Selasa, 23 Desember 2014

Saatnya Birokrat Bekerja

Laporan Akhir Tahun Olahraga

Saatnya Birokrat Bekerja

Helena Fransisca Nababan  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  22 Desember 2014

                                                                                                                       


KABAR tak sedap terdengar pada pekan pertama Oktober 2014 seusai Asian Games Incheon. Tim angkat besi Indonesia terancam tidak bisa bertanding di Kejuaraan Dunia yang berlangsung di Almaty, Kazakhstan.

Sebulan menjelang keberangkatan untuk mengikuti kejuaraan yang merupakan babak kualifikasi Olimpiade Rio de Janeiro 2016, dukungan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk tim belum jelas.

Dengan rencana memberangkatkan 11 lifter putra-putri, 5 pelatih, dan 1 manajer, kebutuhan dana untuk mengikuti kejuaraan di Almaty, 4-16 November, sekitar Rp 880 juta. Sesuai regulasi yang dipahami pengurus cabang olahraga, setiap cabang yang akan mengikuti kejuaraan internasional mesti membuat proposal untuk mendapat dukungan dana dari Kemenpora.

Tak mau melewatkan kejuaraan yang menentukan kehadiran lifter Indonesia di Olimpiade 2016 itu, Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi, Binaraga, dan Angkat Berat Seluruh Indonesia (PB PABBSI) pun mengirimkan proposal kejuaraan sejak jauh hari. Tujuannya agar Kemenpora bisa mencermati keperluan tim dan menyiapkan dana. ”Kami bolak-balik mengingatkan Kemenpora tentang proposal kejuaraan dunia yang akan diikuti para lifter. Sudah kami sampaikan jauh-jauh hari. Namun, ya responnya seperti itu,” ujar Wakil Ketua Umum PB PABBSI Djoko Pramono, tanpa menjelaskan detail respons yang dimaksud. Djoko ditemui di Bandara Soekarno-Hatta, pertengahan November silam, saat menjemput tim angkat besi seusai kejuaraan di Almaty itu.

Sebagai cabang yang tidak pernah absen menyumbangkan medali sejak Asian Games 1982—angkat besi Indonesia bahkan pernah mendapat perunggu dari Thio Ging Hwie pada Asian Games 1954—angkat besi sangat berambisi meningkatkan prestasi mereka. Maklum, lifter Indonesia belum pernah berdiri di podium tertinggi. Hasil terbaik adalah medali perak yang diraih lima lifter sejak 1990 hingga yang terakhir diperoleh Sri Wahyuni di Incheon 2014.

Untuk mewujudkan target tersebut, tim pelatih dan pengurus PABBSI bahkan langsung menyusun pemetaan kekuatan tim seusai Olimpiade London 2012. Kebutuhan dana dihitung untuk pelatnas dan mengikuti sejumlah kejuaraan. Road to Olympic Rio 2016, begitu PB PABBSI menamai misi sukses emas di Olimpiade.

Dua tahun setelah menyampaikan pemetaan itu, PB PABBSI kembali mengingatkan Kemenpora. Namun, respons yang diterima minim.

Persiapan panjang wajar dilakukan mengingat bersaing merebut emas di tingkat Olimpiade bukan perkara mudah. Keberhasilan mendapat satu perak dan dua perunggu dalam Olimpiade Sydney 2000, misalnya, merupakan hasil persiapan sejak 1990-an. Sebagai cabang andalan medali Olimpiade, selain bulu tangkis, sangatlah wajar apabila pemerintah memberikan dukungan pendanaan sejak masa persiapan, bukan mempersulit.

”Untuk ke Almaty, proposal sudah kami serahkan 12 Agustus 2014. Begitu Asian Games Incheon usai, kami bertanya kepada Kemenpora tentang proposal. Namun, kejelasan tak kunjung datang. Kami sempat pesimistis,” ujar manajer tim nasional angkat besi Alamsyah Wijaya.

Berkat kegigihan pengurus PABBSI terus mempertanyakan komitmen Kemenpora, kementerian akhirnya membantu. Pihak Kemenpora menyebutkan, angkat besi mendapat bantuan tiket dan uang saku untuk 12 orang, tetapi tak ada dana untuk pelatnas sebagai persiapan menuju Almaty. Untuk itu, PABBSI kembali harus memutar otak mencari dana. Beruntung, PT Kereta Api Indonesia sebagai bapak angkat PB PABBSI memberikan bantuan tunai Rp 200 juta.

Seperti disebutkan Alamsyah seusai Asian Games, demi mencapai target emas di Rio, pihaknya akan berusaha bekerja sama dengan perusahaan swasta. Langkah ini harus dilakukan mengingat pemerintah sangat sulit diandalkan untuk bisa membantu 100 persen.

”Kejuaraan angkat besi itu membutuhkan detail, mulai pra-kompetisi hingga saat kompetisi. Jadi, pelatih yang mesti berangkat juga banyak. Bagaimana dengan sisa tim yang belum terdukung? Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal PB PABBSI berpatungan membiayai setelah kami berhitung ulang,” ujar Alamsyah.

Kerja keras PB PABBSI di langkah awal menuju Rio membuahkan hasil. Lima tiket dari tim putra dan dua tiket dari tim putri direbut dari Almaty. Kesempatan menambah tiket untuk tampil di Olimpiade Rio masih terbuka dalam Kejuaraan Dunia 2015 di Amerika Serikat. Di sisi lain, Kemenpora akhirnya mengganti dana yang dikeluarkan pengurus untuk keperluan lifter tampil di Almaty, 19 Desember lalu.

Blusukan dan jemput bola

Pengamat olahraga nasional Fritz E Simandjuntak menyatakan apresiasi atas sikap pengurus PB PABBSI. ”Mau menalangi dulu keperluan tim, itu menjadi bukti tanggung jawab pengurus. Saat belum ada solusi dari Kemenpora, pengurus mengambil sikap dengan cara berpatungan itu bagus. Daripada tak bisa ikut kualifikasi dan tidak mendapat tiket ke Olimpiade?” ujar Fritz.

Meski begitu, ia melihat ada yang mesti dibenahi. Kemenpora belum memiliki manajemen olahraga profesional.

Belajar dari masalah pendanaan yang dihadapi angkat besi dan sebagian besar cabang olahraga lain yang mengalami hal serupa, seharusnya Kemenpora menerapkan sistem prioritas cabang, diurutkan dari cabang-cabang penyumbang medali di Olimpiade sebagai target tertinggi, diikuti Asian Games, lalu SEA Games. Dengan demikian, sistem pendanaan bisa lebih terfokus untuk cabang-cabang yang ada dalam daftar prioritas tersebut.

Mulai awal November, tiga cabang ditetapkan menjadi cabang prioritas Olimpiade. Selain angkat besi, ada bulu tangkis dan panahan. ”Namun, sudahkah Kemenpora memiliki manajemen pelatnas yang profesional? Kalau sudah, tentu penyediaan peralatan tanding, uang saku atlet dan pelatih, juga suplemen seharusnya lancar,” kata Fritz.

Belajar dari masalah angkat besi pula, prosedur proposal yang diterapkan Kemenpora merupakan cara lama yang sudah diterapkan belasan tahun. Selain membutuhkan waktu lama dalam menunggu realisasinya, cara itu juga tidak efektif.

Pengurus cabang mesti bolak-balik mengurus proposal yang selalu saja dinilai kurang lengkap. Hal ini juga pernah dialami Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) yang harus berkali-kali mengulang membuat proposal dari awal.

Sistem proposal, ujar Fritz, boleh saja dipakai. Namun, Menpora mesti melengkapi Satlak Prima sebagai institusi yang menyiapkan atlet dan memverifikasi proposal dengan tim asisten. Tim itu beranggotakan orang-orang yang paham penggunaan anggaran secara benar.

Tim sebaiknya blusukan menjemput bola, mendatangi satu demi satu cabang yang terpilih menjalankan pelatnas untuk pekan olahraga internasional. ”Bukan hanya datang, melainkan juga mempelajari program setiap cabang sehingga paham besaran kebutuhan anggaran setiap cabang dan waktu penggunaannya,” lanjut Fritz.

Tim itu juga berhak memberikan asistensi kepada pengurus cabang tentang menyusun proposal yang benar sehingga tak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya. Sebagai tim yang juga paham anggaran, tim juga boleh membantu mempercepat pencairan anggaran. Perubahan sistem kerja ini, kata Fritz, sebaiknya didialogkan dengan pihak yang mengawasi anggaran, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuannya, agar cara penyerapan dan pencairan anggaran tidak menyalahi peraturan keuangan negara.

Namun, sekali lagi, Menpora mesti memiliki tim asisten dengan orang-orang bermental pekerja, bukan mempersulit. Kemenpora harus mulai berubah dari titik ini, karena itu menjadi titik tolak pembenahan manajemen olahraga Indonesia, dalam hal ini dari sisi kinerja birokrat.

Bagaimana dengan pengurus cabang? Pengurus cabang juga sebaiknya mengubah pola pikir dan perilaku. Pengurus tidak bisa selalu menggantungkan anggaran pada Kemenpora. Mereka harus berpikir kreatif di tengah keterbatasan dana olahraga dari pemerintah.

Sejak 2011, Kemenpora sudah menggandengkan setiap cabang dengan badan usaha milik negara sebagai bapak angkat. Namun, bapak angkat juga sebaiknya tak dianggap sebagai sumber dana yang bisa dimintai tolong kapan pun. Ada etika timbal balik yang mesti dipahami pengurus cabang. Ketika meminta bantuan, keuntungan apa yang bisa diberikan kepada BUMN itu?   

Demi kemajuan olahraga Indonesia, memang birokrat dan birokrasi di Kemenpora harus dibenahi. Pengurus juga sebaiknya kreatif membuat terobosan, terutama dalam hal pendanaan yang selalu menjadi kendala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar