendukung pemerintahan Jokowi
selama tidak melawan rakyat.
Sesudahnya,
beberapa tokoh partai mulai bekerja keras untuk mencairkan konfrontasi total
antara KMP dan KIH. Akan tetapi, sekarang proses normalisasi komunikasi macet
lagi, macet barangkali karena bermacam-macam kepentingan politik masuk.
Namun, kemacetan itu harus diakhiri. Segera. Kalau tidak, demokrasi, bahkan
negara kita dalam bahaya.
Belum pernah terjadi
Sejauh
saya tahu, konfrontasi total seperti itu belum pernah dialami Indonesia dalam
69 tahun terakhir. Hanya di zaman Demokrasi Terpimpin, ada partai-partai yang
dikonfrontasi secara total, lalu disingkirkan dan dilarang, seperti Masyumi
dan PSI. Akan tetapi, penolakan total itu berakhir dalam malapetaka ngeri
tanpa tanding yang menjadi buntut Gerakan 30 September (G30S).
Bangsa
Indonesia bisa saling menerima dalam perbedaan, tetapi kalau hubungan menjadi
konfrontatif, apalagi konfrontatif total, daya tampung budayanya terlampaui
dan hal-hal mengerikan bisa terjadi.
Konfrontasi
KMP dan KIH muncul dari kekecewaan berat partai-partai yang kalah dalam
pemilihan presiden—kalah tipis— tetapi justru itulah yang menyakiti.
Langkah-langkah yang sangat cepat diambil bermaksud untuk mengunci
pemerintahan Jokowi dari semua sudut.
Di DPR
(dan MPR) semua kedudukan kunci, termasuk di komisi-komisi, diambil alih,
pemilihan gubernur dan bupati oleh rakyat dihapus untuk menjamin bahwa hampir
segenap provinsi dan kabupaten dikuasai oleh KMP. Jokowi akan mati kutu
karena tidak bisa menentukan anggaran belanja negara dan tidak dapat membuat
undang-undang.
Pengalaman Amerika Serikat
Suatu
situasi mirip terjadi di Amerika Serikat sesudah pemilihan bulan lalu. Partai
Republik sekarang menguasai baik DPR (House
of Representatives) maupun Senat. Pemerintahan Barack Obama yang mereka
benci lumpuh total karena tidak dapat mengegolkan anggaran belanja negara
maupun suatu perundangan. Gawat sekali bagi AS. Diramalkan bahwa selama dua
tahun terakhir kepresidenannya, Obama akan menjadi lame duck.
Namun,
ada perbedaan. Di AS, konfrontasi antara Obama/Partai Demokrat dan Partai
Republik bersifat keras-ideologis. Demokrat menomorsatukan tanggung jawab
sosial negara, sedangkan Republik menolaknya all out atas dasar suatu ideologi
say no to big government.
Namun,
antara KMP dan KIH tak ada pertentangan ideologis sama sekali. Prabowo juga
mengatakan bahwa dirinya akan memotong subsidi BBM. Nasionalisme ekonomis dan
fokus pada infrastruktur dalam program Jokowi juga sesuai program Prabowo.
Dan, meski Prabowo tidak bicara visi maritim dan revolusi mental, di KMP
tidak kelihatan ada keberatan (paling-paling mereka mau melihat apakah
omongan Jokowi diikuti tindakan nyata).
Kenyataannya,
konfrontasi total yang masih melumpuhkan kehidupan politik kita semata-mata
berdasarkan rasa kecewa, iri, tersinggung, benci, dan dendam kesumat karena
kekalahan yang diderita. Ngeri kalau perpolitikan Indonesia didasarkan pada
perasaan-perasaan itu—perasaan-perasaan paling rendah yang bercokol di hati
manusia.
Kita
jangan lupa bahwa bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kesatuannya
melawan segala macam tantangan dan ancaman dari luar dan dari dalam— sesuatu
yang di luar negeri banyak diragukan—hanya mungkin karena budayanya yang
membuat kita membawa diri dengan hati-hati, tahu diri, tenggang rasa. tak
pernah mutlak-mutlakan. Suatu konfrontasi mutlak-mutlakan, apalagi atas dasar
rasa kecewa, tersinggung, dan dendam, akan membawa bangsa ke kehancurannya.
Sudah waktunya diakhiri
Karena
itu, perseteruan perlu diakhiri. Prabowo sendiri, Jokowi, sekian politisi
yang terlibat dalam konfrontasi, sudah mengisyaratkan bahwa mereka tidak mau
kehidupan bangsa terkunci dalam kebencian dan rasa dendam.
Kalau
KMP mau membangun hubungan politik normal dengan KIH, itu tidak berarti bahwa
KMP tidak boleh beroposisi. Tetapi, oposisi harus benar, harus sesuai dengan
sila keempat Pancasila, dengan semangat ”kebijaksanaan dalam
permusyawaratan”. Di negara-negara demokrasi parlementer saja—lain daripada
klise tentang kediktatoran mayoritas—partai-partai pemerintah dan oposisi
biasa bekerja sama secara efektif dalam komisi-komisi dan kebanyakan
undang-undang akhirnya disepakati.
Kita,
rakyat Indonesia, justru perlu belajar apa arti positif suatu oposisi.
Oposisi Pancasilais ingin agar pemerintah berhasil, dan bukan agar ia gagal.
Kalau oposisi mempunyai mayoritas dalam parlemen, tanggung jawabnya lebih
berat. Oposisi tidak boleh membiarkan pemerintah gagal. Oposisi dituntut
menyertai pemerintah dengan kritis. Mereka menagih janji pemerintah. Mereka
membuka segenap kedok KKN, menolak populisme murahan, dan menantang agar
pemerintah juga mengambil keputusan yang tidak populer.
Situasi di negara kita sebenarnya memberi banyak harapan. Sudah saatnya
kelas politik kita mengakhiri perseteruan yang sebenarnya sudah mau diakhiri
serta menunjukkan tanggung jawabnya dengan mendorong pemerintah untuk
mengambil langkah-langkah agar semakin terwujud Indonesia yang adil, solider,
sejahtera, kuat, dan maju.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar